Thursday, October 29

..29.10.99 - 29.10.09..

Jumat, 29.10.99

Sekitar jam 5:30 pagi, gue mencari bapak untuk minta diantar ke jalan Merpati raya dan ditunggui sampai mendapat angkot. Sudah 1 minggu ini, dia melakukan kebiasaan itu. Namun di pagi ini, bapak tidak ada, karena dia lagi jalan pagi bersama Ano, cucunya yang pertama. Aneh, gue merasa kehilangan yang tidak pada tempatnya. Keanehan yang sebenarnya sudah dimulai dari semalam, dimana pada saat bapak gue membaca Al-Quran setelah Isya sampai menjelang tengah malam, gue merasa kepanasan yang teramat sangat sampai gue menyalakan kipas angin dengan posisi maksimal dan tidur di lantai, sementara pintu kamar menghadap balkon & jendela di buka.

Untungnya, sesampai gue di kantor, perasaan kehilangan itu segera lenyap. Kesibukan kantor benar-benar menyita pikiran. Sore menjelang, dan gue menelfon rumah untuk memberitahu Bapak kalau gue mau jalan-jalan dulu bersama teman kantor. Selama 1 minggu ini, dia selalu ingin tahu apakah gue ada kegiatan lagi setelah kantor. Dan selama 1 minggu ini pula, selalu dia yang membukakan pintu rumah ketika gue pulang.

Setelah kewajiban ditunaikan, gue dan teman kantor langsung meluncur ke Plaza Senayan. Selama perjalanan di dalam taxi, entah kenapa, topik pembicaraan tak lepas dari orang meninggal. Kami sampai di Plaza Senayan sekitar jam 6 sore, dan sedang asyik-asyiknya menyusuri Metro lantai 2, ada panggilan dari rumah ke handphone gue.

Ternyata ibu yang menelfon, memberitahu kalau mau membawa bapak ke RSPP karena perutnya sakit dan gue harus disuruh menyusul kesana segera. Reaksi pertama gue adalah berdebat dengan ibu, kenapa harus membawa dia ke RSPP, karena selama ini, dia selalu berobat ke RSPI. Dengan berat hati, gue pamit pulang ama teman-teman kantor dan naik taxi menjemput mbak Desy di kantornya yang untungnya dekat dengan Plaza Senayan.

Sekitar jam 19:30, kita berdua sampai di RSPP dan langsung menuju UGD. Sampai disana, bapak sedang terbaring lemas. Malam ini juga, dilakukan tes urine dan darah untuk mengetahui apa sebenarnya penyakit yang diderita bapak. Sekitar jam 8 malam, gue dan mbak Desy disuruh pulang, tapi gue diminta kembali lagi ke RS untuk menemani ibu.

Sampai rumah, tanpa ganti baju lagi, gue langsung starter mobil dan menuju RSPP. Sampai di RSPP sekitar jam 21:30. Untung sekali lalu lintas di Jumat malam ini cukup bersahabat, jadi gue tidak mengalami kemacetan sama sekali dari rumah ke rumah sakit.

Ternyata, bapak sudah ada di kamar untuk menjalani rawat inap, supaya besok pagi, bisa langsung menjalani cek medis secara lebih mendalam. Sampai disana, ternyata sudah ada mbak Prita & mas Virgos. Sekitar 5 menit dari kedatangan gue, mereka pamit pulang, dan tinggallah kita bertiga.

Gue mengambil kursi supaya bisa duduk dekat tempat tidur. Gue memijat kepala bapak, dan ibu memijat kakinya. Tidak berapa lama, bapak bilang ingin istirahat dan tidur. Mendadak, gue diserang kantuk yang amat sangat sulit dilawan. Kepala gue mendadak berat dan mata gue sulit dibuka, dan gue merasakan kepanasan yang sama gue alami di malam Jumat ituh. Makanya, gue memijat bokap dengan menelungkupkan kepala. Ada satu masa, dimana gue mengangkat kepala gue, dan saat itu bokap lagi memandang gue tanpa berkata-kata. Hanya diam, menatap gue. Namun karena gue yang sukar sekali membuka mata, kepala gue kembali jatuh tertelungkup.

Tidak berapa lama, ibu keluar dari kamar mandi dan siap untuk shalat Isya. Gue mau tidak mau mengangkat kepala, karena ibu yang menanyakan kondisi bapak dan dibalas dengan senyuman. Ketika ibu siap shalat dan mengucapkan takbiratul ihram, saat itu pulalah sakaratul maut menjemput bapak. Erangan kesakitan saat malaikat maut mencabut nyawa adalah suara terakhir yang keluar dari mulut bapak.

Spontan gue berteriak memanggil dokter dan suster untuk segera datang. Tidak sampai semenit mereka sudah tiba, tapi buat gue, mereka tiba hampir 1 jam lamanya. Mereka membawa alat untuk memacu jantung agar berdetak kembali. Saat itu, ibu gue menyuruh gue membaca yasin, tapi yang bisa terbaca hanya ayat 1.

Dunia gue seakan berhenti berputar. Ketika para dokter berusaha untuk memacu jantung bapak dan tidak ada reaksi darinya, gue sudah tau bahwa bapak sudah gak ada. Tapi gue tetap berusaha meyakinkan diri gue sendiri, bahwa bapak hanya mati suri. Gue berusaha menyangkal kenyataan yang sedang terjadi di depan mata gue sendiri. Di saat itulah, gue menelfon kedua kakak gue untuk kembali ke RS.

Gue limbung, gue bingung, dan gue gak mau tau apa yang terjadi di kamar itu. Gue berusaha mencari udara segar, karena dada gue sudah sesak. Sekitar 15 menit, mbak Desy sampai di RS, dan kita langsung menuju ICU. Saat itu, gue masih berharap, supaya bapak bisa diselamatkan. Tapi ketika gue melihat kakak sepupu gue menangis di lorong RS, gue tahu bahwa harapan hanya tinggal harapan.

Gue hanya bisa menangis, meratapi kepergiannya dengan penyesalan yang teramat dalam. Gue menyesal belum bisa membahagiakan beliau, menyesal karena belum sempat meminta maaf atas segala kesalahan yang gue perbuat, menyesal karena belum berterima kasih atas semua yang telah dia lakukan buat gue dan gue menyesal karena pada saat gue menemani dia sebelum dia dicabut nyawanya, gue gak bisa melawan kantuk supaya gue bisa ngobrol bersamanya.

Bapak pergi meninggalkan gue dan keluarga ini pada pukul 22:15 tanpa ada satu diagnosa penyakit pun yang bisa diketahui dokter. Insya Allah, Bapak meninggal dalam keadaan khusnul khotimah, karena sampai ajalnya tiba, dia tak putus melafalkan zikir dan beristighar pada-Nya. Amin ya robbal alamin..

Kamis, 29.10.09

Tepat 10 tahun bapak meninggalkan dunia yang fana ini. Meninggalkan gue, ibu, mbak Desy & mbak Prita. Perlu waktu yang cukup lama buat gue untuk mengatasi perasaan kehilangan ini, dan bukan hal yang mudah untuk menjalani kehidupan ini tanpa sosok bapak.

Jujur gue akui, gue tidak pernah dekat dengan ibu. Ketika bapak pergi untuk selama-lamanya, gue seperti kehilangan pegangan, karena mau tidak mau, gue harus hidup serumah hanya berdua dengan ibu. Di kala bapak masih hidup, dia lah yang menjadi penengah antara gue dan ibu. Dan sepeninggal dia, gue seperti hidup sendirian, tak punya orang tua yang bisa dijadikan tempat bercerita.

Namun semakin lama, seiring berjalannya waktu, komunikasi antara gue dan ibu mulai terjalin, walau masih ada adu argumentasi disana-sini, dan tak jarang muncul konflik yang besar dan butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Dengan apa yang telah terjadi antara gue dan ibu selama 10 tahun ini, lengkap dengan bumbu adu argumen dan konfliknya, ada satu hikmah yang gue petik, yaitu rasa syukur bahwa ibulah yang hidup lebih lama dari bapak.

Tanpa bermaksud kurang ajar, tapi harus gue akui, bahwa ibu lebih memiliki jiwa dan fisik yang tangguh. Ada 1001 alasan dan contoh soal kenapa gue bisa berkata seperti itu, mulai dari hal yang sepele sampai besar. Pun tidak pernah terbayangkan mengenai reaksi atau tindakan yang akan bapak berikan atas segala sesuatu yang terjadi dalam 10 tahun ini.

Tuhan memang Maha Segalanya. Dia Maha Mengetahui bahwa keluarga ini memang membutuhkan ibu lebih lama dari bapak serta Maha Pengatur bahwa bapak harus meninggalkan kami dengan tiba-tiba sebagai terapi kejut supaya lebih kuat menjalani kehidupan.

Gue bersyukur bahwa kondisi gue jauh lebih santai dan tegar ketika mengingat dirinya. Tidak ada tangisan yang tersedu-sedu dan tidak ada perasaan kehilangan yang mendalam. Bahkan hanya sesekali gue merindukan dirinya hadir di kehidupan ini. Namun itu sama sekali bukan pertanda bahwa gue telah melupakan dirinya. Sampai kapan pun, segala sesuatu yang berhubungan dengan bapak akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Semua kenangan tentangnya - terutama saat-saat terakhir dia di dunia, 1 minggu sebelum menghadap Sang Ilahi - akan terbawa hingga maut memanggil gue.

Untuk bapakku, yang Insya Allah sudah tenang di alam kubur.. Mudah-mudahan aku, ibu dan bapak bisa bertemu lagi. Aku masih ingat kok janji aku terakhir kali di depan jasad bapak. Salam buat Tuhan yah..

Daaaaaaaaagggg... *jangan cium pipi aku, kumis bapak buat gatal*

Share/Bookmark

Wednesday, October 14

menunggu jam 11, trus k melawai deeeeh... Senangnyah :D


Share/Bookmark

..percakapan di dalam lift..

Pagi ini, saat menunggu lift yang akan membawa gue menuju lantai kantor, tidak sengaja gue mendengar pembicaraan antara country director gue & seorang karyawan perempuan.

CD : So you still sing ?
Karyawan : Yes
CD : How often do you sing ?

*ting* pintu lift terbuka and kita pun masuk ke dalam lift. Gue mengambil spot favorit, di pojok kanan pintu biar cepat keluar. Lalu, pembicaraan mereka pun dilanjutkan

CD : How often ?
Karyawan : Yes, I'm joining choir in my church (dg kepala manggut2x dan rasa bangga)

- gue dg cepat menatap perempuan itu, tersedak and langsung menutup mulut supaya tidak ketawa kencang2x -

Hadoooooooooh, untung aja lift-nya cepat sampai di lantai 3. Gak kebayang kalo harus mendengarkan pembicaraan itu sampai lantai 12. Bisa mati berdiri gue..


Share/Bookmark