Gue mau bercerita tentang yang di Yordania dulu. Di suatu malam di Wadi Rum (ini gurun pasir yang sering dijadikan lokasi syuting film-film Hollywood), gue dari Indonesia, satu wisatawan perempuan dari Irlandia yang bermukim di Australia karena suaminya yang berwarga negara Pakistan bekerja di sana, dan seorang Bedouin sedang berkumpul sehabis makan malam. Pada awalnya, gue hanya duduk mendengarkan percakapan mereka karena sejujurnya, gue malas untuk berbahasa Inggris. Tapi ketika mereka berbicara tentang agama, lalu gue ditanya apa agama gue, maka mau tidak mau, gue pun menanggapi dan terlibat dalam percakapan tersebut. Kami berbicara tentang kehidupan beragama di negara masing-masing. Perbincangan yang cukup intens namun dalam suasana santai, padahal suhu udara menunjukkan 8 derajat Celcius.
Masih di Yordania, tapi kali ini di Amman. Sebelum gue menuju bandara, gue diajak sama pengemudi gue ke toko suvenir. Ternyata, salah satu dari pegawai toko itu pernah ke Indonesia tahun 2016 lalu dan dia bisa bahasa Indonesia. Perasaan gue saat itu ketika menemui orang yang bisa berbahasa Indonesia setelah 4 hari berbahasa Inggris itu senangnya bukan kepalang. Pengemudi kayaknya tahu kalo gue seneng banget bisa ketemu orang yang bisa bahasa Indonesia, jadi dia langsung melipir, ngobrol ama temannya yang kerja di toko itu. Hampir 2 jam, kami membahas tentang Islam, Arab Saudi dan orang keturunan Arab di Indonesia.
Kemudian sewaktu di Yerusalem, ketika gue melakukan wisata religi Islam dan Kristen, gue didampingi oleh pemandu wisata beragama Islam yang tinggal di West Bank, Palestina. Dengan sabar, dia memberi gue pelajaran singkat tentang sejarah Islam & Kristen. Gue yang nggak pernah peduli akan sejarah agama langsung harus menyerap apa yang diberikan si pemandu wisata dalam waktu singkat, yaitu 5 jam. Untungnya, gue pernah baca buku Kisah 25 Nabi dan Rasul waktu SD, jadi saat ditanya sama dia, agak sedikit tahu.
Kemudian saat gue datang pertama kali di penginapan di Luxor, gue bertemu dengan si manajer, dan saat sudah selesai diajak melihat-lihat penginapannya, kami duduk berbincang-bincang sembari menikmati pemandangan sungai Nil di sore hari. Tanpa basa-basi, dia langsung bertanya tentang segala demo yang terjadi di Jakarta yang membawa-bawa nama Islam. Gue pun menjelaskan apa yang terjadi, dan jawaban dari dia cukup membuat gue terkesima. Begitu pula dengan malam terakhir, ketika gue malas untuk bepergian dan hanya ingin menonton TV di ruang tengah, gue terlibat dalam perbincangan menarik tentang kehidupan beragama di Mesir dengan salah satu pekerja penginapan.
Semua percakapan ini memberi pelajaran yang sangat besar bagi gue. Bukan tentang Islamnya, tapi tentang bagaimana menjadi manusia. Kita, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebagai makhluk beragama terlepas apa agama yang dianut, harus bersikap selayaknya manusia. Agama itu tidak perlu diumbar, tidak perlu dibela dan tidak perlu dipertanyakan. Orang-orang yang terlibat di percakapan tersebut tidak saling mengenal, tetapi mereka semua memiliki satu kesamaan pandangan. Mereka percaya bahwa bukan urusan manusia untuk menilai orang lain. Manusia hanya perlu berbuat baik sesama manusia lain tanpa melihat agamanya.
Terus terang, setiap kali ada perbincangan tentang agama, perasaan gue selalu lega. Gue senang bertemu dengan orang-orang yang berpandangan luas, yang bisa memberi gue wawasan, dan bukan menghakimi. Iya, gue memang ditanya apa agamanya. Tapi setelah gue jawab gue beragama Islam, mereka selalu berhenti di ucapan, "Alhamdulillah." Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan konyol tambahan atau pura-pura menasihati tapi bersifat memaksa dengan membawa sejumlah ayat seperti apa yang marak terjadi di Indonesia saat ini.
Mereka sangat menyadari bahwa mereka hanyalah manusia dan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi manusia yang bertingkah laku baik terhadap sesama manusia.