Dan kenangan lebih dari 20 tahun itu terkuak kembali ketika ia menjenguk dirinya, bapak yang sedang terbaring lunglai tak berdaya.
Ketika itu, sekolahnya mengadakan acara pergi berkunjung ke planetarium, dan semua anak termasuk dirinya sangat bersemangat, karena itu akan menjadi saat pertamanya menjejakkan kaki disana. Celotehan selama perjalanan tanda tak sabar mengisi waktu dia dan teman-temannya.
Sesampainya di tempat, ia dan teman-teman langsung berhamburan turun dari bis dan mengikuti kemana pun para guru pembimbing pergi.
Dan waktu masuk pun datang. Mereka berbaris rapi menuruti instruksi sang guru. Satu per satu murid duduk, begitu pula dengan dirinya. Namun tak berapa lama, bapak datang dan menggamitnya, mengajak dirinya untuk duduk di pangkuannya. Ia pun tak ada pilihan lain selain patuh kepada bapak.
Semua berjalan normal di menit-menit pertama dan dirinya merasa bangga karena menjadi satu-satunya anak yang duduk di pangkuan bapak, pendidik senior di sekolahnya. Ia mendadak merasa menjadi anak kesayangan dan diperhatikan seluruh murid.
Namun di tengah-tengah pertunjukan, ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Ia merasakan sentuhan tangan bapak di kemaluannya. Pelan, pelan dan makin lama ia merasakan kehebatan dan kenikmatan atas sentuhan tangan bapak. Kenikmatan yang baru pertama kali ia rasakan. Kenikmatan bagi seorang anak kelas 6 SD yang tak bisa terungkapkan oleh kata-kata. Ia tahu bahwa ada yang sesuatu yang salah, tapi ucapan bapak di telinga sangat menenangkan dirinya, bahwa bapak menyayangi dirinya, dan semua akan baik-baik saja.
Ketika pertunjukan usai, ia masih belum beranjak dari pangkuan bapak. Tak tahu apakah ia harus mengikuti bapak atau turun dan bergabung kembali bersama teman-temannya. Bapak mungkin tahu bahwa ia dilanda kebingungan, hingga bapak pun harus menuntunnya agar berbaur kembali dengan kelompoknya.
Ia tak bisa lagi mengingat apa yang terjadi dalam perjalanan pulang menuju sekolah. Yang diingatnya sesampai di rumah, bahwa hari itu ia telah terpilih di antara puluhan murid perempuan lainnya untuk menjadi kesayangan bapak satu-satunya. Ia bangga telah dapat menuruti kemauan bapak, walau ia masih belum bisa menemukan jawaban atas kenikmatan ganjil yang ia rasakan di kemaluannya ketika disentuh bapak.
Keesokan harinya, ia berangkat ke sekolah dengan semangat tinggi karena ia akan bertemu bapak. Namun, semangat tinggi itu pupus ketika bapak berlaku seperti tidak ada apa-apa dan ia diperlakukan sama dengan murid-murid lainnya, bahkan ia merasa, ketika pelajaran berlangsung, ia tidak diperhatikan sama sekali.
Ia kecewa, namun ia bertekad, bahwa ia tidak akan pernah mendatangi bapak dan bertanya mengapa ia tak diperlakukan spesial lagi, tak diperlakukan sebagaimana mestinya anak kesayangan diperlakukan. Ia berkata dalam hati, bahwa apapun yang terjadi kemarin, memang sudah seharusnya terjadi. Jika bapak bisa berlaku seperti tak ada sesuatu yang terjadi kemarin, dia pun bisa bertindak yang sama. Kecewa, tapi ia tidak sakit hati, apalagi membencinya. Tidak, ia tidak bisa.
Hari-hari berikut pun berjalan seperti biasa, hingga saatnya ia tamat dan keluar dari sekolah itu. Tak ada ucapan perpisahan berarti antara dirinya dan bapak. Semua berjalan normal, mengucapkan terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan selama ini. Hari kelulusan itu adalah saat terakhir ia bertemu bapak.
Hingga sore itu, ia menginjakkan kaki di rumah bapak. Harus bertemu lagi dengan bapak, namun dengan keadaan yang sangat berbanding terbalik dari 20 tahun yang lalu. Melihat bapak terbaring tanpa daya, dengan berbagai selang di badan, tatapan kosong dan tanpa bisa berkata sepatah pun, dan satu-satunya suara yang dikeluarkan dari mulutnya hanyalah erangan, membuat dirinya disergap ketakutan yang amat sangat.
Ia tidak merasa iba pada bapak. Yang ia rasakan hanya ketakutan. Ia takut melihat bapak yang sekarang. Ia berdiri sejauh mungkin dari tempat tidur karena ia takut menatap mata bapak. Berbagai pikiran bermain di kepalanya, dan yang terkuat adalah keinginan untuk berkata tepat di telinganya, bahwa ia layak mendapatkan apa yang ia dapatkan saat ini, jatuh tertabrak bis, gegar otak parah dan terbaring selama lebih dari satu tahun, tak bisa bergerak kecuali digerakkan oleh istri dan anak-anaknya. Ingin ia berkata bahwa hukuman Tuhan yang diberikan pada bapak sangat setimpal. Ingin sekali ia mendekatkan dirinya dan berkata bahwa inilah akibat yang harus bapak terima karena telah melakukan pelecehan seksual terhadp dirinya, murid perempuan berumur 11 tahun. Ingin sekali ia berkata, bahwa walau bapak telah lupa dan tak akan pernah bisa lagi mengingat kejadian 22 tahun yang lalu, tapi baginya, kejadian itu tidak akan pernah bisa dilupakan seumur hidupnya.
Ia tidak bisa berlama-lama di tempat itu, tak bisa berlama-lama bersama bapak. Konflik batin yang ia alami sangat menyiksa jiwa, raga dan pikiran. Ia harus segera keluar atau ia akan muntah di tempat.
Sekembali dari rumah bapak, pikiran kembali berkecamuk di kepalanya. Ia tak kuat lagi menyimpan rahasia ini sendirian, ia harus bercerita kepada seseorang.
Dan akhirnya, di meja makan itu, ia ungkapkan semuanya ke sang bunda, ibu yang melahirkannya.
Ketika itu, sekolahnya mengadakan acara pergi berkunjung ke planetarium, dan semua anak termasuk dirinya sangat bersemangat, karena itu akan menjadi saat pertamanya menjejakkan kaki disana. Celotehan selama perjalanan tanda tak sabar mengisi waktu dia dan teman-temannya.
Sesampainya di tempat, ia dan teman-teman langsung berhamburan turun dari bis dan mengikuti kemana pun para guru pembimbing pergi.
Dan waktu masuk pun datang. Mereka berbaris rapi menuruti instruksi sang guru. Satu per satu murid duduk, begitu pula dengan dirinya. Namun tak berapa lama, bapak datang dan menggamitnya, mengajak dirinya untuk duduk di pangkuannya. Ia pun tak ada pilihan lain selain patuh kepada bapak.
Semua berjalan normal di menit-menit pertama dan dirinya merasa bangga karena menjadi satu-satunya anak yang duduk di pangkuan bapak, pendidik senior di sekolahnya. Ia mendadak merasa menjadi anak kesayangan dan diperhatikan seluruh murid.
Namun di tengah-tengah pertunjukan, ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Ia merasakan sentuhan tangan bapak di kemaluannya. Pelan, pelan dan makin lama ia merasakan kehebatan dan kenikmatan atas sentuhan tangan bapak. Kenikmatan yang baru pertama kali ia rasakan. Kenikmatan bagi seorang anak kelas 6 SD yang tak bisa terungkapkan oleh kata-kata. Ia tahu bahwa ada yang sesuatu yang salah, tapi ucapan bapak di telinga sangat menenangkan dirinya, bahwa bapak menyayangi dirinya, dan semua akan baik-baik saja.
Ketika pertunjukan usai, ia masih belum beranjak dari pangkuan bapak. Tak tahu apakah ia harus mengikuti bapak atau turun dan bergabung kembali bersama teman-temannya. Bapak mungkin tahu bahwa ia dilanda kebingungan, hingga bapak pun harus menuntunnya agar berbaur kembali dengan kelompoknya.
Ia tak bisa lagi mengingat apa yang terjadi dalam perjalanan pulang menuju sekolah. Yang diingatnya sesampai di rumah, bahwa hari itu ia telah terpilih di antara puluhan murid perempuan lainnya untuk menjadi kesayangan bapak satu-satunya. Ia bangga telah dapat menuruti kemauan bapak, walau ia masih belum bisa menemukan jawaban atas kenikmatan ganjil yang ia rasakan di kemaluannya ketika disentuh bapak.
Keesokan harinya, ia berangkat ke sekolah dengan semangat tinggi karena ia akan bertemu bapak. Namun, semangat tinggi itu pupus ketika bapak berlaku seperti tidak ada apa-apa dan ia diperlakukan sama dengan murid-murid lainnya, bahkan ia merasa, ketika pelajaran berlangsung, ia tidak diperhatikan sama sekali.
Ia kecewa, namun ia bertekad, bahwa ia tidak akan pernah mendatangi bapak dan bertanya mengapa ia tak diperlakukan spesial lagi, tak diperlakukan sebagaimana mestinya anak kesayangan diperlakukan. Ia berkata dalam hati, bahwa apapun yang terjadi kemarin, memang sudah seharusnya terjadi. Jika bapak bisa berlaku seperti tak ada sesuatu yang terjadi kemarin, dia pun bisa bertindak yang sama. Kecewa, tapi ia tidak sakit hati, apalagi membencinya. Tidak, ia tidak bisa.
Hari-hari berikut pun berjalan seperti biasa, hingga saatnya ia tamat dan keluar dari sekolah itu. Tak ada ucapan perpisahan berarti antara dirinya dan bapak. Semua berjalan normal, mengucapkan terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan selama ini. Hari kelulusan itu adalah saat terakhir ia bertemu bapak.
Hingga sore itu, ia menginjakkan kaki di rumah bapak. Harus bertemu lagi dengan bapak, namun dengan keadaan yang sangat berbanding terbalik dari 20 tahun yang lalu. Melihat bapak terbaring tanpa daya, dengan berbagai selang di badan, tatapan kosong dan tanpa bisa berkata sepatah pun, dan satu-satunya suara yang dikeluarkan dari mulutnya hanyalah erangan, membuat dirinya disergap ketakutan yang amat sangat.
Ia tidak merasa iba pada bapak. Yang ia rasakan hanya ketakutan. Ia takut melihat bapak yang sekarang. Ia berdiri sejauh mungkin dari tempat tidur karena ia takut menatap mata bapak. Berbagai pikiran bermain di kepalanya, dan yang terkuat adalah keinginan untuk berkata tepat di telinganya, bahwa ia layak mendapatkan apa yang ia dapatkan saat ini, jatuh tertabrak bis, gegar otak parah dan terbaring selama lebih dari satu tahun, tak bisa bergerak kecuali digerakkan oleh istri dan anak-anaknya. Ingin ia berkata bahwa hukuman Tuhan yang diberikan pada bapak sangat setimpal. Ingin sekali ia mendekatkan dirinya dan berkata bahwa inilah akibat yang harus bapak terima karena telah melakukan pelecehan seksual terhadp dirinya, murid perempuan berumur 11 tahun. Ingin sekali ia berkata, bahwa walau bapak telah lupa dan tak akan pernah bisa lagi mengingat kejadian 22 tahun yang lalu, tapi baginya, kejadian itu tidak akan pernah bisa dilupakan seumur hidupnya.
Ia tidak bisa berlama-lama di tempat itu, tak bisa berlama-lama bersama bapak. Konflik batin yang ia alami sangat menyiksa jiwa, raga dan pikiran. Ia harus segera keluar atau ia akan muntah di tempat.
Sekembali dari rumah bapak, pikiran kembali berkecamuk di kepalanya. Ia tak kuat lagi menyimpan rahasia ini sendirian, ia harus bercerita kepada seseorang.
Dan akhirnya, di meja makan itu, ia ungkapkan semuanya ke sang bunda, ibu yang melahirkannya.
No comments:
Post a Comment