Monday, January 20

..terima kasih..

Minggu lalu, ketika ngobrol dengan para sahabat di grup whatsapp, salah seorang dari mereka memberitahu kejadian yang baru dialaminya. Ia sedang membuka pintu kaca untuk masuk ke pusat perbelanjaan dan dari arah berlawanan, sepasang suami istri berjalan cepat ke arah luar melalui pintu yang sama dan langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada teman saya yang masih memegang pintu tersebut.

Pertanyaan saya, apakah Anda pernah berada di posisi seperti teman saya itu? Atau mungkinkah Anda sering berlaku seperti sepasang suami istri tersebut? Tidak usah dijawab di sini, apalagi kalau Anda sering bertindak seperti sepasang suami istri itu :)

Yang ingin saya utarakan di sini adalah kejadian di atas hanya salah satu contoh betapa semakin lunturnya etika di masyarakat kita, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar. Sudah sejak lama saya mengamati adanya gejala keengganan mengucapkan kata terima kasih, mulai dari hal-hal sederhana hingga yang besar. Terkadang saya tidak habis pikir, mengapa kata yang sudah seharusnya lumrah diucapkan ketika seseorang melakukan sesuatu untuk kita, baik atas inisiatif orang itu atau permintaan kita, menjadi begitu sulit keluar dari mulut kita. Apa karena kita menganggap bahwa hal itu sudah sepatutnya dilakukan sehingga ucapan terima kasih tidak perlu diucapkan? Atau karena memang kita tidak pernah belajar atau diajari tentang etika di lingkungan terkecil, yaitu keluarga?

Saya bersyukur dibesarkan dalam keluarga yang menanamkan nilai etika yang besar walau tak jarang itu melalui cara yang keras. Saya diharuskan mengucapkan kata terima kasih dalam segala situasi dan meminta maaf apabila saya melakukan kesalahan. Saya akui, sewaktu kecil saya sering kesal karena adakalanya, menurut pandangan saya, orang tersebut tidak patut diberikan ucapan terima kasih. Tapi karena orangtua saya sudah memberikan lirikan mautnya, maka mau tak mau saya mengucapkan kata tersebut dengan berat hati. Bahkan hingga saat ini, saya kadang masih dipaksa untuk mengucapkan terima kasih. Bukan karena saya alpa mengucapkan terima kasih, tapi karena ibu saya tidak mendengar kalau saya sudah mengucapkan kata tersebut. Maklum saja, ibu sudah berusia 73 tahun, jadi sudah sedikit berkurang pendengarannya.

Saya juga bersyukur bahwa saya bersekolah di STP Bandung yang sangat "memaksa" kami sebagai muridnya untuk selalu mengucapkan salam, terima kasih dan maaf. Walau pada akhirnya saya tidak bekerja di hotel, tapi tak bisa dipungkiri bahwa sekolah ini memiliki andil besar dalam mengajari saya hal-hal yang tidak bisa saya dapatkan dari sekolah lain yang menurut saya hanya mengajarkan teori.

Kembali lagi ke ucapan terima kasih yang semakin lama semakin jarang terdengar di lingkungan kita. Apakah ini tanda-tanda bahwa masyarakat kita semakin memudar nilai bersopan santunnya? Saya sebenarnya tidak mau membandingkan masyarakat Indonesia dengan orang asing, namun sulit untuk mengelakkan hal tersebut. Ketika saya pergi ke negara Barat, saya temukan bahwa kata terima kasih sudah menjadi kata yang jamak dan memang seharusnya diucapkan. Saya cukup malu, karena sebagai orang Timur, apalagi Indonesia dibilang sebagai negeri yang ramah, kata tersebut malah sulit terucap.

Bukannya saya gila akan ucapan terima kasih, tapi apa memang sebegitu sulit dan mahalnya ucapan tersebut? Saya akan ambil contoh lain yang sudah lumrah terjadi. Ketika Anda sedang membayar parkir, Anda memberikan uang kepada si petugas lalu dia memberikan karcis parkir dan membuka palang pintu. Apakah Anda mengucapkan terima kasih kepada dirinya? Saya rasa, hanya sebagian kecil yang menjawab "Ya!"

Tidak pernah ada kata terlambat dan sama sekali bukan suatu dosa untuk mengucapkan kata terima kasih kepada seseorang, baik yang sudah menjadi teman atau orang asing sekalipun. Kalau memang Anda masih merasa bahwa kata tersebut harus diucapkan dengan tulus, setidaknya pasanglah topeng pura-pura tulus Anda.

Saya tidak bermaksud menggurui, namun sesungguhnya, etika seseorang tidak dilihat dari seberapa besar materi yang Anda miliki, tapi seberapa peka Anda di lingkungan Anda. Mulailah dari diri Anda sejak sekarang, ajarilah anak-anak Anda (jika Anda sudah memiliki anak) sejak dini untuk mengucapkan kata sakti tersebut, tularkanlah kebiasaan baik ini di lingkungan pertemanan Anda. Jika Anda merasa teman-teman Anda jarang atau bahkan tidak ada yang melakukannya sehingga Anda dicap aneh karena berterima kasih kepada seseorang, sudah saatnya Anda mencari teman baru :)

Saya yakin, apabila kebiasaan ini dijalankan di kehidupan Anda sehari-hari, etika yang tadinya memudar bisa berangsur-angsur tumbuh kembali. Sungguh, paham bahwa semakin tidak beretika membuat Anda semakin keren dalam pergaulan sangatlah tidak benar.

Sekian dan terima kasih.
Share/Bookmark

Tuesday, January 7

..gue dan phobia..

Hampir sebagian besar manusia memiliki ketakutan (phobia) dalam dirinya. Ada yang punya 1 phobia tapi tak jarang ada yang memiliki lebih dari satu. Gue sendiri memiliki 2 phobia, takut ketinggian dan berenang di tempat dalam yang gue tidak bisa menjejakkan kaki sehingga kepala gue tidak berada di atas batas air.

Gue cukup tersiksa dengan phobia ini, makanya gue berusaha melawan segala ketakutan itu. Dalam hal takut akan ketinggian, berbagai usaha yang pernah gue lakukan adalah duduk di dekat jendela kalau naik pesawat, berdiri di paling pojok dan melihat ke bawah kalau naik lift yang berdinding gelas, selalu berusaha melihat ke bawah selama mungkin kalau sedang ada di lantai tertinggi suatu gedung, naik wahana roller coaster dan gongnya adalah ikut paralayang. Puji syukur, sudah bertahun-tahun gue tidak mengalami lagi yang namanya pusing, mual, keringat dingin atau mendadak lemas mau jatuh kalau ada di tempat tinggi.

Tinggal tersisa 1 phobia dan entah kenapa, gue merasa sulit sekali bahkan nyaris tidak ada keinginan untuk melawannya. Padahal kalau dilihat dari garisnya, sebagai anak berdarah setengah Bugis dari bapak yang Marinir, seharusnya gue tidak perlu mengalami ketakutan ini. Gue ingat, waktu gue kecil dulu, bapak gue selalu ngajak berenang dan gue tidak pernah takut, bahkan di kedalaman 2 meter sekalipun. Gue bisa salto masuk ke kolam dengan cerianya, membalikkan badan di dalam air selayaknya perenang profesional yang sedang berlomba, bermain di dasar kolam sambil menahan napas selama mungkin. Namun gara-gara menonton film seri Return to Eden (untuk anak yang kecil di tahun 80 akhir pasti pada tahu film ini), yang ada adegan buaya putih di kolam renang dan membunuh salah satu karakter di film seri tersebut, sejak saat itulah gue takut untuk berenang di tempat dalam.

Ya, gue tahu sekali kalau itu hanya film. Tapi sebagaimana anak kecil yang masih belum bisa membedakan mana film dan kenyataan, adegan itu seperti tertancap dalam-dalam dan tak mau pergi dengan mudah. Gue memang masih berenang, tapi sudah tidak mau di tempat dalam, dan yang pasti, gue gak mau berenang sendiri. Pelajaran berenang di sekolah sangat menyiksa gue karena gue gak mau semua orang tahu mengenai ketakutan ini. Hampir 20 tahun gue gak berenang walau bukan berarti gue stop total. Gue masih sesekali berenang selama periode itu, tapi kepanikan dan ketakutan selalu melanda. Setelah didiagnosis bahwa gue mengidap scoliosis tahun 2008 dan menurut dokter, obat paling mujarab adalah berenang, gue berusaha memperbanyak frekwensi renang, tapi mungkin bila dihitung, masih kurang dari 5x dalam setahun.

Tak bisa dipungkiri bahwa gue sebenarnya suka laut, pergi ke daerah-daerah yang pemandangan dan perairan lautnya bagus seperti Belitung, Karimun Jawa, Raja Ampat, Komodo, Lombok dan Bali. Tapi tak sekali pun gue menceburkan diri ke laut, tertarik menceburkan diri di pinggir pantainya pun tidak. Namun setelah perjalanan ke Komodo, imbas bepergian dengan teman-teman baru yang menyenangkan dan menyemangati gue untuk terjun ke laut, membuat gue untuk memberanikan diri berenang di laut.

Gue kembali aktif berenang, mencoba berenang tanpa teman, walau adakalanya gue berenang sama seorang sahabat. Gue bahkan membeli peralatan snorkeling berikut sepatu kataknya. Gue mencoba memakainya di kolam renang. Gue lalu mencari video di youtube bagaimana caranya agar bisa berdiri mengambang di air, semua teori gue pakai tapi belum berhasil hingga akhirnya gue memutuskan, bahwa gue tidak perlu belajar berdiri mengambang untuk sementara waktu ini karena nantinya gue akan menggunakan jaket pelampung ketika berada di laut.

Akhirnya, masa pembuktian itu tiba. Beberapa hari menjelang pergantian tahun ke 2014, gue berlibur ke Pulau Seram. Gue membawa semua perlengkapan dan gue BERHASIL menceburkan diri ke laut! Mau tahu perasaan gue saat itu? Gue pengen teriak sambil berkata, "Bapak! Akhirnya aku bisa membuktikan kalau aku bukan Bugis murtad dan aku bisa berenang di laut kayak bapak!"

Gila! Setelah bertahun-tahun gue mengalami ketakutan ini dan tanpa sedikit pun ingin melawannya, tapi cukup 4 hari berlibur dengan teman-teman yang gue baru kenal waktu di Komodo sungguh membawa perubahan drastis. Mereka juga jadi orang pertama yang gue kabari setelah gue berhasil snorkeling di Seram.

Gue lega banget karena akhirnya gue bisa terbebas dari ketakutan ini. Amat sangat lega karena gue tidak perlu lagi menutupi phobia ini dari orang-orang. Gue sudah berhasil berenang di laut & gue sangat bahagia. Namun, gue masih memiliki satu target yang harus dicapai, yaitu berdiri mengambang tanpa bantuan pelampung!

Doakan supaya berhasil ya....


Share/Bookmark