Sunday, August 18

..ini untuk lo, Dhev..

Berat bagi gue untuk menulis ini, tapi mungkin ini satu-satunya cara untuk mengungkapkan segala perasaan gue. Gue pertama kali mengenal Dheva tahun 2004. Kami berdua sama-sama One Loyal Listener, sebutan untuk pendengar Radio One yang sekarang berganti nama jadi Jak FM. Kami bertemu sekali saja, tapi kesan akan dirinya cukup membekas terutama karena namanya yang unik.  

On my last day @ Nokia - 2007
Satu tahun kemudian, gue ketemu dia lagi, tapi kali ini dalam situasi yang berbeda. Kami berdua sama-sama kaget waktu itu. Gue kaget karena gak nyangka bakal ketemu dia yang lagi ada di ruang resepsionis Nokia sedang menunggu giliran wawancara, sementara dia kaget karena gue masih inget namanya sementara dia udah lupa kalo kami sudah saling kenal. Singkat cerita, dia lolos wawancara, diterima bekerja di Nokia dan sejak saat itu, gue dan Dheva beserta Lany and Ge sering menghabiskan waktu bersama. Ketika gue akhirnya memutuskan pindah kerjaan tahun 2007, kami berempat pun masih terus berkomunikasi dan sering bertemu beberapa kali hanya untuk sekadar bertukar cerita. 

Gue inget banget, waktu itu bulan puasa tahun 2011. Gue, Dheva, Lany and Ge berbuka puasa bersama di Canteen Pacific Place. Dia bercerita dengan penuh semangat tentang Gunung Rinjani dan dia menyuruh gue untuk pergi ke sana. Dia bahkan bilang kalo suatu saat dia akan ke sana lagi karena pemandangan di Rinjani benar-benar indah, tidak seperti pemandangan di gunung-gunung lainnya. Memang, di tahun 2011 itu, hampir setiap akhir pekan dia bersama teman-temannya pergi mendaki gunung. Cerita dia tentang Rinjaninya itulah yang menjadi salah satu motivasi gue untuk membuktikan keindahannya. Ketika dia tahu gue mau naik Rinjani di bulan Juni 2012, dia yang paling bersemangat. Dia bilang kalo perjalanan gue gak akan sia-sia. Ketika gue berhasil mendaki Rinjani, Dheva menjadi orang pertama yang gue beritahu.

Buka puasa bersama terakhir kalinya
Bukan hanya tentang gunung yang membuat dia semangat bercerita, karena pada dasarnya, dia memang selalu berapi-api kalau bercerita. Bahkan di setiap percakapan, dia selalu menjadi pusat bahasan kami. Kalau kami sudah berkumpul, saling bertukar cerita heboh, tertawa keras, cela-celaan, waktu terasa sangat singkat. Yang paling gue inget ketika Dheva sudah heboh banget, yaitu pas dia mengeluarkan suara melengkingnya yang sampai 7 oktaf dengan gaya 1 tangan menutup mulutnya.  Ampuuun, pasti ngakak gak ketulungan dan itu gak akan pernah gue lupain!

Tahun lalu, ketika gue dengar dia operasi di bagian kepalanya, gue pikir itu hanya persoalan sepele. Gue gak pernah mengira kalau dia harus menjalani operasi itu karena ada tumor di otaknya karena saat itu posisinya ada di Surabaya dan gue hanya mendengar comotan-comotan cerita yang membuat gue susah untuk merangkum cerita. Saat pertama kali masuk RS, dia sulit dihubungi karena ketika dia jatuh tak sadarkan diri, ada orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Semua handphone, laptop dan tasnya dicuri orang. Gue baru dengar kabarnya setelah dia dipindah ke Jakarta.

2 Januari 2013, itu adalah terakhir kalinya gue bertemu dan ngobrol sama Dheva. Saat itu, semangat dia untuk tetap hidup begitu besar. Dia cerita tentang penyakitnya, sumbernya yang mungkin didapat karena sering sekali dia ditabrak kendaraan waktu kecil, mulai dari roda 2 sampai roda 8. Dia juga cerita tentang operasi yang sudah dijalani, perawatannya, lalu keinginannya untuk segera bekerja. Memang kondisi Dheva saat itu sudah membesar karena efek samping obat yang membuatnya seperti itu. Gue meninggalkan Dheva dengan suasana hati yang gembira karena walau menderita penyakit yang serius, semangat dan optimismenya untuk bertahan hidup masih tetap ada, bahkan lebih besar dari perkiraan gue.

Beberapa saat sebelum gue liburan ke Amerika, dia bilang ke gue, kalo dia juga mau maen ke Amerika dan jenguk mbak Desy di Washington DC. Dia juga pengen ke NY dan gue bilang ke dia kalo gue gak suka kota itu. Gue bilang ke dia, kalo ntar ke sananya bareng aja, gue temenin dia selama di DC tapi ke NY-nya sendirian aja. Selama di Amrik gue gak komunikasi sama sekali karena perbedaan waktu, paling-paling hanya berbalas komen di medsos.

Sekitar 1-2 minggu sebelum puasa berakhir, entah kenapa gue ingin sekali menghubungi Dheva, tapi setumpuk terjemahan membuat gue harus fokus menyelesaikan pekerjaan dulu. Sampai akhirnya hari Rabu siang, Ge kirim pesan lewat WA dan mengingatkan gue untuk menghubungi Dheva. Singkat cerita, gue dapat kabar kalau dia sudah dirawat lagi di RS sejak 19 Juli dan sudah sulit membuka mata sejak tanggal 9 Agustus. Sore itu juga, gue, Ge dan Rejiko ke sana untuk menjenguk Dheva. Berat rasanya melihat Dheva seperti itu dan berat rasanya untuk mengharapkan ada secercah keajaiban untuknya.

Berat, itu juga yang dirasakan oleh Dheva menjelang kepergiannya. Dia berulang kali mengucap bahwa kepalanya berat ke ibunya. Mungkin tumor otaknya sudah semakin merajalela dan membuat kondisinya drop sehingga harus masuk ke ICU hari Jumat pagi. Gue gak bisa datang menjenguk di hari itu karena sudah ada janji yang lain dan kondisi gue juga lagi tidak fit. Gue berencana untuk menjenguk Dheva di sore hari ini, sekalian pamit kalau mungkin itu terakhir kalinya gue lihat Dheva. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ketika gue baru mau menuju RS, gue dapat kabar kalau Dheva sudah gak ada. Ada rasa tidak rela yang sangat besar di diri gue, yang belum bisa menerima kalau Dheva benar-benar sudah gak ada.

Bahkan ketika gue melihat Dheva yang sudah tertidur untuk selamanya, gue masih belum bisa percaya kalau Dheva benar-benar sudah gak ada. Jujur, gue gak suka perasaan ini. Gue tahu kalau semua orang pasti akan meninggalkan dunia ini, tapi kenapa harus sekarang? Iya gue tahu kalau gue harus merelakan kepergiannya, tapi gue gak bisa memungkiri kalau cukup sulit bagi gue untuk nerimanya, apalagi mengingat semangat dia untuk bertahan hidup yang sangat besar.

Maafin gue, Dhev, karena besok gak bisa mengantar elo pulang selamanya ke rumah abadi elo. Bukan gue gak bisa, tapi gue tahu kalau gue gak akan bisa kuat melihat elo dikubur. Gue akan menganggap elo masih hidup walau hanya di hati. Gue akan selalu mengenang elo sebagai sosok Dheva yang ceria, yang gak pernah marah walau sering dicela, yang perhatian, pecinta K-Pop ketika orang-orang belum tahu apa itu K-Pop, sama-sama penikmat American Idol dan jungkir balik kesenengan waktu David Cook menang jadi juara, penggemar berat Harry Potter bahkan sampe punya jubah Gryffindor dan tongkat sihir, seorang petualang yang sangat mencintai Indonesia.

Gue sadar bahwa sesayang-sayangnya gue sama elo, tapi Tuhan lebih sayang sama elo, makanya dia mengangkat semua penyakit elo dan meminta elo segera pulang menemui-Nya. Selamat menjelajah dunia baru di sana. Gue yakin, dengan karakter elo ini, pasti elo akan cepat mendapatkan teman-teman baru. Elo bisa hidup dengan tenang tanpa perlu merasakan beratnya kepala lagi, tanpa harus menjalani kemoterapi lagi dan tanpa harus bergantung sama obat-obatan lagi.

Maafin gue atas semuanya ya, Dhev... Gue kangen banget sama elo. Gue kangen gaya elo ketika manggil gue Mimi Hitam. Gak akan ada lagi yang manggil gue kayak gitu :(
   
Elo, Lany, Gue & Ge waktu ultah gue di Vin+

Buka Puasa 2011 @ Canteen
Acceptance Team in action
My B'day Dinner
Dinner @ HRC
Nokia Dinner


Share/Bookmark

Saturday, August 10

..sendiri namun tidak sendiri..

Untuk sebagian banyak orang, hari kelahiran atau ulang tahun harus dirayakan besar-besaran. Untuk gue pribadi, gue kurang begitu suka merayakannya dengan pesta pora. Kalau pun gue 'harus' merayakan ulang tahun, paling hanya makan-makan bersama teman dekat dari beberapa grup yang gue gabungkan tapi satu sama lain saling mengenal. Gue kurang suka acara besar-besaran dengan banyak orang tapi obrolannya tidak bermutu dan malah buat grup sendiri. Tapi semakin lama, semakin gue lebih senang memisahkan diri dari keriaan saat ulang tahun, meluangkan waktu untuk diri sendiri. 

Pemandangan di perjalanan menuju Citalahab
Itu pula yang gue lakukan ketika gue ulang tahun minggu lalu. Gue melipir ke Citalahab, tempat yang terletak di kaki Gunung Halimun, Sukabumi. Pedesaan yang sangat sederhana, tapi suasana kekeluargaannya sangat terasa di detik pertama gue menjejakkan kaki di sini.

Perkebunan Teh
Berbekal ingatan gue yang seadanya ini, gue pergi menuju Citalahab sekitar jam 8 pagi dari Jakarta supaya tidak terkena macet di Pasar Sukabumi. Sekitar jam 12 gue sampai di kantor TNGHS dan 30 menit kemudian gue dijemput oleh pak Sarmin. Setelah mengurus administrasi dengan kantor TNGHS karena gue akan menginapkan mobil selama semalam di sana, gue pun pergi menuju Citalahab dengan membonceng motor pak Sarmin. Awalnya jalanan masih beraspal tapi sejak menit ke-30 sampai menit ke-90, jalanan sangat berbatu dan membuat gue yang duduk di belakang cukup kerepotan karena selain ransel di punggung, gue juga membawa sedikit oleh-oleh untuk keluarga pak ustadz yang bersedia menampung gue untuk semalam. Selama ini, gue kan selalu naik truk ke sananya, jadi tidak begitu merasakan goncangan. Kami sampai berhenti dua kali saking pegelnya duduk di motor dan dalam hati, gue sampe ngebatin, kapan nyampenya, hahahaa... Pas sampe, gak ada tempat lain yang mau gue tuju selain rumah pak ustadz dan ngelurusin kaki. Asli pegeeeellll......

Jalanan berbatu ini masih termasuk kategori yang bagus :)
Setelah berbicara sebentar melepas penat sama pak Ustadz dan bu Ratih, gue putuskan untuk tidur barang 30 menit karena jujur, semalam sebelum pergi itu gue baru tidur jam 1 karena harus menyelesaikan terjemahan dulu. Sekitar jam 4 sore, gue maen ke Rumah Ilmu Rimba Halimun yang sehari-harinya juga digunakan sebagai madrasah oleh pak Ustadz dan bu Wulan. Ketemu beberapa anak dan untungnya gue membawa kertas dan buku origami. Jadi, selama 1,5 jam, gue mengajari adik-adik 4 bentuk origami yaitu baju, celana, meja dan kursi. 

 Lucunya, ketika mereka diajarin, gue selalu bilang, "kayak gini..." setiap habis membuat lipatan. Naaah, ni adik-adik kan ikutin lipatan gue dan setiap selesai, mereka selalu mau nunjukin apakah lipatannya sudah benar dan ketika mereka nunjukin lipatannya, mereka bilang, "bu, gini bu?". Tapi, saking cepetnya mereka ngucap, akhirnya yang terdengar, "bugini... bugini..." Lah gue ganti nama jadinya! Wakakaakkk...

Lagi sibuk membuat lipatan

Ini hasilnya

Tiga sekawan asik maen bekel di lapangan

Karena jam sudah menunjukkan pukul 5.30, itu adik-adik gue suruh pulang ke rumah masing-masing untuk persiapan buka. Cukup susah nyuruh mereka pulang karena mereka maunya ama gue terus. Akhirnya gue memutuskan untuk melipir duluan ke rumah pak Ustadz biar mereka pulang juga. Sewaktu adzan tiba, gue berbuka dulu dengan air putih dan pergi ke musholla untuk Maghrib berjamaah. Nah pas keluar dari musholla, nemuin ada lima anak cewek (Elsa, Mia, Nur, Sri, Annisa dan Ella) yang tadi maen origami ama gue sedang menikmati santapan buka puasa ramai-ramai di saung. Mereka bilang kalau mereka selalu buka bersama di saung dengan membawa masakan rumah masing-masing, dan saling bertukar menu kalau ada temannya yang pengen. Mantaappp.... Buka puasa di rumah pak Ustadz sendiri sangat sederhana tapi nikmat. Menunya hanya oncom pake leunca dan sarden yang gue bawa dari Jakarta. Pak Ustadz, bu Ratih, ketiga anaknya sangat menikmati hidangan yang dimasak bu Ratih. Jujur, itu adalah pertama kali dalam hidup gue makan oncom dan leunca. Setiap kali ibu gue masak, gue pasti gak pernah mau karena gue selalu teringat bentuk asli oncom yang berwarna jingga seperti kebanyakan jamur. Tapi kali ini, untuk menghormati tuan rumah yang sudah membuatnya, mau tidak mau gue pun harus memakannya. Ternyata enak! Lain waktu kalau ibu gue masak, gue pasti akan makan! Hehehee...

Kelar makan, lagi asik-asiknya ngobrol ama pak Ustadz, eh kelima cewek tadi dateng ke rumah dan ngajakin gue tarawih. Lucu banget deh mereka, sangat bersemangat untuk shalat ama gue. Tapi berhubung masih kepagian, secara pak ustadz yang bakal jadi imam shalat aja masih di rumah, gue bilang ama mereka untuk jemput gue lagi kalo sudah mau mulai. Ada-ada aja.... 

Ada satu cerita dari bu Ratih dan pak Ustadz yang membuat gue mau nangis. Jadi dalam 2 bulan ini, panen teh tidak begitu bagus karena teh sedang terkena hama. Bulan Juni lalu, bu Ratih yang bekerja sebagai pemetih teh hanya membawa pulang gajinya sebesar Rp 21.000,- Iya, dua puluh satu ribu rupiah saja, saudara-saudara! Pak Ustadznya sendiri digaji sebesar 400ribu/bulan oleh pabrik teh. Dia tidak bekerja sebagai buruh pemetik teh, tapi sebagai penjaga lingkungan pedesaan. Namun demikian, mereka tetap bersyukur. Mereka bersyukur karena mereka masih bisa makan, punya rumah sebagai tempat berlindung, masih punya pekerjaan. Pak Ustadz bilang, kalau kita selalu melihat ke atas, kita sebagai manusia tidak akan pernah ada puasnya. Kita harus sering-sering lihat ke bawah supaya kita bisa bersyukur betapa nikmatnya hidup yang kita miliki saat ini. *jleb*

Sebelum Isya, gue sempatkan untuk mampir di rumah pak Oji, sekalian nengok bayi bu Oji yang berusia 6 bulan. Senang banget bisa bertemu mereka lagi. Ngobrol-ngobrol sebentar lalu gue pun kembali ke rumah pak ustadz untuk siap-siap pergi ke mushola untuk shalat Isya dan tarawih 23 rakaat di musholla. Yang mengesankan, pas bubaran shalat, selesai salam-salaman, ada cemilan yang dibagi-bagikan ke jamaah. Malam itu, ada bakwan, pisgor dan bolu kukus. Ada 1 anak perempuan yang dateng ke gue terus langsung nawarin bolu kukusnya. *terharu* Menurut bu Ratih, setiap malam, setelah selesai shalat tarawih, selalu ada cemilan yang dibagikan ke para jamaah. Kalau di mesjid-mesjid pada umumnya kan cemilan diberikan pada saat berbuka, nah kalau di Citalahab ini, diberikannya pas habis tarawih. Kelar tarawih, langsung pulang ke rumah dan ngobrol-ngobrol sama bu Ratih sebelum tidur, sementara pak ustadz itikaf di mushola. 

Sri udah tidur duluan
 Ada yang lucu lagi nih. Pas habis shalat, ada 1 anak yang ngikut mau tidur ama gue, si Sri, anaknya pak Oji. Asli buat gue terharu (lagi!). Sebelum tidur, gue sempatkan untuk ke luar rumah dan melihat langit. Wooowww, bintangnya banyak! Sesuatu yang sulit sekali didapatkan di langit Jakarta.

Keesokannya, kami sahur pukul 4 pagi dengan menu yang sama seperti waktu berbuka. Ada tambahan 1 menu, mi goreng. Selesai sahur, istirahat lagi sampai jam 6. Sebenarnya malaaaas sekali mau mandi, karena airnya dingiiiinn. Tapi berhubung kemarin sore sudah tidak mandi, jadi mau tidak mau memaksakan diri untuk mandi. Tidak mau membuang waktu, selesai mandi, langsung keluar dan berkeliling desa. Ternyata, jam 6.30 sudah ramai! Para orangtua yang bekerja sebagai pemetik teh sudah bersiap untuk pergi ke kebun, anak-anak laki sudah bermain bola di lapangan dan tempat penitipan anak sudah ramai dengan anak-anak kecil. Gak berapa lama ada Elsa, Sri dan Mia yang mengajak gue main ke lapangan. Mereka ngajak gue main bekel, tapi karena gue udah lama banget gak maen bekel, jadinya gue hanya sebagai penonton yang baik. Kelar maen bekel, mereka lari-larian dan diakhiri dengan maen gunungan. 

Bukunya tak tersusun rapi tanda dibaca :)

Rumah Ilmu Lebah Rimba Halimun
Pelajaran yang diberikan pak ustad

Selamat pagi!
Lapangan desa serbaguna
Ibu-ibu di tempat penitipan anak
Berhubung sudah mau jam 8, gue pun siap-siap untuk pulang. Gue sempatkan foto bersama adik-adik dulu di depan Rumah Ilmu, lalu pamit kepada pak Ustadz dan bu Ratih yang sudah mau gue repotin dan berbaik hati menampung gue. Gue juga pamitan ke ibu-ibu di tempat penitipan anak dan mereka minta gue untuk datang lagi secepatnya. Kelar berpamitan, gue pulang diantar Ipul naik motor ke kantor TNGHS dan kembali ke Jakarta.

Sungguh sebenarnya kurang sekali waktu yang gue habiskan di Citalahab, tapi walau singkat, sungguh bermakna. Banyak sekali pelajaran tentang kehidupan yang gue dapat dari kesederhanaan warga Citalahab. Mereka pastinya tidak tahu kalau kemarin itu gue berulang tahun, tapi berada di sana, di antara mereka, benar-benar suatu hadiah yang sungguh luar biasa. 

Bersama Mia, Sri dan Elsa :)

Mereka masih pakai kaos CTB


Share/Bookmark