Monday, December 26

..please get here, SOON..


You can reach me by railway, you can reach me by trail way
You can reach me on an airplane, you can reach me with your mind
You can reach me by caravan, cross the desert like an Arab man
I don't care how you get here, just - get here if you can

You can reach me by sail boat, climb a tree and swing rope to rope
Take a sled and slide down the slope, into these arms of mine
You can jump on a speedy colt, cross the border in a blaze of hope
I don't care how you get here, just - get here if you can

There are hills and mountains between us
Always something to get over
If I had my way, surely you would be closer
I need you closer

(interlude, then repeat bridge)

You can windsurf into my life, take me up on a carpet ride
You can make it in a big balloon, but you better make it soon
You can reach me by caravan, cross the desert like an Arab man
I don't care how you get here, just - get here if you can

I don't care how you get here, just -- get here if - you can. 


- thinking of you in my sanctuary -
26.12.11 - 01:25 AM

Share/Bookmark

Thursday, September 8

..meraih cita-cita..

Seharusnya gue menulis blog ini ini di hari terakhir gue menjadi pegawai kantoran, tapi karena belum ada kesempatan, jadilah baru sekarang gue bisa menulis.

Saat ini, gue lagi menikmati liburan yang cukup lama, hampir 1 bulan. Liburan ini bisa gue ambil karena gue sudah tidak ada tanggung jawab untuk cepat-cepat kembali bekerja. Ya! Setelah 12 tahun gue menjadi cungpret alias kacung kampret di 4 institusi, berhadapan dengan para atasan dan kolega yang memiliki beragam karakter, berkutat dengan lalu lintas Jakarta yang makin lama makin semrawut, akhirnya gue memutuskan untuk berhenti dari rutinitas kantor dan beralih profesi menjadi penerjemah yang bisa bekerja dari rumah, bisa menemani ibu, bisa mengatur waktu sendiri, bisa bermain dengan kelinci & hamster, bisa makan-dan-tidur kapan pun gue mau.

Keputusan ini bukanlah suatu keputusan emosional yang diambil secara cepat. Dibutuhkan waktu sekitar 1 tahun untuk mempertimbangkan segala baik dan buruknya. Jelas, gue akan kehilangan segala fasilitas tunjangan kesehatan dan gaji bulanan. Tapi menurut gue, kedua hal tersebut bukan persoalan maha penting yang tak ada penyelesaian. Untuk urusan kesehatan, gue sudah punya asuransi kesehatan pribadi yang sudah tak diragukan lagi namanya. Mungkin untuk gaji bulanan yang cukup banyak menjadi pemikiran. Bagaimana tidak? Setiap bulan, selama 12 tahun, gue sudah terbiasa menerima gaji dan sudah bisa mengatur alokasi biaya dari gaji bulanan itu. Dan sekarang, gue harus bisa memperhitungkannya sejak jauh-jauh hari. Memang akan ada banyak adaptasi, tetapi gue rasa itu bukan hal yang sulit. Gue sudah jarang keluar dan pada dasarnya gue memang tidak suka belanja (tidak seperti tipikal teman-teman perempuan Jakarta yang gak bisa kalo gak belanja dalam 1 minggu. Sangat konsumtif!). Gue gak punya cicilan kartu kredit, dan cicilan mobil gue akan selesai dalam waktu 4 bulan lagi (alokasi dana untuk inipun sudah disiapkan). Listrik, telepon, internet, langganan tv berbayar, itu semua sudah diperhitungkan. Jadi gue merasa tidak akan menemui masalah berarti dalam hal keuangan selama gue disiplin dengan diri sendiri.

Beberapa teman gue menganggap gue gila karena mau keluar dari zona nyaman dan menggantungkan hidup sebagai penerjemah yang tidak tentu pemasukannya. Tetapi tidak sedikit pula dari mereka yang salut akan keberanian gue untuk mengambil keputusan ini. Mereka bebas saja untuk berpendapat karena apapun yang gue lakukan juga tidak akan mempengaruhi kehidupan mereka.

Menjadi penerjemah adalah cita-cita yang gue miliki sejak lama, mungkin sekitar 8-10 tahun lalu. Pekerjaan yang dulu mungkin tidak pernah terlintas di pikiran gue. Semua bermula ketika gue membaca artikel tentang seorang ibu yang banting setir menjadi penerjemah akibat krismon tahun 1997 di Kompas. Dia menceritakan suka dukanya, tapi secara keseluruhan, dia menceritakan bahwa lebih banyak suka daripada dukanya. Dia bisa bekerja dari rumah, mengatur waktunya sendiri dan tetap menghasilkan uang untuk kebutuhan hidup.

Sejak membaca artikel itu, gue menetapkan dalam hati, bahwa suatu saat, gue akan menjadi penerjemah dan gue akan mengikuti jejak ibu itu (sayangnya gue lupa nama penerjemah itu, hiks..). Tetapi berhubung gue sama sekali tidak tahu dimana gue harus mencari informasi, jadi keinginan tinggallah keinginan. Sampai akhirnya tahun 2005, gue dapat informasi tentang kursus penerjemah di PPFIB UI. Guru gue saat itu adalah bu Maria, bu Edlina (alm.) dan bu Emma. Dari mereka bertiga, gue dapat informasi tentang Bahtera, milis penerjemah.

Gue mendaftar untuk menjadi anggota milis, berusaha menjadi anggota yang aktif dengan menjawab beberapa pertanyaan dari para anggota lainnya, ikut acara-acara yang diadakan oleh Bahtera. Semua itu karena gue sangat tertarik dan ingin tahu lebih dalam seluk beluk dunia penerjemah. Dan akhirnya, gue dapet proyek pertama, menerjemahkan buku di akhir tahun 2007. Setelah proyek buku itu, berhubung kerjaan di kantor makin banyak, gue jadinya tidak begitu serius menekuni profesi baru gue.

Baru di pertengahan 2008, ketika gue menghabiskan suatu Minggu siang bersama sahabat gue, Merry, di restoran Jepang, gue terpikir untuk kembali menyeriusi menjadi penerjemah. Gue bertekad, bahwa gue harus lebih serius untuk meraih cita-cita gue. Seperti apa yang gue obrolkan dengan Merry, kalau memang apa yang kita niati itu baik dan direstui Tuhan, pasti Dia akan memberikan pertanda, apapun itu tandanya. Begitu pula sebaliknya. Dan untungnya, pertanda dari Tuhan membuat gue makin yakin bahwa gue tidak salah dengan pilihan ini.

Walau gue masih terhitung sebagai seorang bayi yang belajar melangkah di dunia ini, tapi gue cukup bangga, karena pada akhirnya, gue bisa meraih cita-cita gue. Dari seluruh pekerjaan yang gue miliki, ini adalah satu-satunya pekerjaan yang membanggakan gue. Bukan berarti gue memandang remeh ke-4 institusi dan semua pekerjaan kantoran yang pernah gue jalani, tapi gue hanya merasa biasa saja dengan semua itu. Sangat berbeda dengan pekerjaan gue yang sekarang, yang gue lakukan dengan penuh semangat. Gue juga sangat senang berada di antara para penerjemah. Mereka pintar, bersahaja, saling membantu, dan memiliki pertemanan yang erat. Itu juga yang jarang gue lihat dari dunia kantor yang individual, saling sikut dan sangat banyak melibatkan politik kantor.

Apakah ini euphoria sesaat karena akhirnya gue bisa meraih impian gue? Gak tahu juga, tapi yang pasti, gue sangat bangga dengan profesi ini dan tidak peduli dengan mereka yang masih memandang remeh terhadap penerjemah. Gue hanya minta doa dari kalian, supaya klien gue makin bertambah dan gue bisa beberapa tingkat lebih maju dari sekarang. Amin!

- dari balik jendela kamar apartemen -

Share/Bookmark

Wednesday, August 24

..ada yang salah dengan negeri ini..

Minggu lalu, Indonesia berulang tahun ke-66. Suatu angka yang jika dirujuk pada umur seseorang, maka otomatis ia akan dipandang sebagai sesepuh yang sudah penuh dengan asam garam kehidupan. Tetapi jika angka tersebut dirujuk pada usia suatu negara, bisa dibilang bahwa negara tersebut belum bisa dikatakan tua atau sudah mandiri.


Indonesia, negeri yang kaya budaya, negeri yang luas wilayahnya, dan konon kata, di dasar laut kepulauan Indonesia, terletak benua Atlantis yang telah hilang ribuan tahun lalu. Indonesia, yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan bahasa, kekayaannya sungguh luar biasa.


Namun sangat disayangkan bahwa terdapat sekelompok rakyat Indonesia yang mulai menyebarkan virus untuk tidak mencintai negeri ini, negeri tempat tinggal mereka hidup sejak lahir hingga dewasa, dan sedikit pun mereka tidak merasa malu karena telah menodai Indonesia. Bahkan, tidak jarang mereka merasa bangga atas segala tindakannya.


Berbagai contoh bisa disebutkan. Mulai dari mereka yang mengatasnamakan agama, yang dengan berbagai cara ingin menghilangkan budaya Indonesia dan menggantinya dengan budaya Arab sewaktu Arab masih berada di zaman jahiliyah. Sedihnya, negara tidak memberikan perlawanan berarti terhadap kelompok agama ini.


Mereka mulai mangkak sejak negara mendukung kegiatan mereka yang melahirkan UU Pornografi. Mereka menuntut semua budaya Indonesia yang menggunakan busana terbuka harus diubah dengan pakaian tertutup. Apa mereka tidak tahu, bahwa ciri khas suatu negara itu dilihat dari budayanya? Kalau mereka ingin semuanya tertutup, ya pindah saja ke negara timur tengah.


Setelah itu, mereka mulai bertindak main hakim sendiri dan dengan semena-mena merusak rumah ibadah. Mereka ingin menyeragamkan negeri ini hanya dengan satu agama. Sepertinya mereka lupa, bahwa tepat di ekor burung Garuda, terdapat tulisan "Bhinneka Tunggal Ika", yang artinya "Berbeda-beda tetapi satu jua". Mungkin karena dalam bahasa Sansekerta, maka mereka kurang mengerti artinya. Lain soal jika tulisannya dalam bahasa Arab, pasti mereka akan paham seketika. Masih ingat juga dengan maraknya kejadian penculikan warga Indonesia yang kemudian dicuci otak untuk melancarkan ide berdirinya NII? Begitu rapi dan luasnya jaringan mereka, semua dilakukan demi mencapai cita-cita mendirikan NII, kepanjangan dari Negara Islam Indonesia!

Kemanakah hasil pelajaran sewaktu mereka duduk di bangku sekolah? Apa iya, di sekolah-sekolah agama tempat mereka tidak pernah diajarkan bahwa Indonesia itu terdiri dari 5 agama? Hindu, Buddha, Kristen, Katolik dan Islam. Dengan semena-mena, mereka merusak rumah ibadah dengan berbagai alasan yang menurut mereka logis, tapi menurut kacamata orang banyak, sangat tidak masuk akal. Yang terkini adalah, walikota Bogor yang tidak membolehkan adanya rumah ibadah non-Islam di jalan yang menggunakan nama Haji. Oh my Lord! Benar-benar sebuah alasan pembenaran yang dicari-cari, dan menyedihkannya, didukung pemerintah (paling tidak, Pemerintah tidak menentang wacana ini). Kalau mereka benar-benar belajar agama dengan benar, mereka akan tahu, bahwa Tuhan itu menciptakan manusia dengan berbagai jenis. Jika keseragaman yang mereka inginkan, lalu untuk apa Tuhan membuat segala perbedaan di bumi? Aneh!
Belum lagi dari Dewan Majelis yang mengeluarkan serangkaian fatwa haram seperti sedang kejar target bulanan. Mulai dari mengharamkan minum kopi luwak, mengharamkan kelompok sosial Green Peace, membeli bahan bakar premium, sampai menghormati bendera merah putih! Untuk yang bendera merah putih ini, benar-benar sudah keterlaluan. Mereka itu tinggal di Indonesia, seharusnya tahu bahwa salah satu cara menghargai kemerdekaan Indonesia adalah dengan menghormati bendera. Kalau menghormati bendera merah putih itu dianggap haram, berarti kita memandang remeh perjuangan para pahlawan Indonesia, yang berjuang susah payah memerdekakan negeri ini. Sangat tidak masuk akal!


Itu beberapa contoh dari segi agama. Ada lagi dari segi politik, dan ini benar-benar sudah tidak bisa dicerna dengan akal sehat lagi. Berbagai praktik korupsi dilakukan oleh jajaran aparat pemerintah, mulai dari RT (harus membayar sejumlah uang biar KTP jadi, padahal teorinya, pembuatan KTP ini gratis), hingga tingkat tinggi yang menjadi berita politik nasional (kasus Gayus & Nazarudin). Yang membuat gue sangat terkesima adalah, umur Gayus & Nazarudin ini masih muda. Mereka berdua seumur, dan sama-sama berusia 33 tahun!

Bayangkan! Dengan usia semuda itu, mereka bisa mengelabui dan mempermainkan negara dengan seenaknya, dan negara terkesan diam saja dengan permainan mereka. Praktek korupsi itu bermula dari lingkungan, dan lingkungan di pemerintahan Indonesia ini sudah sangat bobrok, sehingga mereka yang masih muda, yang seharusnya berpikiran ideal ingin membangun Indonesia menjadi negara yang lebih baik, malah melakukan hal yang sebaliknya. Mereka merusak dan menggerogoti Indonesia sedalam-dalamnya.

Entah sampai kapan praktek korupsi yang sangat menjamur ini bisa dihentikan. Suap menyuap sepertinya sudah menjadi hal yang jamak dilakukan. Satu yang selalu terlintas di benak gue, apakah mereka tidak takut, bahwa jika mereka meninggal nanti, mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang mereka lakukan di dunia? Ngeri, sungguh ngeri.

Ada lagi, dari segi budaya & bahasa. Sebagian besar dari kita (dan juga generasi yang lebih muda) tidak mengenal sejarah Indonesia begitu dalam. Memang, tidak semua orang suka sejarah, dan itu sangat dimaklumi. Tetapi, tidak mengenal sejarah Indonesia bukan berarti kita juga bisa seenaknya menghilangkan identitas negeri ini.

Gue mungkin bukan ahli bahasa atau ahli sejarah, tapi gue sedih ketika budaya Indonesia mulai tergerus dan sedikit demi sedikit digeser kedudukannya oleh budaya asing (baca: Barat). Contoh kecil saja, mayoritas teman-teman gue yang memiliki anak balita, lebih memilih untuk memasukkan anaknya ke kelas balet daripada kelas tarian tradisional. Kalau tidak dimulai sejak dini, maka siapa yang akan mewarisi budaya bangsa ini? Gue yakin sekali bahwa tidak ada dari mereka yang berpikiran sejauh ini.

Belum lagi ketika cagar budaya, yang jelas-jelas dilindungi negara, diratakan demi kepentingan pembangunan gedung komersial. Alasannya? Karena cagar alam itu tidak memberikan keuntungan sama sekali! Apakah yang ada di benak mereka hanya keuntungan semata? Kenapa mereka tidak pernah memikirkan dari segi sejarah budaya sedikit pun? Kejadian ini tidak hanya terjadi di kota besar seperti Jakarta, tetapi juga terjadi sampai ke daerah-daerah. Pemerintah hanya mementingkan keuntungan pribadi. Mengapa semua aparat pemerintah tidak bisa mencontoh Joko Wi (walikota Solo) ?

Persoalan lain adalah bahasa Indonesia. Memang bagus kalau seseorang bisa menguasai bahasa asing selain bahasa Indonesia. Tidak heran bahwa banyak sekolah yang berlomba-lomba menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama di sekolah, semata-mata karena mereka ingin bersaing dalam menjaring murid dan juga menyesuaikan dengan label "Internasional" yang terlekat di nama sekolahnya. Dampak yang tidak terpikirkan dari menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama adalah, mereka tidak lagi mengenal bahasa Indonesia. Contoh kasus untuk hal ini sangat banyak gue temui di teman-teman gue sendiri. Dengan bangganya, sang orang tua yang tidak begitu mahir berbahasa Inggris memasukkan anaknya ke sekolah Internasional yang menjadi bahasa Inggris sebagai bahasa utama sehari-hari. Ketika anak-anak kembali ke rumah, mereka tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara lancar, sehingga mau tidak mau, orang tua harus menggunakan bahasa Inggris. Tak jarang ada anak yang malu menggunakan bahasa Indonesia, karena menurut mereka bahasa Indonesia itu jelek (gue ingiiiiiiiiin sekali mengajak anak itu duduk bersama dan bertanya apa alasannya sampai bisa bilang begitu, tapi enggan berdebat dengan orang tuanya).

Kesimpulan gue, ada yang salah dengan negeri ini. Negeri yang memesona ini cukup ternoda oleh kesalahan-kesalahan mereka yang kurang bahkan tidak mencintai negeri ini. Memang masih banyak hal-hal baik yang dapat dilihat dari negeri ini, tetapi carut marut negeri ini sesungguhnya telah menutupi wajah Indonesia.

Sampai kapan Indonesia akan bangkit kembali dan menjadi negeri yang makmur nan jaya? Entahlah.. Gue, sebagai orang Indonesia yang mencintai negeri ini sepenuh hati, hanya bisa berdoa dan berharap, bahwa generasi muda yang akan membangun Indonesia tidak ada yang bermental seperti Gayus, Nazarudin, anggota ormas agama yang radikal, atau mereka yang lainnya yang tidak mencintai Indonesia, yang malu menjadi warga negara Indonesia tetapi tidak malu untuk bertahan tinggal di negeri ini.

Semoga suatu saat nanti, Indonesia benar-benar bisa dikenal di dunia bukan karena kejelekannya, tetapi karena kemakmuran rakyat dan negerinya! Mari kita berdoa untuk negeri ini.
Share/Bookmark

Monday, August 1

..atas nama kemanusiaan..

Pukul 7:30 pagi. Matahari sudah bersemangat untuk menyinari hari dengan sinarnya yang cukup terang. Terlihat dari luar, suasana sekolah yang cukup lengang. Hanya terdengar suara sapu lidi dari beberapa orang yang membersihkan pelataran sekolah. Mereka yang dari jauh tampak terlihat seperti orang biasa tanpa ada kekurangan sedikit pun, namun setelah didekati, baru terlihat bahwa ada yang menggunakan alat bantu pendengaran, ada yang memiliki kekurangan pada indera mata, ada yang tak bisa berbicara dengan lancar, tapi satu yang pasti, kekurangan mereka tidak membuat mereka menjadi tertutup. Mereka menyambut kami, para relawan komunitas Beezer dengan senyumnya yang ceria.

Memasuki selasar gedung berlantai 4, suasana masih terlihat sepi. Tampaknya murid-murid sudah masuk ke ruangan kelas masing-masing. Aku berkeliling, dan kulihat ada 1 kelas berisi 3 murid tuna netra dan 1 guru. Dengan penuh semangat, ketiga murid tersebut membaca buku berhuruf braille, dan terkadang diselingi canda tawa antar mereka.

Mengingat aku harus segera ke atas untuk mengikuti acara, maka bergegas aku naik lift menuju lantai 4. Pintu lift terbuka dan tepat di depannya adalah ruang serba guna yang sudah berisi sekitar 75 anak penghuni SLB Bhakti Luhur. Pemandangan yang mungkin untuk sebagian orang menjijikkan karena mereka tidak sama dengan selayaknya anak normal. Mulai dari yang terkena celebral palsy, yang tidak bisa berjalan normal dan harus duduk di kursi roda, yang terkena sindrom keterbelakangan, autisme, tidak bisa melihat, hingga yang tak bisa diajak berkomunikasi sedikit pun. Tapi untuk diriku sendiri, mereka seperti menyadarkanku bahwa aku patut bersyukur atas segala rahmat dan berkah yang telah Tuhan berikan padaku selama ini.

Mereka sudah berkumpul rapi dengan seragam Pramuka dan bernyanyi bersama. Tidak, mereka tidak menyanyikan lagu SM*SH atau 7 Icons, bahkan mungkin mereka tidak mengenal grup tersebut. Tapi mereka menyanyikan lagu-lagu anak kecil seperti "Di sini senang, di sana senang", "Potong bebek angsa", dan berbagai lagu anak kecil lainnya yang mungkin untuk sebagian besar anak kecil lainnya di Jakarta sudah tidak lagi dikenal, apalagi dinyanyikan.

Acara dimulai sekitar pukul 9 pagi. Diawali dengan sambutan dari Kepala Sekolah, lalu sang Ratu Lebah dan penyuluhan kesehatan gigi. Setelah itu, baru dilanjut permainan yang dipandu Teh Fifie & Bhayu, kemudian ditutup dengan dongeng oleh Kak Aio. Ragam permainan yang diberikan mungkin buat anak-anak seumur mereka merupakan permainan yang norak, tapi bagi mereka, permainan itu sangat menghibur. Dan jujur, mendengar tawa mereka itu sangat sangat menyenangkan. Karena dengan kata lain, kami berhasil menghibur mereka.

 
Pun dengan dongeng kak Aio yang sederhana tapi sangat interaktif. Bisa membuat mereka memperhatikan dan berpartisipasi dalam dongeng. Mungkin kalau bukan kendala waktu yang sudah hampir mendekati jam istirahat makan siang, dongeng akan dilanjutkan sampai kak Aio pingsan di tempat kehabisan nafas dan suara :)

Acara ditutup dengan nyanyi dan joget bersama mereka. Suatu pemandangan yang sangat sangat membuatku tercekat. Air mata sudah mengambang di pelupuk mata, tapi aku tak mungkin menangis di hadapan mereka. Bukan karena aku takut terlihat lemah, tapi aku tak mau mereka merasa bahwa mereka memiliki kekurangan dan harus dikasihani. Mereka tidak butuh dikasihani, tapi mereka butuh didorong dan dikuatkan hatinya untuk bisa terus maju menghadapi dunia yang terkadang tak bisa bersikap ramah kepada mereka.

Buat komunitas Lebah dan relawannya, terima kasih sudah memberikan diriku kesempatan untuk melihat sisi lain dunia. Mari kita tebarkan sengatan untuk memberi kebaikan dan rasa peduli pada sesama.

- lend our hands to help others in the name of humanity, not religion -








Share/Bookmark

Sunday, July 31

..berubahnya angka..

Ulang tahun. Hari pergantian umur seseorang yang konon katanya, peristiwa untuk menandakan bertambahnya kedewasaan seseorang namun di satu sisi juga menandakan berkurangnya umur orang tersebut untuk hidup di dunia fana ini.

Tapi menurut gue sendiri, hari ulang tahun tidak ada bedanya dengan hari-hari lainnya. Satu-satunya perbedaan adalah perubahan penulisan angka, sehingga ketika ditanya orang berapa umur gue, gue bisa menjawab dengan tepat. Selain itu, semuanya sama saja.

Tetapi apakah itu pertanda bahwa gue tidak menjadi dewasa karena gue merasa biasa saja? Entahlah, karena orang lain yang bisa menilai apakah gue cukup dewasa atau tidak. Tapi yang pasti, gue merasa begitu banyak perubahan yang gue alami dalam hidup ini dan itu tidak berkaitan dengan perubahan angka di hidup gue. Gue selalu beranggapan bahwa kedewasaan seseorang bukanlah dilihat dari seberapa besar angka yang dimiliki, tetapi diukur dari cara pandang atau pola pikir orang tersebut dalam kehidupan ini, baik saat mengalami masa yang menyenangkan ataupun menyedihkan.

Hari ini, gue berulang tahun yang ke 35. Konon kata lagi, umur 35 untuk seorang wanita lajang adalah angka yang cukup rawan. Tapi sampai saat ini, gue belum bisa melihat kerawanan itu karena menurut gue, segala kerawanan itu diciptakan oleh masyarakat yang belum bisa menerima bahwa seorang wanita masih melajang di usia kepala 3, apalagi usia 35 :)

Gue sangat beruntung memiliki seorang ibu yang demokrat, yang kurang peduli dengan segala stempel masyarakat bahwa anak perempuannya memilih untuk hidup melajang. Gue sendiri berpikir bahwa menikah itu adalah sebuah pilihan hidup, bukan karena paksaan dari orang tua, apalagi paksaan dari masyarakat yang notabene tidak mengenal gue. Gue bersyukur bahwa ibu gue cukup mengerti dengan pilihan gue ini. Tidak seperti orang tua lainnya yang menuntut sana sini dan sudah memberikan target umur menikah kepada anak perempuannya. Kasihan..

Entah mengapa, tapi sedari dulu, mungkin sejak gue SMA, gue tidak pernah berpikir secara serius bahwa suatu saat gue akan menikah. Bukan karena gue anti lelaki, tetapi karena gue merasa bahwa masih banyak prioritas lain yang perlu dikedepankan. Untuk tipikal perempuan, apalagi perempuan yang seumur dengan gue dan sudah berkeluarga, pemikiran gue ini mungkin akan dianggap aneh. Tetapi menurut gue pribadi, menikah bukanlah suatu keharusan dalam hidup, walau dalam kitab suci agama gue telah disuratkan bahwa Tuhan menciptakan makhluk hidupnya berpasang-pasangan. Tapi apakah pasangannya itu akan ditemukan di dunia atau di akhirat nanti, tidak diceritakan secara terperinci.

Cukup banyak perempuan yang frustrasi karena masih melajang di usia kepala 3, sibuk alang kepalang mencari pria untuk dinikahi dari berbagai sumber teman dan keluarga, tak jarang dari jejaring media sosial. Gue pribadi merasa kasihan sama mereka. Kasihan karena mereka terjebak dalam stempel buatan masyarakat, bahwa seorang perempuan akan dicap negatif jika masih belum menikah di usia kepala 3. Kasihan dengan mereka yang tidak bisa berpikir jernih lagi bahwa ada hal lain di dunia ini yang membutuhkan banyak perhatian selain menikah dan berkeluarga, sehingga mereka menikah hanya karena status dan dorongan masyarakat.

Prioritas dalam hidup gue selain meluangkan waktu sebanyak mungkin bersama ibu yaitu membaktikan diri di kegiatan sosial, apapun itu bentuknya. Bukan berarti gue ingin menjadi aktivis sosial, tapi lebih kepada rasa ingin berbagi dan membantu sesama yang memiliki kekurangan supaya mereka tidak memandang negatif pada kehidupan ini, pada Tuhan Sang Pencipta kehidupan. 

Prioritas lain adalah merintis jalan meraih cita-cita sebagai seorang penerjemah profesional. Profesi yang sudah gue jalani cukup serius beberapa tahun belakangan ini. Profesi yang tak jarang masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar orang. Profesi yang menurut sebagian besar orang tidak menghasilkan cukup banyak uang untuk membiayai pengeluaran sehari-hari. Tapi apa daya, gue telah jatuh cinta dengan profesi ini, dan dengan restu Tuhan, gue yakin bahwa gue bisa meraih cita-cita gue.

Mungkin, suatu saat nanti, akan ada masanya gue akan memiliki pandangan yang berbeda tentang kehidupan ini berikut prioritas yang ada di dalamnya. Tapi kapankah masa itu akan datang? Gue tidak ambil pusing. Yang jelas, gue akan menjalani hari dengan prioritas yang gue miliki saat ini. Apakah itu tandanya gue tidak memikirkan masa depan? Sama sekali tidak benar. Gue hanya sekadar ingin menikmati hari-hari di dunia fana ini tanpa perlu memusingkan pandangan orang lain tentang gue. Tanpa perlu sedikit pun merasa iri dengan kehidupan orang lain.

Untuk mengakhiri catatan perubahan angka di malam ini, gue ingin mengutarakan bahwa segala sesuatu dalam hidup ini merupakan suatu pilihan, dan segala pilihan yang kita ambil akan membuahkan konsekuensi yang harus siap kita hadapi. Tidak selalu berkaitan dengan pertambahan umur, tapi yang pasti berkaitan dengan pola pikir memandang kehidupan ini.

Age is just two digits number, never use it to measure one's maturity.

- 31072011 -

Share/Bookmark

Thursday, April 7

..mengumpat..

Apakah ada dari kalian yang pernah sepanjang hidupnya tidak pernah mengumpat? Gue percaya bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah mengumpat. Yang membedakan mungkin kadar mengumpatnya, dan juga jenis umpatan yang dilontarkan.

Mengumpat tidak sama dengan mendamprat (dan gue pun tidak bermaksud untuk berirama). Menurut gue, mengumpat adalah caci maki yang dilontarkan karena kesal terhadap atas sesuatu hal atau seseorang (bisa juga sih terhadap sekelompok orang, bahkan senegara). Mengumpat, dalam banyak masa, merupakan suatu kepuasan tersendiri walau tidak menyelesaikan apapun

Umumnya, umpatan itu dilontarkan ketika taraf kekesalan sudah memuncak dan simpanan kesabaran sudah habis, sehingga ketika menemui satu kondisi yang tidak sesuai dengan harapan kita, otomatis umpatan akan keluar dengan sangat lancar.

Umpatan apakah yang sering diucapkan? Menurut pengamatan (dan juga pengalaman pribadi), rata-rata berkaitan dengan nama binatang dan tingkat intelegensia seseorang, walau tak jarang kotoran pun juga sering terucap.

Memang, mengumpat itu bukan hal yang baik, apalagi karena hal itu sampai diangkat dalam salah satu surat Al Quran. Namun tak jarang kita ingin mencari pembenaran atas segala umpatan yang terlontar, dan setelah kita merunut dan menganalisa kembali, ternyata kita yang salah, tetap saja kita tidak mau disalahkan. Apalagi kalau disalahkan sambil diberitahu "makanya, gak usah cepat-cepat ngumpat, wong kamu juga yang salah." Beuuuuuuh, seperti mau mengumpat lebih pedas.

Entah sejak kapan gue memiliki kebiasaan ini, tapi gue rasa sejak duduk di bangku SMA (hihihihiiiiiiii, lama ya?) Apakah kebiasaan mengumpat bisa dihilangkan? Hmmm, jika pertanyaan itu ditujukan pada gue, kemungkinan besar gue akan menjawab tidak bisa, tapi kalau dikurangi kadarnya, gue sangat yakin bisa.

Hal pertama yang harus dilakukan memang niat untuk mengurangi kadar umpatan. Dan sangat disadari, bahwa niat saja tidak cukup. Salah satu hal penting yang harus dijalankan adalah selalu berpikiran positif, dan yang terakhir adalah tidak berada di lingkungan yang senang mengumpat juga. Tanpa kita sadari, hal yang terakhir ini bisa memegang peranan penting tentang kebiasaan mengumpat kita. Dan jika setiap hari kita bergaul dengan para pengumpat, maka mau tidak mau, kebiasaan buruk itu menjadi suatu hal yang amat sangat wajar dilakukan.

Sulit? Mungkin saja. Tapi gue yakin, bahwa suatu saat nanti gue bisa menghilangkan kebiasaan buruk ini. Dan semoga saja kalian yang mengalami hal yang sama dengan gue, suatu saat nanti juga bisa menghilangkannya, ya paling tidak, menguranginya.

Share/Bookmark