Sekitar 1 bulan lalu, gue membaca status teman gue di FB. Temen gue ini gay, umur 30 tahun, dan di statusnya dia bilang bahwa ia akhirnya memberitahu kedua orang tuanya kalau selama ini dia memiliki orientasi seksual dari orang kebanyakan.
Jujur, gue salut sama dia. Karena gue yakin, untuk terbuka pada orang tua sendiri itu membutuhkan pemikiran yang sangat matang, pergolakan batin yang sangat hebat. Gue salut, karena dia bisa sampai di titik bahwa ia tidak perlu lagi menutup-nutupi jati dirinya. Bahwa ia memang berbeda, dan kedua orang tuanya harus tahu dari mulutnya sendiri, bukan dari orang lain. Tapi gue yakin, setelah ia berbicara terus terang dengan kedua orang tuanya, dia pasti sangat lega, karena akhirnya dia bisa terbebas dari beban, tidak perlu lagi membohongi kedua orang tuanya, dan tidak perlu lagi jaim.
Tapi di sisi lain, sebagai orang tua, gue cukup yakin bahwa kedua orang tuanya merasa kecewa. Apalagi mengingat teman gue ini anak pertama dan satu-satunya laki di keluarga. Lagipula, orang tua mana pula yang tidak akan kecewa? Anak pertama yang diharapkan oleh orang tua ternyata tidak sesuai dengan harapan. Kalau gue jadi orang tuanya, mungkin gue akan kecewa. Tapi mungkin aja gue sama sekali tidak kecewa. Kenapa? Karena paling tidak, dia sudah berusaha jujur dengan dirinya sendiri, dan bagi gue, itu yang terpenting.
Gue orang yang sangat menghargai kejujuran. Sepahit apapun, lebih baik dibicarakan di awal. Persetan dengan stempel orang. Gue percaya, bahwa jujur dengan diri sendiri gak akan membuat hidup menjadi lebih susah. Banyak orang yang gak bisa menerima kejujuran orang lain. Ketika mereka dikritik, walaupun itu kritik membangun, mereka marah. Alih-alih introspeksi atau minta maaf, mereka menjadi defensif dan menyerang balik. Contoh lain, ketika ada yang berusaha jujur memberikan pendapatanya, si pemberi pendapat malah dimusuhi. Ada lagi ketika kejujuran disampaikan, tetapi si penyampai berita/info malah diberitakan yang tidak-tidak. Dan banyak lagi contoh reaksi lainnya ketika orang-orang tidak siap dengan suatu bentuk kejujuran yang disampaikan.
Gue lebih menghargai orang yang ngomong di depan gue apa adanya. Wajar, kalau reaksi pertama itu kaget. Tapi selebihnya, gue akan mencerna segala omongan yang disampaikan. Perlu waktu, apalagi untuk orang seperti gue yang sangat mendetil dan mencerna segala sesuatunya dari A - Z. Tapi yang pasti, gue gak akan memusuhi orang itu, ngomong jelek tentang dirinya, apalagi sampe maen dukun. Hadeuuh, bukan gue banget!
Ada satu teman gue, ketika gue beritahu sesuatu, dia marah dan ngediemin gue selama beberapa bulan. Gue gak masalah dan gue gak peduli. Tapi akhirnya, temen gue ini nyadar sendiri dan hubungin gue duluan. Ya udah, pertemanan berlanjut sampai sekarang.
Intinya adalah, reaksi menghadapai kejujuran itu memerlukan sebentuk kedewasaan. No, bukan berarti orang yang umurnya banyak itu dewasa, mereka cuma tua. Kedewasaan di sini adalah dalam berpikir dan mencerna semuanya. Gue gak bilang kalo diri gue dewasa, tapi gue berusaha untuk menjadi dewasa, dan berusaha untuk jujur dengan diri sendiri.
Ketika elo sudah bisa jujur dengan diri sendiri, berbicara dengan kata hati elo, dan reaksi elo tidak emosional ketika ada yang menyampaikan suatu kejujuran, menurut gue, elo sudah cukup dewasa dan gue jamin, hidup lo akan terasa lebih ringan.
No comments:
Post a Comment