Sunday, July 31

..berubahnya angka..

Ulang tahun. Hari pergantian umur seseorang yang konon katanya, peristiwa untuk menandakan bertambahnya kedewasaan seseorang namun di satu sisi juga menandakan berkurangnya umur orang tersebut untuk hidup di dunia fana ini.

Tapi menurut gue sendiri, hari ulang tahun tidak ada bedanya dengan hari-hari lainnya. Satu-satunya perbedaan adalah perubahan penulisan angka, sehingga ketika ditanya orang berapa umur gue, gue bisa menjawab dengan tepat. Selain itu, semuanya sama saja.

Tetapi apakah itu pertanda bahwa gue tidak menjadi dewasa karena gue merasa biasa saja? Entahlah, karena orang lain yang bisa menilai apakah gue cukup dewasa atau tidak. Tapi yang pasti, gue merasa begitu banyak perubahan yang gue alami dalam hidup ini dan itu tidak berkaitan dengan perubahan angka di hidup gue. Gue selalu beranggapan bahwa kedewasaan seseorang bukanlah dilihat dari seberapa besar angka yang dimiliki, tetapi diukur dari cara pandang atau pola pikir orang tersebut dalam kehidupan ini, baik saat mengalami masa yang menyenangkan ataupun menyedihkan.

Hari ini, gue berulang tahun yang ke 35. Konon kata lagi, umur 35 untuk seorang wanita lajang adalah angka yang cukup rawan. Tapi sampai saat ini, gue belum bisa melihat kerawanan itu karena menurut gue, segala kerawanan itu diciptakan oleh masyarakat yang belum bisa menerima bahwa seorang wanita masih melajang di usia kepala 3, apalagi usia 35 :)

Gue sangat beruntung memiliki seorang ibu yang demokrat, yang kurang peduli dengan segala stempel masyarakat bahwa anak perempuannya memilih untuk hidup melajang. Gue sendiri berpikir bahwa menikah itu adalah sebuah pilihan hidup, bukan karena paksaan dari orang tua, apalagi paksaan dari masyarakat yang notabene tidak mengenal gue. Gue bersyukur bahwa ibu gue cukup mengerti dengan pilihan gue ini. Tidak seperti orang tua lainnya yang menuntut sana sini dan sudah memberikan target umur menikah kepada anak perempuannya. Kasihan..

Entah mengapa, tapi sedari dulu, mungkin sejak gue SMA, gue tidak pernah berpikir secara serius bahwa suatu saat gue akan menikah. Bukan karena gue anti lelaki, tetapi karena gue merasa bahwa masih banyak prioritas lain yang perlu dikedepankan. Untuk tipikal perempuan, apalagi perempuan yang seumur dengan gue dan sudah berkeluarga, pemikiran gue ini mungkin akan dianggap aneh. Tetapi menurut gue pribadi, menikah bukanlah suatu keharusan dalam hidup, walau dalam kitab suci agama gue telah disuratkan bahwa Tuhan menciptakan makhluk hidupnya berpasang-pasangan. Tapi apakah pasangannya itu akan ditemukan di dunia atau di akhirat nanti, tidak diceritakan secara terperinci.

Cukup banyak perempuan yang frustrasi karena masih melajang di usia kepala 3, sibuk alang kepalang mencari pria untuk dinikahi dari berbagai sumber teman dan keluarga, tak jarang dari jejaring media sosial. Gue pribadi merasa kasihan sama mereka. Kasihan karena mereka terjebak dalam stempel buatan masyarakat, bahwa seorang perempuan akan dicap negatif jika masih belum menikah di usia kepala 3. Kasihan dengan mereka yang tidak bisa berpikir jernih lagi bahwa ada hal lain di dunia ini yang membutuhkan banyak perhatian selain menikah dan berkeluarga, sehingga mereka menikah hanya karena status dan dorongan masyarakat.

Prioritas dalam hidup gue selain meluangkan waktu sebanyak mungkin bersama ibu yaitu membaktikan diri di kegiatan sosial, apapun itu bentuknya. Bukan berarti gue ingin menjadi aktivis sosial, tapi lebih kepada rasa ingin berbagi dan membantu sesama yang memiliki kekurangan supaya mereka tidak memandang negatif pada kehidupan ini, pada Tuhan Sang Pencipta kehidupan. 

Prioritas lain adalah merintis jalan meraih cita-cita sebagai seorang penerjemah profesional. Profesi yang sudah gue jalani cukup serius beberapa tahun belakangan ini. Profesi yang tak jarang masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar orang. Profesi yang menurut sebagian besar orang tidak menghasilkan cukup banyak uang untuk membiayai pengeluaran sehari-hari. Tapi apa daya, gue telah jatuh cinta dengan profesi ini, dan dengan restu Tuhan, gue yakin bahwa gue bisa meraih cita-cita gue.

Mungkin, suatu saat nanti, akan ada masanya gue akan memiliki pandangan yang berbeda tentang kehidupan ini berikut prioritas yang ada di dalamnya. Tapi kapankah masa itu akan datang? Gue tidak ambil pusing. Yang jelas, gue akan menjalani hari dengan prioritas yang gue miliki saat ini. Apakah itu tandanya gue tidak memikirkan masa depan? Sama sekali tidak benar. Gue hanya sekadar ingin menikmati hari-hari di dunia fana ini tanpa perlu memusingkan pandangan orang lain tentang gue. Tanpa perlu sedikit pun merasa iri dengan kehidupan orang lain.

Untuk mengakhiri catatan perubahan angka di malam ini, gue ingin mengutarakan bahwa segala sesuatu dalam hidup ini merupakan suatu pilihan, dan segala pilihan yang kita ambil akan membuahkan konsekuensi yang harus siap kita hadapi. Tidak selalu berkaitan dengan pertambahan umur, tapi yang pasti berkaitan dengan pola pikir memandang kehidupan ini.

Age is just two digits number, never use it to measure one's maturity.

- 31072011 -

Share/Bookmark

Thursday, April 7

..mengumpat..

Apakah ada dari kalian yang pernah sepanjang hidupnya tidak pernah mengumpat? Gue percaya bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah mengumpat. Yang membedakan mungkin kadar mengumpatnya, dan juga jenis umpatan yang dilontarkan.

Mengumpat tidak sama dengan mendamprat (dan gue pun tidak bermaksud untuk berirama). Menurut gue, mengumpat adalah caci maki yang dilontarkan karena kesal terhadap atas sesuatu hal atau seseorang (bisa juga sih terhadap sekelompok orang, bahkan senegara). Mengumpat, dalam banyak masa, merupakan suatu kepuasan tersendiri walau tidak menyelesaikan apapun

Umumnya, umpatan itu dilontarkan ketika taraf kekesalan sudah memuncak dan simpanan kesabaran sudah habis, sehingga ketika menemui satu kondisi yang tidak sesuai dengan harapan kita, otomatis umpatan akan keluar dengan sangat lancar.

Umpatan apakah yang sering diucapkan? Menurut pengamatan (dan juga pengalaman pribadi), rata-rata berkaitan dengan nama binatang dan tingkat intelegensia seseorang, walau tak jarang kotoran pun juga sering terucap.

Memang, mengumpat itu bukan hal yang baik, apalagi karena hal itu sampai diangkat dalam salah satu surat Al Quran. Namun tak jarang kita ingin mencari pembenaran atas segala umpatan yang terlontar, dan setelah kita merunut dan menganalisa kembali, ternyata kita yang salah, tetap saja kita tidak mau disalahkan. Apalagi kalau disalahkan sambil diberitahu "makanya, gak usah cepat-cepat ngumpat, wong kamu juga yang salah." Beuuuuuuh, seperti mau mengumpat lebih pedas.

Entah sejak kapan gue memiliki kebiasaan ini, tapi gue rasa sejak duduk di bangku SMA (hihihihiiiiiiii, lama ya?) Apakah kebiasaan mengumpat bisa dihilangkan? Hmmm, jika pertanyaan itu ditujukan pada gue, kemungkinan besar gue akan menjawab tidak bisa, tapi kalau dikurangi kadarnya, gue sangat yakin bisa.

Hal pertama yang harus dilakukan memang niat untuk mengurangi kadar umpatan. Dan sangat disadari, bahwa niat saja tidak cukup. Salah satu hal penting yang harus dijalankan adalah selalu berpikiran positif, dan yang terakhir adalah tidak berada di lingkungan yang senang mengumpat juga. Tanpa kita sadari, hal yang terakhir ini bisa memegang peranan penting tentang kebiasaan mengumpat kita. Dan jika setiap hari kita bergaul dengan para pengumpat, maka mau tidak mau, kebiasaan buruk itu menjadi suatu hal yang amat sangat wajar dilakukan.

Sulit? Mungkin saja. Tapi gue yakin, bahwa suatu saat nanti gue bisa menghilangkan kebiasaan buruk ini. Dan semoga saja kalian yang mengalami hal yang sama dengan gue, suatu saat nanti juga bisa menghilangkannya, ya paling tidak, menguranginya.

Share/Bookmark

Monday, November 22

..atas nama makhluk hidup ciptaan Tuhan..

Tgl 12 - 14 November, gue beserta 3 orang lainnya menuju Yogya. Alasan gue kesana kali ini sama sekali bukan berlibur, tapi karena ingin berusaha memberikan kontribusi untuk menolong sesama yang tertimpa musibah letusan Merapi. Untuk yang belum tahu, Gunung Merapi meletus 27 Oktober dan gue mulai kordinasi dengan Bhayu, anak 1001Buku mengenai apa yang perlu dibawa kesana, dan gue langsung menyiapkan tanggal untuk pergi kesana. Gue mulai membantu 1001Buku utk mencari donasi, dan alhamdulillah, terkumpul sejumlah uang dari alumni STPB yang bisa langsung dipakai untuk membantu mereka. Semingu sebelum keberangkatan, setelah kordinasi kembali dengan Bhayu, gue memasang status di fb utk meminta donasi dan kiriman barang2x untuk balita & anak-anak, karena rencananya gue mau ikut tim trauma healing utk main sama anak2x disana. 

Alhamdulillah, sampai dengan tgl 9 Nov, terkumpul uang 3 juta dari berbagai teman (Irna & Subtitle - 1 jt, Cebbi - 500rb, Jeanne - 1 jt, Enni Elvi - 300rb, Farida W - *censored*, Popi Amanda - 250rb, Grace K - 100rb) dan sejumlah barang seperti boneka, selimut, mainan, alat sanitasi, dan beberapa baju serta buku sumbangan dari Kak Ito, Palupi/Upay dkk, Liza Taufik dkk, Dethy & teman-teman dr Coca Cola Amatil. Barang-barang itu diangkut ke Yogya pakai truk yang akan mengangkut tenda Kiwanis untuk kemudian langsung menuju posko ACT. Kenapa ACT? Karena 1001Buku memang bekerja sama dengan tim ACT untuk penanganan bencana Merapi ini. Mau tahu apa itu ACT? Silahkan cek sendiri web-nya di http://www.actforhumanity.or.id/

Jumat pagi sampai disana, dijemput Bhayu utk sarapan trus langsung menuju posko ACT di Jl. Kaliurang KM 5. Ketemu mas Gaw yang menjadi Direktur Program ACT, trus setelah mendata diri, kita gabung sama tim Trauma Healing yang hari ini ada rencana ke 2 tempat di Klaten. Bhayu gak ikut tim TH krn dia dapet tugas baru dr mas Gaw, yaitu assessment atau pendataan warga Klaten. Uang yang terkumpul, langsung gue kasih ke tim TH 1001Buku utk membeli susu & snack buat anak-anak. So sebelum ke refugee camp, kita belanja di Lonte, eh Lotte Mart dulu. 

Posko 1 yang didatangi adl Balai Desa Semangkak, menampung para pengungsi yang tinggal 12 KM dari lereng Merapi. Tanpa persiapan penuh, gue mengajak mereka untuk bernyanyi dan berhasil mengundang 1 anak ke depan, namanya Ilham, untuk nyanyi Bintang Kecil di depan teman-temannya. Setelah itu, kita pisahkan anak2x berdasarkan umur. Yang SD & SMP ikut gue & Arif untuk origami, sementara yg TK & belum sekolah ikut Ning & Jarot. Asli, gue gak ada persiapan origami sama sekali, jadi gue hanya mengandalkan apa yang gue inget, daaaaaaan, untungnya gue inget gimana buat burung, hihihiiii... Setelah itu, anak2x kita kasih gambar utk diwarnai, dan ada juga yang bermain lilin & lego. Ada 1 anak, namanya Yayang, umur 10 th, mengidap polio, tangan kanannya tidak bisa digerakkan dan dia selalu mengeluarkan air liur. Ketika anak-anak pada bersuka ria maen2x, dia hanya duduk di pojokan karpet. Iroel yang pertama kali memperhatikan and ia memberikan kertas gambar yang siap diwarnai. Berhubung Iroel mau shalat jumat, gue yang mendampingi Yayang dan terdapatkan cerita betapa ibunya ini menyia-nyiakan Yayang. Sigh... Padahal anaknya cerdas dan kalau dilatih dengan telaten, I'm sure he won't give a bigger burden to his parents *sedih*

Sekitar jam 12,30, dengan berat hati kita meninggalkan posko untuk menuju posko berikutnya, but before, we stopped by for some quick lunch.



Yayang
Tim Trauma Healing
The bright future lies ahead for them
Ilham yang konsen mewarnai
Kamp kedua yang kita datangi cukup jauh lokasinya. Sebenarnya kamp ini rumah warga. Kenapa bisa dijadikan tempat mengungsi? Karena ada satu orang yang tinggal di dekat lereng Merapi dan punya saudara di desa ini, lalu ia mengajak para tetangganya untuk pergi mengungsi disana. Kegiatan yang kita lakukan tidak beda jauh dari yang pertama. Bermain dengan mereka dan memberikan mereka snack & susu setelah kegiatan. Ada 1 anak disini yang gue suka sekali dengan daya imajinasinya, Sigit. Dengan lilin mainan alias play dough, dia bisa membuat berbagai macam jenis bentuk. Sangat imajinatif !! Berhubung sudah sore, kita pamit pulang. Tapi sebelum bubar jalan kembali ke posko, kita mampir melihat 1 tempat lagi utk Trauma Healing besok. 

Sigit, the creative-and-imaginative boy



Hari Sabtu, acara hari ini berubah, karena rencana awal adl jalan bersama tim Trauma Healing, tapi akhirnya kita jalan sama tim Logistik untuk diriin tenda di 2 tempat, yaitu Desa Sukarame and Stadion Maguwo. Dari posko KM 5, kita ke posko KM 8 dulu utk ambil tenda & logistiknya. Setelah itu, kita jalan and berhenti lagi di posko ACT selanjutnya untuk angkut beberapa orang yang akan ngebantu buat tenda. Gue duduk di belakang pickup terbuka dengan memakai google, masker and duduk menghadap samping. Warna yg gue liat sepanjang perjalanan di Magelang hanya abu-abu dan coklat, gak ada warna lain. And ada some point yang gue ngerasa kalo the google was in a bad quality krn kok makin lama makin buram, tapi setelah gue merubah duduk and lihat ke belakang, ternyata oh ternyata, hujan abu masih terjadi. Jarak pandang dekat sekali. Woohoooo..

Sampe di desa Sukarame, langsung segera pasang tenda karena siang itu, tenda mau dipake untuk tim Medis & Trauma Healing. Ketemu pak RT setempat, and dia bilang kalo selama 15 hari, tidak ada listrik disana, dan baru nyala itu semalam. Desa itu sepi sekali karena ada beberapa yang masih ada di sawah, dan ada beberapa yg mengungsi.


Dari Sukarame, kita kembali ke posko KM 8 and bersih2x posko sebentar biar gampang utk ngambil barang2x yang akan diberi. Sistem posko ACT km 8 ini adalah, para pengungsi ambil barang ke posko dengan membawa data warganya lalu ACT akan memberi donasi yang diperlukan mereka. Mulai dari boneka, alat sanitasi, bantuan medis, selimut sampai underwear. Tapi kalau warganya sampai di atas 100, seperti yang terjadi dengan pak Sri / Miroto, maka tim logistik ACT akan survey dulu ke tempat utk kroscek datanya dan lalu memberikan bantuan logistik segera. Nah, donasi yang gue dapatkan dari teman2x di Jakarta pun dibagi-baginya disini, selain ada yang dibawa ke Klaten & Magelang (FYI: utk boneka & mainan, sebagian juga diberikan ke Yogya Youth Centre, dimana tim Trauma Healing ACT kesana utk bermain menghibur anak2x).








Sekitar jam 2an, tim yang gue ikuti lain lagi. Kali ini bersama tim Rescue, jalan ke Stadion Maguwo utk pasang tenda kedua. Kondisi pengungsi di Stadion cukup memprihatinkan. Stadion yang berlantai 3 itu penuh dengan semua pengungsi, tidur seperti di emperan toko, umpel2xan.. Gue gak tega untuk ambil foto keadaan mereka, karena buat gue, sepertinya sangat tidak pantas, kondisi yang mengenaskan seperti mereka dijadikan obyek foto untuk konsumsi pribadi. Setelah menunggu hampir 2 jam, akhirnya kita dapet spot utk mendirikan tenda di depan. Menikmati sabtu sore di Maguwo bersama tim rescue yang sumpah bodor abis dan berasa tidak di Yogya, karena mereka sebagian besar orang Sunda, diiringi dengan pemandangan para pengungsi yang sedang mengantri makan di stand mi instan & teh, sedang memandikan anaknya dan mereka yang sedang bercengkerama dan tak jarang gue melihat mereka yang sudah berumur hanya berdiri menatap kosong ke arah gunung Merapi. Mungkin mereka bertanya dalam hati, sampai kapan mereka akan di kamp pengungsian, bagaimana dengan harta benda mereka, bagaimana mereka akan mengumpulkan kembali harta benda yang hilang itu, dan berbagai pertanyaan yang hanya mereka sendiri yang tahu.




 
Merapi jam 4 sore
 

Merapi jam 5:30 sore
Hari Minggu adalah hari terakhir di Yogya. Rencananya mau ikut team rescue ke Merapi. Tapi berhubung, tempat yang mereka tuju adalah KM 5, yang artinya Zona Merah, jadi kita tidak bisa ikut pergi, dan gue juga tidak berkeberatan untuk tidak pergi siy, karena gue takut malah menyusahkan, mengingat gue tak punya persiapan apapun. Jadi kegiatan hari ini berkutat di Stadion aja, mencari spot utk diriin flying fox, trus mencari tahu dari para pengungsi, apakah mereka masih punya hewan ternak yang mau dijual utk dijadikan hewan qurban, karena tgl 17 Nov itu Idul Adha, jadi ACT punya program utk bagi-bagi daging kurban buat pengungsi. Cabut dari Stadion jam 5 sore, trus kembali ke posko dalam cuaca yang buruk, hujan lebat dan air menggenang dimana-mana. Sampai di posko, makan malam trus beberes bentar dan jam 7 setelah pamit ama semua orang (too bad mas Gaw lagi pergi mendampingi Presiden ACT, jadi cuma bisa pamit lewat bahasa tulisan) kita diantar sama tim Trauma Healing ke stasiun.

Gue mengacungkan jempol bagi semua tim relawan yang telah mengeluarkan tenaga dan waktu tanpa pamrih, tanpa kenal lelah dan tanpa meminta imbalan. Salut sekali, terutama bagi tim rescue, pahlawan tanpa tanda jasa, yang di otaknya hanya berusaha untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa tanpa membahayakan diri sendiri. Buat mas Gaw apalagi, yang rela meninggalkan keluarga demi menolong orang lain. Gue salut, sangat salut ama mereka.Terima kasih atas warm welcome-nya selama kita disana and semoga kita gak nyusahin..

Untuk para pengungsi, semoga mereka diberikan kekuatan, ketabahan dan keikhlasan untuk menerima semua yang terjadi ini. Talking is cheap, I know, because I've never been in their position, but I hope that my sincere prays would help them even a bit. GOD is not bad, GOD knows what is best for their creatures. 

Yang terakhir, I'll definitely come back soon.. Gue sudah menetapkan bahwa dalam beberapa waktu ke depan gue harus kembali lagi ke Yogya untuk memberikan kontribusi dalam masa pemulihan bencana. I don't know what kind of contribution I'll give, but what most important is, niatnya udah ada, pasti ntar akan ada jalannya.

Bye bye Yogya (for now...)

Share/Bookmark