Thursday, September 8

..meraih cita-cita..

Seharusnya gue menulis blog ini ini di hari terakhir gue menjadi pegawai kantoran, tapi karena belum ada kesempatan, jadilah baru sekarang gue bisa menulis.

Saat ini, gue lagi menikmati liburan yang cukup lama, hampir 1 bulan. Liburan ini bisa gue ambil karena gue sudah tidak ada tanggung jawab untuk cepat-cepat kembali bekerja. Ya! Setelah 12 tahun gue menjadi cungpret alias kacung kampret di 4 institusi, berhadapan dengan para atasan dan kolega yang memiliki beragam karakter, berkutat dengan lalu lintas Jakarta yang makin lama makin semrawut, akhirnya gue memutuskan untuk berhenti dari rutinitas kantor dan beralih profesi menjadi penerjemah yang bisa bekerja dari rumah, bisa menemani ibu, bisa mengatur waktu sendiri, bisa bermain dengan kelinci & hamster, bisa makan-dan-tidur kapan pun gue mau.

Keputusan ini bukanlah suatu keputusan emosional yang diambil secara cepat. Dibutuhkan waktu sekitar 1 tahun untuk mempertimbangkan segala baik dan buruknya. Jelas, gue akan kehilangan segala fasilitas tunjangan kesehatan dan gaji bulanan. Tapi menurut gue, kedua hal tersebut bukan persoalan maha penting yang tak ada penyelesaian. Untuk urusan kesehatan, gue sudah punya asuransi kesehatan pribadi yang sudah tak diragukan lagi namanya. Mungkin untuk gaji bulanan yang cukup banyak menjadi pemikiran. Bagaimana tidak? Setiap bulan, selama 12 tahun, gue sudah terbiasa menerima gaji dan sudah bisa mengatur alokasi biaya dari gaji bulanan itu. Dan sekarang, gue harus bisa memperhitungkannya sejak jauh-jauh hari. Memang akan ada banyak adaptasi, tetapi gue rasa itu bukan hal yang sulit. Gue sudah jarang keluar dan pada dasarnya gue memang tidak suka belanja (tidak seperti tipikal teman-teman perempuan Jakarta yang gak bisa kalo gak belanja dalam 1 minggu. Sangat konsumtif!). Gue gak punya cicilan kartu kredit, dan cicilan mobil gue akan selesai dalam waktu 4 bulan lagi (alokasi dana untuk inipun sudah disiapkan). Listrik, telepon, internet, langganan tv berbayar, itu semua sudah diperhitungkan. Jadi gue merasa tidak akan menemui masalah berarti dalam hal keuangan selama gue disiplin dengan diri sendiri.

Beberapa teman gue menganggap gue gila karena mau keluar dari zona nyaman dan menggantungkan hidup sebagai penerjemah yang tidak tentu pemasukannya. Tetapi tidak sedikit pula dari mereka yang salut akan keberanian gue untuk mengambil keputusan ini. Mereka bebas saja untuk berpendapat karena apapun yang gue lakukan juga tidak akan mempengaruhi kehidupan mereka.

Menjadi penerjemah adalah cita-cita yang gue miliki sejak lama, mungkin sekitar 8-10 tahun lalu. Pekerjaan yang dulu mungkin tidak pernah terlintas di pikiran gue. Semua bermula ketika gue membaca artikel tentang seorang ibu yang banting setir menjadi penerjemah akibat krismon tahun 1997 di Kompas. Dia menceritakan suka dukanya, tapi secara keseluruhan, dia menceritakan bahwa lebih banyak suka daripada dukanya. Dia bisa bekerja dari rumah, mengatur waktunya sendiri dan tetap menghasilkan uang untuk kebutuhan hidup.

Sejak membaca artikel itu, gue menetapkan dalam hati, bahwa suatu saat, gue akan menjadi penerjemah dan gue akan mengikuti jejak ibu itu (sayangnya gue lupa nama penerjemah itu, hiks..). Tetapi berhubung gue sama sekali tidak tahu dimana gue harus mencari informasi, jadi keinginan tinggallah keinginan. Sampai akhirnya tahun 2005, gue dapat informasi tentang kursus penerjemah di PPFIB UI. Guru gue saat itu adalah bu Maria, bu Edlina (alm.) dan bu Emma. Dari mereka bertiga, gue dapat informasi tentang Bahtera, milis penerjemah.

Gue mendaftar untuk menjadi anggota milis, berusaha menjadi anggota yang aktif dengan menjawab beberapa pertanyaan dari para anggota lainnya, ikut acara-acara yang diadakan oleh Bahtera. Semua itu karena gue sangat tertarik dan ingin tahu lebih dalam seluk beluk dunia penerjemah. Dan akhirnya, gue dapet proyek pertama, menerjemahkan buku di akhir tahun 2007. Setelah proyek buku itu, berhubung kerjaan di kantor makin banyak, gue jadinya tidak begitu serius menekuni profesi baru gue.

Baru di pertengahan 2008, ketika gue menghabiskan suatu Minggu siang bersama sahabat gue, Merry, di restoran Jepang, gue terpikir untuk kembali menyeriusi menjadi penerjemah. Gue bertekad, bahwa gue harus lebih serius untuk meraih cita-cita gue. Seperti apa yang gue obrolkan dengan Merry, kalau memang apa yang kita niati itu baik dan direstui Tuhan, pasti Dia akan memberikan pertanda, apapun itu tandanya. Begitu pula sebaliknya. Dan untungnya, pertanda dari Tuhan membuat gue makin yakin bahwa gue tidak salah dengan pilihan ini.

Walau gue masih terhitung sebagai seorang bayi yang belajar melangkah di dunia ini, tapi gue cukup bangga, karena pada akhirnya, gue bisa meraih cita-cita gue. Dari seluruh pekerjaan yang gue miliki, ini adalah satu-satunya pekerjaan yang membanggakan gue. Bukan berarti gue memandang remeh ke-4 institusi dan semua pekerjaan kantoran yang pernah gue jalani, tapi gue hanya merasa biasa saja dengan semua itu. Sangat berbeda dengan pekerjaan gue yang sekarang, yang gue lakukan dengan penuh semangat. Gue juga sangat senang berada di antara para penerjemah. Mereka pintar, bersahaja, saling membantu, dan memiliki pertemanan yang erat. Itu juga yang jarang gue lihat dari dunia kantor yang individual, saling sikut dan sangat banyak melibatkan politik kantor.

Apakah ini euphoria sesaat karena akhirnya gue bisa meraih impian gue? Gak tahu juga, tapi yang pasti, gue sangat bangga dengan profesi ini dan tidak peduli dengan mereka yang masih memandang remeh terhadap penerjemah. Gue hanya minta doa dari kalian, supaya klien gue makin bertambah dan gue bisa beberapa tingkat lebih maju dari sekarang. Amin!

- dari balik jendela kamar apartemen -

Share/Bookmark