Tuesday, October 28

..bahasa persatuan..

Mumpung waktunya tepat, walau lagi ada dokumen yang harus diterjemahkan, gue tetap mau meluangkan waktu untuk menulis tentang pengalaman saat gue di Jerman, tepatnya waktu di Stuttgart.

Ada tiga kejadian di tempat dan hari berbeda dengan satu benang merah yang sama, yaitu ketika gue jalan-jalan ke objek wisata mereka. Yang pertama, saat gue ke Solitude Palace. Demi ingin tahu apa yang ada di dalam Istana, dan gue hanya bisa masuk kalau ikut tur yang dipandu mereka, jadilah gue mendaftar untuk tur mereka. Tapi mau tahu? Mereka tidak punya tur berbahasa Inggris, yang menurut gue bahasa pemersatu di dunia ini. Mereka hanya punya tur berbahasa Jerman. Berhubung gue mau tahu isinya (dan mau motret juga), ya gue tetap ikuti itu tur. Mulai dari menit pertama hingga menit terakhir, ketika pengunjung lain tergelak, gue benar-benar bagai di alam lain, nggak tahu apa yang dijelaskan. Dan, gue nggak bisa motret!

Yang artinya ???
Kejadian kedua, ketika gue ke Ludwigsburg Palace. Sebelum ke sini, gue cek dulu, apakah mereka punya tur berbahasa Inggris, karena seperti Solitude, hanya pengunjung yang membayar yang bisa masuk ke dalam Istana, selebihnya hanya di pelataran istana, dan itu gratis. Waktu mau bayar tiket masuk, gue tanya ke kasirnya, jam berapa tur berikutnya. Dan mau tahu? Dia bilang tur berbahasa Inggris berikutnya sudah penuh dan yang tersisa yang berbahasa Jerman. Kalau tetap mau yang berbahasa Inggris, gue harus menunggu 1 jam lagi, sementara di seputaran istana tidak ada objek wisata lainnya. Sial... Akhirnya gue tetap bayar dan ikut tur berbahasa Jerman itu. Dan sekali lagi, setelah di dalam, baru gue tahu kalau gue nggak bisa motret!

Kejadian ketiga ini sebenarnya banyak gue alami di museum-museum di Jerman, jadi bukan hanya di Stuttgart. Banyak sekali keterangan untuk peraga tidak ada dalam bahasa Inggris, jadi gue hanya lihat gambar sambil sekali-kali lihat Google Translate (asli lelah dan menghabiskan banyak waktu!).

Waktu gue mengalami kejadian ini, gue langsung ingat sama orang-orang yang melecehkan Jokowi yang "menurut mereka si kaum penyebar fitnah", tidak bisa bahasa Inggris dan mereka tidak sudi dipimpin oleh orang yang bahasa Inggrisnya kacau. Mereka juga bilang, bagaimana Indonesia mau maju kalau Presidennya tidak bisa bahasa Inggris?

Yang gue mau tulis di sini, bahwa kenapa sih, kita, yang jelas-jelas rakyat Indonesia, bahasa persatuannya adalah Bahasa Indonesia, malu untuk berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia? Apa karena kita selalu menggunakan Bahasa Indonesia lalu kita tidak akan bisa menjadi negara maju? Jerman adalah bukti nyata bahwa warganya tidak semua bisa bahasa Inggris, keterangan untuk para wisatawan dalam bahasa mereka, tapi itu tidak menghalangi wisatawan untuk pergi ke sana. Jerman adalah negara maju, dan salah satu negara kaya yang mengucurkan banya dana untuk membantu negara di benua Eropa lainnya yang terpuruk akan krisis!

Salah satu isi dari ikrar Sumpah Pemuda, tepatnya di kalimat terakhir, "...Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia". Jadi sudah jelas, bahwa bahasa kita itu bahasa Indonesia. Pernah nggak kalian menyadari, bahwa begitu banyak buku pelajaran Bahasa Inggris tapi buku tentang Bahasa Indonesia bisa dihitung dengan jari? Pernah tidak kalian melihat sekeliling, betapa banyak bertebaran kalimat atau jargon dalam bahasa Inggris tapi jarang yang memakai Bahasa Indonesia? Pernah tidak kalian berpikir bahwa kalian lebih bangga jika anak kalian menggunakan bahasa asing dibandingkan bahasa Indonesia? Kalian, para orangtua, saling membanggakan bahwa anaknya sudah bisa bahasa Mandarin atau Inggris, lalu ketika anaknya bertanya mengenai arti suatu kata yang umum digunakan dalam Bahasa Indonesia, kalian hanya tertawa? Tidakkah kalian berpikir bahwa kalian berkontribusi untuk menghilangkan bahasa pemersatu negeri ini secara perlahan? Kita masih terjebak dalam stigma, bahwa dengan berkomunikasi dalam Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, maka kita akan terlihat keren.

Maaf, tapi buat gue, orang yang keren itu adalah orang yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, yang membuat gue terperangah ketika mendengar orang tersebut bisa membedakan kapan mengucapkan "kami" dan "kita". Ya, Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya memang penting, tapi bukan berarti kita lalu bisa seenaknya saja bergegas meninggalkan pemakaian Bahasa Indonesia. Ada kalanya bahasa asing diperlukan, tapi jangan sampai kalian melupakan bahasa negeri sendiri.

Gue sering bertukar pikiran sama ibu gue, membayangkan masa depan bahasa Indonesia. Menurut kami, kalau rakyat Indonesia masih tetap seperti ini, dan bahkan bisa lebih parah lagi, maka tidak heran kalau dalam waktu 10 tahun ke depan, bahasa Indonesia akan punah dan masuk ke daftar bahasa langka yang dikeluarkan PBB. Tidak usah membicarakan bahasa daerah yang nasibnya lebih buruk (terutama bahasa Jawa, karena penggunanya kalau sudah pindah ke Jakarta terus langsung hilang ingatan akan bahasa yang dimiliki dari kecil).

Gue berharap, prediksi gue akan punahnya Bahasa Indonesia tidak terjadi, tapi gejala ke sana sudah mulai terjadi dari sekarang. Cukup miris melihat begitu banyak teman yang pandai menulis dalam Bahasa Inggris, tetapi ketika menulis dalam Bahasa Indonesia, tidak bisa membedakan penulisan 'di' yang dipisah dan disambung. Sederhana tapi menjengkelkan, karena itu adalah hal yang sangat mendasar. Cukup miris ketika mereka berlomba-lomba untuk mengambil ujian TOEFL tapi bahkan tidak pernah mendengar kalau kita punya yang namanya UKBI (Ujian Kompetensi Bahasa Indonesia).

Belum terlambat untuk mengubah nasib bahasa persatuan kita. Kalau kalian cinta akan negeri ini, cinta akan bahasa kita, menghargai jasa mereka yang telah bersusah-payah mengucap ikrar pada tanggal 28 Oktober 1928, gue mengajak kalian untuk mulai lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Kalau bukan kita yang melestarikannya, siapa lagi? Masak nunggu orang asing untuk menyelamatkannya seperti yang sudah terjadi dengan kesenian-kesenian kita?

*kembali bekerja*
Share/Bookmark

Monday, September 29

..perjalanan..

Pada suatu perjalanan
Dua manusia bertemu
Menyatu pada masa
Kisah nan mengalir

Pada suatu pemberhentian
Dua pilihan menyapa
Diam atau melaju
Konsekuensi menanti

Dan berlalu
Tanpa jeda
Tanpa sedetik sela
Berpisah


Share/Bookmark

Friday, July 4

..ketika harus memilih..

Sejak Pemilu Presiden tahun 2009, gue sudah memutuskan untuk tidak mau lagi ikutan yang namanya Pemilu Presiden. Apalagi terbukti bahwa dalam 5 tahun ini, pemerintah Indonesia bukannya membawa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik, malah menuju kemunduran. Banyak sekali insiden-insiden yang sempat membuat gue berpikir, karena di saat yang hampir bersamaan banyak sekali iklan Prabowo membawa bendera HTI muncul di TV, bahwa negeri ini seharusnya dipimpin oleh militer yang keras, jadi kalau ada yang membangkang, langsung saja dikeluarkan perintah penculikan atau yah, mentok-mentok diadakan lagi yang namanya Petrus alias penembak misterius. Jadi kalo macem-macem, tinggal terima nasib untuk siap ditembak :)

Mulai awal tahun 2013, pencarian sosok calon Presiden yang bisa memimpin Indonesia pun dimulai. Sejauh ini, tidak ada sosok lain yang bisa memimpin Indonesia selain Prabowo. Habis siapa lagi? Nama-nama yang muncul ke permukaan itu nama-nama yang sudah terlalu usang. Waktu terus berjalan hingga akhirnya pada 14 Maret 2014, ketika gue sedang maen di rumah temen gue dan menonton tayangan di TV bahwa Jokowi mencalonkan diri jadi Presiden. Mau tahu reaksi gue? Kecewa. Gini, gue bukannya tidak tahu siapa Jokowi. Gue tahu Jokowi dan sepak terjangnya sejak dia jadi Walikota Solo periode pertama, sejak dia dimuat di majalah Tempo 2008 dan masuk sebagai 10 walikota muda terbaik se-Indonesia. Gue baca berita dia di Kompas tentang revitalisasi pasar dan relokasi PKL. Sedikit banyak, gue yang gak tahu politik ini baca berita tentang dia dari dulu, bukan baru 1-2 tahun saja. Waktu dia maju jadi Pilgub DK1 aja gue kurang bisa terima. Bukan apa-apa sih. Tapi warga Jakarta, yang menurut gue adalah gambaran mayoritas rakyat Indonesia, mulutnya itu sangat silet. Warga Jakarta itu warga yang sangat arogan dan merasa paling benar di seluruh nusantara ini. Gue hanya takut, kalau Jokowi menang dan menduduki jabatan Gubernur Jakarta, ketika ada kebijakan atau tindakan yang tidak sreg dengan diri warga Jakarta, itu menghinanya bisa sehina-hinanya hina. Walau akhirnya gue tetap memilih Jokowi sbg Gubernur, tapi apa yang gue bayangkan terjadi. Terbukti dengan banjir 2013, baru menjabat 3 bulan, tapi Jokowi sudah ditanya kenapa masih banjir juga. Daaaan, yang menghina Jokowi itu bukan hanya warga Jakarta, tapi orang-orang yang tidak tinggal di Jakarta, kayak warga Depok, Tangerang, Bekasi yang notabene "numpang" cari nafkah di Jakarta, tapi berasa yang punya Jakarta.

Kembali ke pendeklarasian Jokowi bulan Maret itu, gue kecewa karena gue pengen dia membereskan Jakarta dulu. Nantilah, tunjukkan dulu kemampuannya sebagai DK1 di 5 tahun ini bersama Ahok, baru kalau sudah teruji, dia bisa maju sbg Capres di Pemilu 2019 bersama Ahok sebagai Cawapresnya. Gue apatis, semakin yakin bahwa pilihan golput adalah yang terbaik, tapi bukan berarti gue tidak mengikuti perkembangan berita di Indonesia.

Suasana hangat saat pencarian cawapres untuk kedua capres juga gue ikuti. Ketika akhirnya Prabowo memilih Hatta dan Jokowi memilih JK, gue hanya mikir, ini kok cawapresnya gak ada yang beres. Maksudnya gini, Hatta itu asli buruk banget kinerjanya, bahkan menurut gue dia gak kerja apa-apa selama menjabat sebagai menteri. Ada berapa posisi menteri yang udah dia jabat? Empat. Apa prestasinya? Hmmm, selain banyak kecelakaan transportasi waktu dia menjabat jadi Menhub dan berhasil membuat anaknya mendapat hukuman yang sangat sedikit, gak ada prestasinya sama sekali. JK? Well, walo sama-sama berdarah Bugis, tapi bukan berarti gue suka ama bapak ini. Waktu dia menjadi Wapres, berapa kali dia bersitegang dengan SBY karena dia ambil keputusan tanpa kompromi terlebih dulu. Dia juga yang menyarankan adanya UN yang membuat para siswa stres dan tak jarang bunuh diri. Dia hanya bagus setelah menjabat sebagai Ketua PMI, terutama geraknya yang cepat sekali membantu para korban bencana.

Menurut gue, hal bagus dari adanya dua kandidat ini yaitu Indonesia bisa menghemat banyak uang! Dan menghematnya itu bisa trilyunan, walo gue gak tahu berapa jumlah pastinya. Hal bagus lainnya? Mmmm... Gue sama sekali gak peduli dengan Pilpres, bahkan belum masuk masa kampanye, sudah banyak sekali isu dan fitnah yang beredar, daaaaaan teman-teman gue di FB ini banyak sekali yang kemakan berita itu dengan menyebarkanluaskannya di akun mereka. Hasilnya? Mereka gue unfollow (oh my gosh, I'm so thankful with this button!) supaya gak muncul di newsfeed FB gue. Asli capek bacanyah, dan yang gue gak habis pikir, yang ngelakuin tuh teman-teman yang menurut gue pendidikan formal & agamanya tinggi! Duoooh, kalo udah ngehina orang, itu asli lebih rendah dari taik babi. Elo tau kan betapa haramnya babi di agama gue? Nah, ini taiknya! Asli rendah banget dan berasa paling benar sebumi dan akhirat. Plus, hasutan dan teori konspirasi yang mereka buat itu canggihnya minta ampun. Gue suka berkomentar di status mereka, bukan untuk memancing emosi, tapi sekadar ingin tahu, sebenarnya mereka tahu nggak sih apa yang mereka omongin. Tapi hampir 95% dari mereka itu tidak tahu, dan kalau sudah diberitahu itu yang ada defensif. Debat kusir! Mendingan gue cari kusir dokar beneran trus keliling kota. Unbelievable!

Sampai akhirnya gue terlibat satu perbincangan dengan teman SMA gue yang tinggal di Australia, yang membuat gue akhirnya mencari visi dan misi kedua kandidat mengenai pariwisata dan kebudayaan di Indonesia. Visi-misi dari Jokowi-JK sebanyak 42 halaman dan visi-misi dari Prabowo-Hatta sebanyak 9 halaman itupun gue baca. OK, visi dan misi memang buatan orang (lah ya iya, masak buatan binatang?), jadi kata teman gue yang lain, bisa saja nanti pada praktiknya tidak dilakukan. Tapi setidaknya, visi-misi jadi pembuka mata gue mengenai apa yang akan dilakukan kedua kandidat ini bila terpilih menjabat posisi RI-1 dan RI-2.

Inilah ulasan singkat gue mengenai perbandingan visi-misi Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK:
1. Dari jumlah halaman, sudah jelas menggambarkan seberapa seriusnya kedua kandidat ini mengurus negara. Memang, 1.000 halaman pun tidak akan cukup, tapi 42 banding 9 sudah cukup memberi poin.
2. Di lima halaman pertama, Jokowi-JK menguraikan kronologis dan analisis SWOT. Jadi pembaca awam yang membaca visi-misi ini mengerti, ke arah mana Indonesia ini akan dibawa dan apa alasannya.
3. Prabowo-Hatta hanya mempunyai 3 misi yang general dan global, Jokowi-JK memiliki 7 misi yang menyentuh semua aspek dalam kerangka besar
4. Prabowo-Hatta memiliki 8 agenda yang terdiri dari program-program yang menurut gue terlalu makro dan di awang-awang. Jokowi-JK memiliki 9 agenda prioritas (bahkan mereka punya nama untuk agenda ini, sebutannya Nawa Cita) yang diuraikan secara mendetail.

Karena kepedulian gue adalah di bidang pendidikan, pariwisata dan pluralisme (Bhinneka Tunggal Ika), maka dengan antusias gue membaca poin-poin ini dari kedua kandidat. Hasilnya?
1. Prabowo-Hatta masih memasukkan UN, sementara Jokowi-JK akan menghapusnya
2. Kedua kandidat akan memasukkan pendidikan budi pekerti dan kebangsaan.
3. Prabowo-Hatta tidak terlalu mendalam ketika membahas Bhinneka Tunggal Ika, sementara Jokowi-JK , selain memberi penekanan terhadap Bhinneka Tunggal Ika dengan 5 prioritas utama, cukup banyak membahas isu ini di dalam visi-misinya
4. Prabowo-Hatta hanya menyebutkan "melestarikan warisan seni budaya sebagai kekuatan dan pemersatau bangsa" di bidang pariwisata, sementara Jokowi-JK memiliki suatu komitmen pembangunan karakter dan pembangunan pariwisata yang terdiri dari 3 poin.

Ok, tampaknya kandidat capres no. 2 (oh ya, Prabowo-Hatta adalah pasangan dengan nomor urut 1, sementara Jokowi-JK nomor urut 2) memenangkan hati gue untuk visi-misinya terutama pada poin yang jadi kepedulian gue. Sejak membaca visi-misi ini, gue mulai mengikuti perkembangan dan mencari tahu tentang kedua kandidat ini dengan lebih mendetail. Tak jarang, gue posting berita tentang pilpres ini hanya untuk melihat reaksi dari teman-teman gue yg menjadi pendukung kedua capres. Surprisingly (atau memang as expected), pendukung capres yang no. 1 memang lebih "keras" dan cenderung debat kusir.

Akhirnya pada satu titik, sekitar pertengahan Juni, ketika gue mendapat tautan video Anies Baswedan, orang yang memang gue ketahui sangat pintar dalam menyampaikan pesan melalui pidatonya tanpa berapi-api, menggugah rasa kebangsaan gue dan membuat gue menitikkan air mata. Video itu membuat gue berpikir ulang akan pilihan gue untuk tetap tidak memilih, seperti yang gue ucapkan selama ini. Video ini membuat gue memikirkan tentang masa depan Indonesia.

Gue gak mau negeri yang sangat gue cintai ini mengalami kemunduran. Gue gak mau, tulisan Bhinneka Tunggal Ika di lambang negara, Garuda Pancasila, hanyalah sebatas hiasan tanpa makna. Gue harus turun tangan untuk membawa Indonesia ke perubahan yang lebih baik. Hanya ada dua pilihan kandidat, capres no. urut 1, Prabowo-Hatta atau no. urut 2, Jokowi-JK, dan pilihan golput tidak ada di sana.

Ada beberapa pertimbangan gue untuk menentukan pilihan dan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo bukan salah satunya, karena secara logika, kalau memang dia bermasalah, kenapa bisa dijadikan Cawapres untuk Megawati tahun 2009. Gue juga tidak melihat penampilan para kandidat. Kalau melihat penampilan, gue pasti orang pertama yang akan malu punya Presiden seperti Gus Dur yang gak bisa melihat. Tapi gue suka Gus Dur, dan menikmati semua pidatonya. Memang, tahun 1999 itu belum ada Pilpres langsung, tapi sekali lagi, penampilan bukan jadi bahan pertimbangan. Kalo memang jadi pertimbangan, gue akan pilih Wiranto tahun 2009 lalu.

Gue melihat pendukung di kedua kandidat. Gue melihat ada Aburizal Bakrie yang tidak bertanggung jawab dengan nasib para korban Lapindo, gue melihat ada PKS di sana, partai Islam yang seharusnya menjadi panutan tetapi malah mencetak koruptor kelas kakap (iya, menurut sebagian orang yang partisan PKS, LHI dijebak). Gue juga melihat ada FPI di belakang Prabowo, ormas garis keras yang "membela" Islam (padahal Islam sudah tidak perlu dibela), yang ingin menegakkan UU syariah di negeri yang umat Islamnya "hanya" mayoritas dan mengabaikan pemeluk agama lainnya, yang mengutamakan kekerasan, seenaknya memberi cap "kafir" ke orang yang berseberangan paham dengan mereka dan aparat kepolisian pun tunduk dengan mereka. Gue melihat ada partai yang diketuai Suryadharma Ali di sana, tersangka koruptor penyelenggaraan haji. Gue melihat banyak orang-orang yang memiliki agenda tersembunyi apabila Prabowo-Hatta terpilih. Gue melihat adanya koalisi yang tidak sehat, yang transaksional. Gue baru melihat tayangan Debat Capres saat masuk ke sesi ketiga, melihat tayangan debat-debat lainnya di TV yang melibatkan dua kubu, dan ya, tampak jelas karakter para pendukung kedua kandidat. Gue yakin, akan ada komentar bahwa pendukung Jokowi-JK itu kaum zionis, JIL, LGBT. Okelah mereka menjadi pendukung Jokowi-JK, tapi apakah mereka melakukan kejahatan meraup uang rakyat hingga bermilyar-milyar? Apakah mereka melakukan tindak kekerasan terhadap mereka yang berseberangan paham? Gue hanya melihat berdasarkan data secara sederhana. Tidak akan ada partai yang bersih, karena konon kabarnya, politik itu kotor. Namun berdasarkan temuan ICW, 9 dari 11 daftar partai terkorup berada di belakang Prabowo-Hatta.

Mungkin Prabowo jujur dan tegas, karakter yang dibanggakan pendukungnya, tetapi yang gue lihat, dia berjarak. Entah memang citra tersebut yang dibuat oleh timsesnya, atau memang itu karakter pribadi, gue sama sekali gak tahu. Yang jelas, setiap kali melihat potongan tayangan kampanye dia di daerah-daerah, gue hanya melihat bahwa ada jarak antara penguasa dan rakyat, jarak yang tidak akan bisa dihilangkan. Sementara rakyat membutuhkan pemimpin yang bisa dekat dengan mereka, yang tak berjarak.

Seperti yang sudah pernah gue tulis di status FB gue, gue tidak mau negeri ini kembali ke masa Orde Baru, ketika kebebasan berpendapat diberangus, ketika penguasa adalah raja yang harus didengar dan bila bertentangan maka akibatnya akan fatal, ketika banyak pencekalan di sana sini bahkan menyentuh bidang ekonomi kreatif (baca: seni), dan semua ini secara tersirat diucapkan oleh Prabowo sendiri dalam Dialog Budaya di TIM dan dikutip oleh banyak media.

Dari kedua pilihan, yang ternyata kalau menggunakan kata hati itu sangat mudah, pilihan gue jatuh ke Jokowi-JK. Ya, gue pilih Jokowi-JK lengkap dengan segala konsekuensi yang ada. Kenapa? Karena gue ingin Indonesia berubah ke arah kemajuan, bukan kemunduran. Gue sangat tahu, mereka berdua hanya manusia biasa yang kodratnya adalah melakukan kesalahan. Kalau Rasulullah Muhammad SAW saja pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya, masak gue, yang manusia biasa sama kayak Jokowi-JK mengharapkan mereka berdua sempurna? Segala sesuatu memerlukan proses, namun gue yakin, proses yang berjalan paling tidak akan sama seperti ia menjabat sebagai Walikota atau Gubernur, yaitu proses yang melibatkan semua warga, proses menuju perubahan yang lebih baik.

Gue memilih Jokowi bukan karena gue berdarah Jawa, bukan karena dia mendapatkan banyak fitnah lalu gue jatuh simpati, bukan karena mukanya ndeso, bukan karena banyak artis yang milih dia, tapi gue melihat bahwa rekam jejaknya lebih bersih dari Prabowo, sudah teruji di Solo dan kerja kerasnya (yang menurut sebagian besar orang yang tidak mendukungnya adalah pencitraan) sudah menelurkan hasil, tidak ada jarak antara dia dan rakyat yang dipimpinnya kelak, dan foto tanggal 24 Juni 2014 di Monas lalu menjadi bukti betapa dia tidak memiliki jarak dengan rakyatnya, it's the people's power!

Gue memilih dengan logika, tidak terhasut dengan segala macam fitnah, isu agama apalagi menelan mentah-mentah fatwa haram yang dikeluarkan oleh badan agama. Namun yang jelas, gue melihat, mana yang bisa membawa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik. Gue ingin negeri ini tetap utuh, melaksanakan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Ya, semua orang Indonesia menginginkan pemimpin yang tegas, yang bukan hanya prihatin ketika ada masalah. Tetapi tegas tidak harus berlatar belakang militer. Tegas itu merupakan suatu sikap. Dari ketegasan, akan muncul keseganan, bukan ketakutan.

Tulisan ini gue buat bukan untuk memengaruhi siapapun, bukan pula untuk menimbulkan perdebatan, karena memilih adalah hak setiap orang, bahkan memilih untuk tidak memilih pun merupakan hak setiap warga. Gue hanya ingin mengutip apa yang diucapkan Boni Hargens beberapa waktu lalu, "Anda tahu kalau mau kembali ke masa lalu pilih siapa. Anda tahu kalau mau melangkah ke depan pilih siapa. Ruh demokrasi inilah yang penting. Ini bukan hanya persoalan pencoblosan 9 Juli. Pilihlah figur yang terbaik, yang bisa membuat negara Indonesia ini aman." Dan untuk yang memilih golput, jadilah golput yang benar, coblos secara adil dan merata, tapi ingatlah, "BAD politicians are elected by GOOD people who do not vote."

- untuk Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika -
Share/Bookmark