Tuesday, July 31

..singa betina di negeri singa..

Hari ini gue berulang tahun. Sejak lahir hingga tahun lalu, gue selalu dikeliling teman-teman dan keluarga setiap ulang tahun, baik perayaan pas teng jam 12 bersama mereka, surprise party di kantor atau cuma ngumpul dan makan bersama. Intinya, gue gak pernah sendiri merayakan hari kelahiran gue.

Tahun ini, gue ingin sesuatu yang beda. Gue ingin sendiri. Sebenernya, gue udah lama pengen sendiri di hari ulang tahun, tapi baru kesampaiannya sekarang. Dulu, gue pengen melipir ke Bali and just sat around the beach (thou I ain't a beach person). Hari ini, gue melipirnya ke negeri singa alias singapura.

Gue merayakannya dengan datang ke eksibisi Harry Potter. Gue seperti anak kecil yang sangat campur aduk perasaannya. Segala fantasi yang gue dapat dari buku dan film, gue bawa ke pameran itu. And you know what? I was about to cry! Gue seperti mimpi berada di dalam ruang pameran itu. My heart went faster and I didn't care if someone said I was exaggerating thing, but that's what happened. Setiap detil gue perhatikan dan saking gak kepengennya gue keluar dari ruangan itu, gue sampe balik lagi ke titik awal pameran. I wanna stay inside forever. I just didn't wanna go out from that room but I had too :(

Kelar dari pameran, gue ke hotel, istirahat bentar dan abis maghrib, langsung keluar lagi untuk cari makan malam, balik hotel and here I am, writing this blog :)

Too me, age is just 2 digits number. It doesn't show your maturity. It is absolut that you're gonna get old. But how mature you are in dealing with getting older and especially, dealing with life, that's what matter most.

Gue tidak ingin berkontemplasi dengan diri di hari yang konon kata adalah hari spesial, karena kontemplasi sebenarnya bisa dilakukan kapan pun :) And being honest, I can't think of anything else but lotsa things to be done and places to go to. O yeah, plus ibu. Itu yang ada di pikiran gue saat ini.

Kalau membicarakan ibu, hanya ada 1 kewajiban yang belum gue tunaikan :) Memang, hidup gue hanya untuk ibu dan apapun yang dia mau, sebisa mungkin gue wujudkan. Tapi untuk yang 1 itu, bukannya gue gak mau usaha u/ mewujudkannya, tapi gue udah males & capek, I'm totally sucks in that department. Setiap kali berhubungan, mostly broke up krn gag sesuai dg yg diinginkan ibu. Jadi, gue udah gag mau ribet.

Banyak yg bilang kalo it's good to have a partner that you can share life with and they all say that once you met the person, then you just know that person is the right one for you. Those who think who knew me said that I have to open my eyes & my heart. O well.. Sometimes I do that, but then I realize that I shouldn't let my wall that I built so tall to fall, especially when I knew that he's not what my mom wants. I'm faraway for being a traumatic person, as I'm just being realistic. Besides, I hate myself when I start to raise some hopes, do those future thingy and bla bla bla you know the rest.. As a Leo, I forbid myself to be so weak :)

Jadi, walau gue tau ada orang yang suka ama gue, gue akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlalu let myself into it because I knew I fall too easily, that's why I don't wanna start anything when I knew it's going nowhere. That's one of reasons I'm building my wall too. I don't care if I hurt him, but he should've known that I won't open myself (although I feel I want to) unless he knows for sure that he could give me what I want, what my mom wants.

Might be complicated but I choose mom over a man. I choose her over some random guy who comes-and-goes and share his feeling to me. My mom is my life and whatever I do, it's for her :)

Anyway, maybe there will come a time for me untuk menunaikan kewajiban gue yang tertunda, tapi for the time being, I just wanna enjoy my life. Far from being complicated. Just me, work and travelling..

-me-
*from a small hotel's room*
Share/Bookmark

Wednesday, July 25

..berlaku jujur..

Sekitar 1 bulan lalu, gue membaca status teman gue di FB. Temen gue ini gay, umur 30 tahun, dan di statusnya dia bilang bahwa ia akhirnya memberitahu kedua orang tuanya kalau selama ini dia memiliki orientasi seksual dari orang kebanyakan.

Jujur, gue salut sama dia. Karena gue yakin, untuk terbuka pada orang tua sendiri itu membutuhkan pemikiran yang sangat matang, pergolakan batin yang sangat hebat. Gue salut, karena dia bisa sampai di titik bahwa ia tidak perlu lagi menutup-nutupi jati dirinya. Bahwa ia memang berbeda, dan kedua orang tuanya harus tahu dari mulutnya sendiri, bukan dari orang lain. Tapi gue yakin, setelah ia berbicara terus terang dengan kedua orang tuanya, dia pasti sangat lega, karena akhirnya dia bisa terbebas dari beban, tidak perlu lagi membohongi kedua orang tuanya, dan tidak perlu lagi jaim.

Tapi di sisi lain, sebagai orang tua, gue cukup yakin bahwa kedua orang tuanya merasa kecewa. Apalagi mengingat teman gue ini anak pertama dan satu-satunya laki di keluarga. Lagipula, orang tua mana pula yang tidak akan kecewa? Anak pertama yang diharapkan oleh orang tua ternyata tidak sesuai dengan harapan. Kalau gue jadi orang tuanya, mungkin gue akan kecewa. Tapi mungkin aja gue sama sekali tidak kecewa. Kenapa? Karena paling tidak, dia sudah berusaha jujur dengan dirinya sendiri, dan bagi gue, itu yang terpenting.

Gue orang yang sangat menghargai kejujuran. Sepahit apapun, lebih baik dibicarakan di awal. Persetan dengan stempel orang. Gue percaya, bahwa jujur dengan diri sendiri gak akan membuat hidup menjadi lebih susah. Banyak orang yang gak bisa menerima kejujuran orang lain. Ketika mereka dikritik, walaupun itu kritik membangun, mereka marah. Alih-alih introspeksi atau minta maaf, mereka menjadi defensif dan menyerang balik. Contoh lain, ketika ada yang berusaha jujur memberikan pendapatanya, si pemberi pendapat malah dimusuhi. Ada lagi ketika kejujuran disampaikan, tetapi si penyampai berita/info malah diberitakan yang tidak-tidak. Dan banyak lagi contoh reaksi lainnya ketika orang-orang tidak siap dengan suatu bentuk kejujuran yang disampaikan.

Gue lebih menghargai orang yang ngomong di depan gue apa adanya. Wajar, kalau reaksi pertama itu kaget. Tapi selebihnya, gue akan mencerna segala omongan yang disampaikan. Perlu waktu, apalagi untuk orang seperti gue yang sangat mendetil dan mencerna segala sesuatunya dari A - Z. Tapi yang pasti, gue gak akan memusuhi orang itu, ngomong jelek tentang dirinya, apalagi sampe maen dukun. Hadeuuh, bukan gue banget!

Ada satu teman gue, ketika gue beritahu sesuatu, dia marah dan ngediemin gue selama beberapa bulan. Gue gak masalah dan gue gak peduli. Tapi akhirnya, temen gue ini nyadar sendiri dan hubungin gue duluan. Ya udah, pertemanan berlanjut sampai sekarang.

Intinya adalah, reaksi menghadapai kejujuran itu memerlukan sebentuk kedewasaan. No, bukan berarti orang yang umurnya banyak itu dewasa, mereka cuma tua. Kedewasaan di sini adalah dalam berpikir dan mencerna semuanya. Gue gak bilang kalo diri gue dewasa, tapi gue berusaha untuk menjadi dewasa, dan berusaha untuk jujur dengan diri sendiri.

Ketika elo sudah bisa jujur dengan diri sendiri, berbicara dengan kata hati elo, dan reaksi elo tidak emosional ketika ada yang menyampaikan suatu kejujuran, menurut gue, elo sudah cukup dewasa dan gue jamin, hidup lo akan terasa lebih ringan.

MySpace

Share/Bookmark

..pangkat pajangan..

Gambar di sebelah kiri adalah tanda pangkat yang umumnya dipasang di spion tengah mobil.

Kalau diperhatikan, banyak sekali mobil-mobil, gak cuma di Jakarta, yang pasang tanda pangkat ini. Gue sendiri, sebagai anak seorang Marinir, gak pasang satu atribut militer pun di dalam mobil. Ada sih baret ungu bapak, ada 2 malah, tapi ngapain juga gue taro di dalam mobil. Gue gak liat fungsinya sama sekali selain pamer.

Sama halnya gue gak liat fungsi tanda pangkat ini dipasang di spion mobil. Apa dengan pasang tanda ini, terus pengendara mobil bisa seenaknya di jalan raya? Atau kalo mereka ditilang sama polisi karena kesalahannya terus mereka bisa lari dan gak ditilang sama polisi? Kalau memang mereka bisa lolos dengan adanya tanda pangkat ini, lalu kenapa tanda ini bisa didapatkan dengan gampang oleh warga sipil? Banyak sekali toko yang menjual bebas tanda pangkat militer dan polisi. Blok M, Kebayoran Lama, Taman Puring, Mayestik, itu baru 4 tempat yang gue inget.

Entahlah, tapi menurut gue, tanda pangkat itu bukan suatu pajangan yang bisa dipamerkan di sembarang tempat. Tanda pangkat itu merupakan buah kerja keras seseorang untuk meraihnya. Bangga boleh aja, tapi sampe ditaro di spion mobil? Buat gue itu sih semacam merendahkan, karena pangkat yang lo dapat cuma senilai pajangan spion.

Share/Bookmark

..pintar atau rajin?..

Gue adalah anak ke-3, dari 3 bersaudara. Kakak gue yang pertama pinter banget, yang kedua rajin banget. Waktu SMA dan ada pembagian jurusan, gue memilih jurusan dengan cara simpel. Kakak gue yang 1 kan masuk A1 (Fisika), yang kedua masuk A2 (Biologi) ya gue karena anak ke-3, jadi masuk A3 (Sosial). Lagipula, walau gue keterima di A2 dan gue suka sekali dengan kimia, gue gak mau buang-buang waktu gue untuk ngapalin nama latin flora & fauna di dunia ini. 

Sejak SMP, gue sudah tahu gue mau kuliah di mana, Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (d/h NHI). Gue mau kerja di industri pariwisata, jadi pemandu wisata. Alasannya sederhana, karena gue ingin menjelajahi Indonesia. Waktu kelas 3 SMA, semua teman sibuk ikut bimbingan belajar sana sini, ada yang bahkan sampai ngambil 2 kursus bimbel demi diterima di universitas negeri. Gue? 1-2 minggu pertama rajin, abis itu males ikut kelasnya dan bulan ke-2 bilang ke ibu gue untuk berenti daripada buang-buang uang karena gue sama sekali gak minat masuk universitas negeri dan mendapatkan gelar sarjana. Pas lulus SMA, gue disuruh bokap ikut UMPTN, tapi gue berusaha sebisa mungkin untuk tidak ikut karena gue udah tahu, bahwa universitas negeri & menjadi sarjana itu bukan gue banget. Mendingan uang UMPTN dikasih ke gue untuk beli sesuatu yang lebih bermanfaat. Tapi bokap memaksa, dan alhasil, selama 2 hari UMPTN, gue mengerjakan semua ujian dalam waktu 30 menit lalu selebihnya gue tidur di kelas sembari menanti bel ujian tiba. Guru pengawasnya hanya bisa geleng-geleng liat gue. Mungkin dia pikir, ini anak gila, secara yang lain berebut masuk ke universitas, tapi gue sama sekali gak tertarik.

Singkat cerita, gue lulus kuliah dari STP Bandung tapi gak kerja di industri pariwisata karena ketika lulus, Indonesia lagi kena angin reformasi dan dunia sedang dilanda krisis global. Jadi industri pariwisata & perhotelan anjlok total. Maka gue dan banyak teman gue yang lulus tahun itu harus memutar otak dan pindah haluan kerja.

Gue sempet kerja di US Embassy, Nokia Networks & Ericsson Indonesia sebelum gue memutuskan untuk jadi penerjemah. Yang lucu, semua posisi pekerjaan gue itu memiliki persyaratan, bahwa orang itu harus lulusan S-1. Yang gawat malah untuk posisi gue di Ericsson. Orang yang menempati posisi itu harus lulusan S2 dan memiliki background teknis, dan gue gak punya dua persyaratan itu. Terutama untuk dua perusahaan terakhir, saat gue mau mengundurkan diri, gue selalu ditahan sama mereka karena mereka gak bisa menemukan orang lain. Mereka udah ketergantungan ama gue, seorang anak jurusan sosial di SMA, lulusan D4 perhotelan tapi kerja di telekomunikasi yang posisinya itu mensyaratkan seseorang dengan lulusan S2. Ahahahaaayyyy.... Lucu banget kan?

Gue sering banget dilecehin sama orang-orang karena gue ngambil jurusan A3 di SMA. Setiap kali gue jawab gue anak Sosial (A3), jawaban mereka sama, "Pantes!" atau, "Gue dong anak A1" dengan nada agak melecehkan dan membanggakan diri sendi. Reaksi gue ke orang-orang itu selalu sama, "Terus emang kenapa kalo gue anak Sosial?" Mereka diam, gak bisa jawab selain, "Ya udah ketauan aja.." Huh? Aneh!

Mungkin gue aneh, karena gue gak pernah mau sekolah tinggi-tinggi, punya gelar ampe lebih panjang dari nama sendiri. Buat gue, hidup itu sederhana aja. Sekolah yang wajib ampe SMA, terus kembangin cita-cita sesuai dengan jalur pendidikannya, setelah itu cari uang yang banyak dan menikmati hidup dengan liburan sepuas-punsnya. Gak perlu capek-capek bergelar sarjana karena titel sarjana gak membuat gue berpenghasilan tinggi. Negeri ini udah terlalu banyak sarjana, lulusan mulai dari universitas terkenal sampe sekolah ecek-ecek. Saking banyaknya itu sarjana sementara lowongan pekerjaan rendah, mereka nerusin sekolah lagi ke S2. Ujung-ujungnya, mereka lulus dari kuliah dan pas masuk ke dunia perkantoran, mereka bingung, gak bisa adaptasi dan lebih pintar lulusan SMA dari mereka. Jadi untuk apa punya gelar sarjana?

Ibu gue suka bingung dengan pikiran-pikiran gue yang menurut dia suka nyleneh. Di keluarga, mungkin gue satu-satunya yang gak peduli dengan gelar. Kakak gue yang pertama memang lulusan D3, tapi dia sempat masuk FISIP UI (walo cuma 1 semester) dan sekarang agak menyesal kenapa dia lebih memilih LPK Tar-Q daripada UI-nya saat itu. Kakak gue yang kedua S1 Perbanas, bapak gue S1 dari STAN, ibu gue Apoteker lulusan UGM. Jadi menurut gue, sudah cukup 1 anak saja yang memiliki gelar, gak perlu semuanya. Di keluarga ini juga, gue satu-satunya yang mutusin untuk gak jadi pekerja kantoran (walo ibu gue sempat khawatir karena dalam darah turunannya, gak pernah ada yang bukan pekerja kantoran). Tapi gue yakinkan ke ibu, bahwa untuk mendapatkan penghasilan itu gak melulu dari kantor, dan ia menyerahkan semuanya ke gue

Gue pernah iseng, nanya ke ibu gue, sebenernya gue masuk kategori mana, pintar atau rajin? Ibu gue pun gak bisa menjawab selain, "Kamu itu emang beda sendiri.." dan kita berdua ketawa-ketawa tanpa ingin menggali lebih dalam. Free Userbars

Share/Bookmark

Thursday, July 19

..Bu Warso..

Untuk kebanyakan orang, mungkin bu warso hanya dikenal sebagai seorang tukang pijat. Tapi buat gue dan keluarga gue, dia sudah selayaknya keluarga sendiri. Begitu banyak hal baik yang telah dilakukannya untuk keluarga ini. Sangat banyak sampai tak terhitung lagi.

Tiga minggu lalu, ibu menemani bu Warso untuk cek kesehatan. Saat itu, bu Warso masih bisa jalan dengan tegaknya. Ketika keluar hasilnya, dokter bilang kalo bu warso diperkirakan terkena penyakit kanker, tapi harus dicek lebih lanjut. Saat itu bu warso belum mau diopname karena masih tampak sehat. Dua minggu lalu, diputuskan untuk rawat inap di RS. Dokter di sana pun mendiagnosa hal yang sama, tetapi berhubung mereka tidak ada alat yang menunjang, jadi yang mereka bisa lakukan hanyalah menahan rasa sakitnya. Bu Warso diopname selama 1 minggu dan selama itu pulalah gue lihat kondisinya mulai menurun.

Selasa kemarin, bu Warso dibawa ke Dharmais untuk cek semuanya, dan dari hasil kesehatan, bu Warso didiagnosa mengidap kanker paru stadium 4. Tadi sore, gue ke rumahnya yang cuma berjarak 2 menit dari rumah. Gue memang baru sore ini lagi menjenguknya. Bukannya gue sok sibuk, tapi gue gak tega. Gue tau sampai di batas mana kekuatan gue. Gue gak mau nangis di depan dia. Makanya, gue mengumpulkan kekuatan dulu untuk menemuinya.

Sore itu, ketika gue liat dia di kamarnya, tergolek lemah di tempat tidur tanpa ada suara yang bisa dikeluarkan karena sudah sangat sakit untuk berbicara, gue hanya bisa tercekat dan terdiam. Gue tahu kalo gue gag boleh nangis, harus kuat di depan dia.

Saat gue mengelus punggungnya, gue terbayang tangannya yang kuat memijat gue dan seisi keluarga ini, segala nasihat yang dia ucapkan ke gue, segala perbuatan yang telah dia lakukan untuk keluarga ini, segala perjuangan hidup yang telah ia lakukan untuk keluarganya, caranya berbicara, segalanya.

Ingin rasanya gue minta ama Tuhan, kalo emang dia harus meninggal, segerakanlah. Jangan siksa bu Warso seperti ini. Bukannya gue jahat pengen dia cepat-cepat meninggal, tapi murni karena gue gak tega. Hancur hati gue ngeliat keadaannya.

Dan akhirnya, air mata gue sudah tak terbendung lagi ketika gue harus berpamitan dan mencium pipinya. Gue hanya bisa berkata "semoga cepat sembuh" walau gue tau sepertinya itu hanya harapan kosong. Dan bu Warso hanya bisa mengangguk tanpa sepatah kata pun.

Tuhan, kalau kau memang menyayanginya dan menginginkan dirinya untuk menemuimu, segerakanlah. Jangan siksa terlalu lama. Sakit sekali melihatnya terkulai lemah tak berdaya seperti itu. Tapi kalau kau menginginkannya untuk hidup lebih lama lagi di dunia, maka sembuhkanlah. Jika kau memang Maha Pendengar dan Maha Pengabul Doa, tolong dengarkan dan kabulkanlah doaku ini.

Amin..
Share/Bookmark