Monday, December 2

..melegakan hati..

Bagi sebagian orang, mungkin mereka akan bilang kalau gue baru saja melepaskan kesempatan yang begitu bagus untuk mempromosikan diri. Tapi buat gue pribadi, apa yang baru gue lakukan merupakan keputusan yang tepat dan sangat melegakan hati.

Jadi begini ceritanya, bulan lalu, gue ditelepon sama seseorang yang perusahaannya menjadi sponsor suatu tayangan di stasiun TV swasta, yang program tayangannya mengangkat profil wanita inspiratif dan selalu tayang di Sabtu pagi. Ketika dia menelepon dan bertanya mengenai gue dan kegiatan sosial gue, ya gue jawab apa adanya. Tak tahunya, 2 minggu kemudian, dia telepon lagi dan bilang kalau mereka mau mengangkat profil gue sebagai salah satu wanita inspiratif di acara tersebut. Ya, mereka mau menjadikan gue narasumber di acara tersebut. Sontak gue kaget. Bukan kaget karena senang, tapi kaget karena gue sendiri tidak pernah menganggap gue sudah sampai di titik bisa memberikan inspirasi ke orang lain. Saat itu gue mengiyakan saja apa maunya mereka walau hati kecil ini tetap belum bisa menerima kalau gue sedemikian inspiratifnya di mata mereka.

Seharusnya, di minggu ke-3 bulan November, ada pengambilan gambar dari kru TV-nya. Tapi karena mereka belum siap, jadinya diundur dan mereka tidak memberitahu kapan akan mengatur ulang jadwal pengambilan gambar. Ternyata, masuk minggu ke-4, gue mendapat beberapa pekerjaan yang sangat menyita waktu, membuat gue terjaga hingga pukul 2 pagi dan hanya tidur sekitar 4 jam. Di tengah-tengah minggu ke-4 itu, mereka meminta gue untuk meluangkan waktu untuk pengambilan gambar. Jujur gue keberatan atas permintaan mereka yang mendadak dan gue bilang kalau gue baru bisa melayani permintaan mereka di minggu ke-3 Desember.

Singkat cerita, sore ini, salah satu dari kru TV mengirimkan gue email mengenai apa yang ingin mereka rekam dalam gambar. Setelah gue pelajari dan pertimbangkan dengan matang, gue akhirnya memutuskan untuk mundur sebagai narasumber. Ada banyak alasan, yaitu pekerjaan yang menyita waktu; persiapan CTB ke Gunung Kidul mulai dari cari dana, beli buku, beli perlengkapan; koordinasi yang harus dilakukan dengan teman-teman Lebah karena permintaan dari kru TV tersebut, dan yang terakhir, tanggung jawab moral yang akan gue pikul apabila gue muncul di TV.

Pada dasarnya, apa yang gue lakukan dalam berkegiatan sosial ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Gue hanya menjalani apa yang gue senangi dari dulu. Gue senang anak kecil, senang ketika melihat mereka senang, senang bertemu orang-orang dengan berbagai macam karakter yang memiliki beragam pengalaman hidup dan yang pasti, gue senang karena semuanya membuat jiwa gue makin kaya.

- sekian cerita sore ini, mari kembali bekerja -
Share/Bookmark

Tuesday, October 29

..kembali..

Berlari...
Mengejarmu tanpa henti
Tanpa lelah
Terus berlari

Jauh...
Semakin jauh
Bahkan bayangmu sulit digapai
Tak terjangkau

Bertahan...
Dengan segala rasa
Kenangan yang melekat
Janji tak terucap

Tak bisa,
Tak ingin,
Tak sanggup
Untuk kehilangan semuanya

Berpegang pada cinta
Walau tak bersambut
Berharap pada satu asa
Dan doa semata

Kembali
Dan bersama lagi


Share/Bookmark

Friday, October 18

..pada satu purnama..

Kala rindu tak tertahan
Berkecamuk tak terkira
Liar
Menggelora

Andai bisa kukatakan
Tanpa malu
Tanpa ragu
Tanpa takut

Jemari bertautan
Raga menyatu
Jiwa melebur
Dan waktu pun membeku

Hanya pada purnama kucurahkan
Segala rasa yang tak terbendung
Hasrat yang tak terkendali
Juga lara yang mengiris

Rindu
Teramat rindu
Padamu...


Share/Bookmark

Tuesday, September 17

..Vicky dan Bahasa Indonesia..

Sudah lebih dari 7 hari sejak video Vicky Prasetyo dengan ungkapan kata-katanya yang sulit dimengerti bagi sebagian besar orang muncul ke hadapan publik, namun masih banyak sekali reaksi yang dikeluarkan dari berbagai kalangan. Mulai dari reaksi menghina-dinakan sampai ikut-ikutan menggunakan kata yang diucapkan Vicky.

Sebenarnya, Vicky hanya salah satu dari sebagian besar gambaran orang Indonesia saat ini. Begitu banyak orang-orang Indonesia yang tidak mengenal bahasanya sendiri. Mulai dari penulisan yang salah, (con: tidak bisa membedakan "di" yang dipisah dan disambung), salah kaprah dalam mengartikan kata (con: tidak bergeming diartikan dengan diam, sementara dalam KBBI, bergeming itulah yang diam), hingga salah menempatkan kata dalam kalimat (con: pembunuhan yang baru saja terjadi sangat strategis!).

Saya sendiri sudah memprediksi sejak 1-2 tahun terakhir, bahwa nantinya, Bahasa Indonesia akan tergerus karena perilaku rakyatnya yang lebih menyenangi bahasa asing. Mari kita lihat sekeliling, seberapa banyak ungkapan bahasa asing (baca: Bahasa Inggris) yang digunakan? Berapa banyak sekolah yang mengajarkan pelajarannya dengan menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama di sekolah? Berapa banyak orangtua yang bangga karena bisa berkomunikasi dengan anak-anaknya dalam Bahasa Inggris dengan lancar sementara Bahasa Indonesia tak dikuasai oleh anak-anak mereka?

Sebagai orang Indonesia, saya sangat prihatin (dan ini bukan karena saya mengidolakan SBY yang selalu mengumbar kata prihatin). Mengapa? Karena saya melihat perjuangan para pemuda pada tahun 1928, bersusah payah menyusun Sumpah Pemuda, mengucap ikrar bahwa bahasa yang satu untuk negeri tercinta ini adalah Bahasa Indonesia, namun belum genap 100 tahun, bahasa persatuan yang mereka junjung tinggi ini sudah mulai tersingkir secara perlahan oleh bahasa asing yang menurut mereka sebagai penutur, lebih terdengar canggih daripada Bahasa Indonesia yang kaku.

Saya harus akui bahwa nilai pelajaran Bahasa Indonesia saya dulu jelek, saya memakai bahasa Inggris agar terkesan pintar, tapi pada akhirnya saya menyadari, kalau bukan saya yang melestarikan bahasa ini, lalu siapa lagi? Mengandalkan warga asing seperti halnya kesenian Indonesia yang dilestarikan oleh mereka di negaranya? Mengapa kita selalu senang kalau warga asing bisa berbahasa Indonesia dengan lancar apalagi sampai tahu kata-kata yang baku, tapi tidak menjadikannya sebagai cambuk untuk lebih mencintai bahasa sendiri? Mengapa para orangtua lebih senang dan lebih bangga mengenalkan anak-anaknya dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama daripada bahasa ibu pertiwi tercinta ini?

Kembali ke Vicky, saya tidak menyalahkan kalau dia bisa sampai mengucapkan kata-kata yang bercampur baur tanpa konteks yang jelas. Lingkungan, selain pribadi, memiliki andil yang cukup besar dalam merusak pelestarian bahasa. Selain ketidaktahuannya (mungkin) akan Bahasa Indonesia yang memiliki segudang kata asli yang bukan berasal dari serapan dari bahasa asing, ia (mungkin) selalu berada di lingkungan yang menganggap bahwa penutur bahasa asing lebih terpandang dibandingkan penutur Bahasa Indonesia.

Saya tidak membela Vicky, tapi buat yang sudah menghinanya, coba lihat diri Anda sendiri, apakah Anda sudah benar menggunakan Bahasa Indonesia? Mengapa Anda yang menghina Vicky dengan segala ungkapan kata yang hanya dimengerti dirinya malah ikut-ikutan menjadi seperti Vicky dengan merusak bahasa?

Jika Anda benar-benar orang Indonesia, mencintai negeri dan bahasanya, cobalah jangan ikut-ikutan merusak bahasa dan mulailah dari sekarang menggunakan bahasa ini dengan baik dan benar.
Share/Bookmark

Sunday, August 18

..ini untuk lo, Dhev..

Berat bagi gue untuk menulis ini, tapi mungkin ini satu-satunya cara untuk mengungkapkan segala perasaan gue. Gue pertama kali mengenal Dheva tahun 2004. Kami berdua sama-sama One Loyal Listener, sebutan untuk pendengar Radio One yang sekarang berganti nama jadi Jak FM. Kami bertemu sekali saja, tapi kesan akan dirinya cukup membekas terutama karena namanya yang unik.  

On my last day @ Nokia - 2007
Satu tahun kemudian, gue ketemu dia lagi, tapi kali ini dalam situasi yang berbeda. Kami berdua sama-sama kaget waktu itu. Gue kaget karena gak nyangka bakal ketemu dia yang lagi ada di ruang resepsionis Nokia sedang menunggu giliran wawancara, sementara dia kaget karena gue masih inget namanya sementara dia udah lupa kalo kami sudah saling kenal. Singkat cerita, dia lolos wawancara, diterima bekerja di Nokia dan sejak saat itu, gue dan Dheva beserta Lany and Ge sering menghabiskan waktu bersama. Ketika gue akhirnya memutuskan pindah kerjaan tahun 2007, kami berempat pun masih terus berkomunikasi dan sering bertemu beberapa kali hanya untuk sekadar bertukar cerita. 

Gue inget banget, waktu itu bulan puasa tahun 2011. Gue, Dheva, Lany and Ge berbuka puasa bersama di Canteen Pacific Place. Dia bercerita dengan penuh semangat tentang Gunung Rinjani dan dia menyuruh gue untuk pergi ke sana. Dia bahkan bilang kalo suatu saat dia akan ke sana lagi karena pemandangan di Rinjani benar-benar indah, tidak seperti pemandangan di gunung-gunung lainnya. Memang, di tahun 2011 itu, hampir setiap akhir pekan dia bersama teman-temannya pergi mendaki gunung. Cerita dia tentang Rinjaninya itulah yang menjadi salah satu motivasi gue untuk membuktikan keindahannya. Ketika dia tahu gue mau naik Rinjani di bulan Juni 2012, dia yang paling bersemangat. Dia bilang kalo perjalanan gue gak akan sia-sia. Ketika gue berhasil mendaki Rinjani, Dheva menjadi orang pertama yang gue beritahu.

Buka puasa bersama terakhir kalinya
Bukan hanya tentang gunung yang membuat dia semangat bercerita, karena pada dasarnya, dia memang selalu berapi-api kalau bercerita. Bahkan di setiap percakapan, dia selalu menjadi pusat bahasan kami. Kalau kami sudah berkumpul, saling bertukar cerita heboh, tertawa keras, cela-celaan, waktu terasa sangat singkat. Yang paling gue inget ketika Dheva sudah heboh banget, yaitu pas dia mengeluarkan suara melengkingnya yang sampai 7 oktaf dengan gaya 1 tangan menutup mulutnya.  Ampuuun, pasti ngakak gak ketulungan dan itu gak akan pernah gue lupain!

Tahun lalu, ketika gue dengar dia operasi di bagian kepalanya, gue pikir itu hanya persoalan sepele. Gue gak pernah mengira kalau dia harus menjalani operasi itu karena ada tumor di otaknya karena saat itu posisinya ada di Surabaya dan gue hanya mendengar comotan-comotan cerita yang membuat gue susah untuk merangkum cerita. Saat pertama kali masuk RS, dia sulit dihubungi karena ketika dia jatuh tak sadarkan diri, ada orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Semua handphone, laptop dan tasnya dicuri orang. Gue baru dengar kabarnya setelah dia dipindah ke Jakarta.

2 Januari 2013, itu adalah terakhir kalinya gue bertemu dan ngobrol sama Dheva. Saat itu, semangat dia untuk tetap hidup begitu besar. Dia cerita tentang penyakitnya, sumbernya yang mungkin didapat karena sering sekali dia ditabrak kendaraan waktu kecil, mulai dari roda 2 sampai roda 8. Dia juga cerita tentang operasi yang sudah dijalani, perawatannya, lalu keinginannya untuk segera bekerja. Memang kondisi Dheva saat itu sudah membesar karena efek samping obat yang membuatnya seperti itu. Gue meninggalkan Dheva dengan suasana hati yang gembira karena walau menderita penyakit yang serius, semangat dan optimismenya untuk bertahan hidup masih tetap ada, bahkan lebih besar dari perkiraan gue.

Beberapa saat sebelum gue liburan ke Amerika, dia bilang ke gue, kalo dia juga mau maen ke Amerika dan jenguk mbak Desy di Washington DC. Dia juga pengen ke NY dan gue bilang ke dia kalo gue gak suka kota itu. Gue bilang ke dia, kalo ntar ke sananya bareng aja, gue temenin dia selama di DC tapi ke NY-nya sendirian aja. Selama di Amrik gue gak komunikasi sama sekali karena perbedaan waktu, paling-paling hanya berbalas komen di medsos.

Sekitar 1-2 minggu sebelum puasa berakhir, entah kenapa gue ingin sekali menghubungi Dheva, tapi setumpuk terjemahan membuat gue harus fokus menyelesaikan pekerjaan dulu. Sampai akhirnya hari Rabu siang, Ge kirim pesan lewat WA dan mengingatkan gue untuk menghubungi Dheva. Singkat cerita, gue dapat kabar kalau dia sudah dirawat lagi di RS sejak 19 Juli dan sudah sulit membuka mata sejak tanggal 9 Agustus. Sore itu juga, gue, Ge dan Rejiko ke sana untuk menjenguk Dheva. Berat rasanya melihat Dheva seperti itu dan berat rasanya untuk mengharapkan ada secercah keajaiban untuknya.

Berat, itu juga yang dirasakan oleh Dheva menjelang kepergiannya. Dia berulang kali mengucap bahwa kepalanya berat ke ibunya. Mungkin tumor otaknya sudah semakin merajalela dan membuat kondisinya drop sehingga harus masuk ke ICU hari Jumat pagi. Gue gak bisa datang menjenguk di hari itu karena sudah ada janji yang lain dan kondisi gue juga lagi tidak fit. Gue berencana untuk menjenguk Dheva di sore hari ini, sekalian pamit kalau mungkin itu terakhir kalinya gue lihat Dheva. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ketika gue baru mau menuju RS, gue dapat kabar kalau Dheva sudah gak ada. Ada rasa tidak rela yang sangat besar di diri gue, yang belum bisa menerima kalau Dheva benar-benar sudah gak ada.

Bahkan ketika gue melihat Dheva yang sudah tertidur untuk selamanya, gue masih belum bisa percaya kalau Dheva benar-benar sudah gak ada. Jujur, gue gak suka perasaan ini. Gue tahu kalau semua orang pasti akan meninggalkan dunia ini, tapi kenapa harus sekarang? Iya gue tahu kalau gue harus merelakan kepergiannya, tapi gue gak bisa memungkiri kalau cukup sulit bagi gue untuk nerimanya, apalagi mengingat semangat dia untuk bertahan hidup yang sangat besar.

Maafin gue, Dhev, karena besok gak bisa mengantar elo pulang selamanya ke rumah abadi elo. Bukan gue gak bisa, tapi gue tahu kalau gue gak akan bisa kuat melihat elo dikubur. Gue akan menganggap elo masih hidup walau hanya di hati. Gue akan selalu mengenang elo sebagai sosok Dheva yang ceria, yang gak pernah marah walau sering dicela, yang perhatian, pecinta K-Pop ketika orang-orang belum tahu apa itu K-Pop, sama-sama penikmat American Idol dan jungkir balik kesenengan waktu David Cook menang jadi juara, penggemar berat Harry Potter bahkan sampe punya jubah Gryffindor dan tongkat sihir, seorang petualang yang sangat mencintai Indonesia.

Gue sadar bahwa sesayang-sayangnya gue sama elo, tapi Tuhan lebih sayang sama elo, makanya dia mengangkat semua penyakit elo dan meminta elo segera pulang menemui-Nya. Selamat menjelajah dunia baru di sana. Gue yakin, dengan karakter elo ini, pasti elo akan cepat mendapatkan teman-teman baru. Elo bisa hidup dengan tenang tanpa perlu merasakan beratnya kepala lagi, tanpa harus menjalani kemoterapi lagi dan tanpa harus bergantung sama obat-obatan lagi.

Maafin gue atas semuanya ya, Dhev... Gue kangen banget sama elo. Gue kangen gaya elo ketika manggil gue Mimi Hitam. Gak akan ada lagi yang manggil gue kayak gitu :(
   
Elo, Lany, Gue & Ge waktu ultah gue di Vin+

Buka Puasa 2011 @ Canteen
Acceptance Team in action
My B'day Dinner
Dinner @ HRC
Nokia Dinner


Share/Bookmark

Saturday, August 10

..sendiri namun tidak sendiri..

Untuk sebagian banyak orang, hari kelahiran atau ulang tahun harus dirayakan besar-besaran. Untuk gue pribadi, gue kurang begitu suka merayakannya dengan pesta pora. Kalau pun gue 'harus' merayakan ulang tahun, paling hanya makan-makan bersama teman dekat dari beberapa grup yang gue gabungkan tapi satu sama lain saling mengenal. Gue kurang suka acara besar-besaran dengan banyak orang tapi obrolannya tidak bermutu dan malah buat grup sendiri. Tapi semakin lama, semakin gue lebih senang memisahkan diri dari keriaan saat ulang tahun, meluangkan waktu untuk diri sendiri. 

Pemandangan di perjalanan menuju Citalahab
Itu pula yang gue lakukan ketika gue ulang tahun minggu lalu. Gue melipir ke Citalahab, tempat yang terletak di kaki Gunung Halimun, Sukabumi. Pedesaan yang sangat sederhana, tapi suasana kekeluargaannya sangat terasa di detik pertama gue menjejakkan kaki di sini.

Perkebunan Teh
Berbekal ingatan gue yang seadanya ini, gue pergi menuju Citalahab sekitar jam 8 pagi dari Jakarta supaya tidak terkena macet di Pasar Sukabumi. Sekitar jam 12 gue sampai di kantor TNGHS dan 30 menit kemudian gue dijemput oleh pak Sarmin. Setelah mengurus administrasi dengan kantor TNGHS karena gue akan menginapkan mobil selama semalam di sana, gue pun pergi menuju Citalahab dengan membonceng motor pak Sarmin. Awalnya jalanan masih beraspal tapi sejak menit ke-30 sampai menit ke-90, jalanan sangat berbatu dan membuat gue yang duduk di belakang cukup kerepotan karena selain ransel di punggung, gue juga membawa sedikit oleh-oleh untuk keluarga pak ustadz yang bersedia menampung gue untuk semalam. Selama ini, gue kan selalu naik truk ke sananya, jadi tidak begitu merasakan goncangan. Kami sampai berhenti dua kali saking pegelnya duduk di motor dan dalam hati, gue sampe ngebatin, kapan nyampenya, hahahaa... Pas sampe, gak ada tempat lain yang mau gue tuju selain rumah pak ustadz dan ngelurusin kaki. Asli pegeeeellll......

Jalanan berbatu ini masih termasuk kategori yang bagus :)
Setelah berbicara sebentar melepas penat sama pak Ustadz dan bu Ratih, gue putuskan untuk tidur barang 30 menit karena jujur, semalam sebelum pergi itu gue baru tidur jam 1 karena harus menyelesaikan terjemahan dulu. Sekitar jam 4 sore, gue maen ke Rumah Ilmu Rimba Halimun yang sehari-harinya juga digunakan sebagai madrasah oleh pak Ustadz dan bu Wulan. Ketemu beberapa anak dan untungnya gue membawa kertas dan buku origami. Jadi, selama 1,5 jam, gue mengajari adik-adik 4 bentuk origami yaitu baju, celana, meja dan kursi. 

 Lucunya, ketika mereka diajarin, gue selalu bilang, "kayak gini..." setiap habis membuat lipatan. Naaah, ni adik-adik kan ikutin lipatan gue dan setiap selesai, mereka selalu mau nunjukin apakah lipatannya sudah benar dan ketika mereka nunjukin lipatannya, mereka bilang, "bu, gini bu?". Tapi, saking cepetnya mereka ngucap, akhirnya yang terdengar, "bugini... bugini..." Lah gue ganti nama jadinya! Wakakaakkk...

Lagi sibuk membuat lipatan

Ini hasilnya

Tiga sekawan asik maen bekel di lapangan

Karena jam sudah menunjukkan pukul 5.30, itu adik-adik gue suruh pulang ke rumah masing-masing untuk persiapan buka. Cukup susah nyuruh mereka pulang karena mereka maunya ama gue terus. Akhirnya gue memutuskan untuk melipir duluan ke rumah pak Ustadz biar mereka pulang juga. Sewaktu adzan tiba, gue berbuka dulu dengan air putih dan pergi ke musholla untuk Maghrib berjamaah. Nah pas keluar dari musholla, nemuin ada lima anak cewek (Elsa, Mia, Nur, Sri, Annisa dan Ella) yang tadi maen origami ama gue sedang menikmati santapan buka puasa ramai-ramai di saung. Mereka bilang kalau mereka selalu buka bersama di saung dengan membawa masakan rumah masing-masing, dan saling bertukar menu kalau ada temannya yang pengen. Mantaappp.... Buka puasa di rumah pak Ustadz sendiri sangat sederhana tapi nikmat. Menunya hanya oncom pake leunca dan sarden yang gue bawa dari Jakarta. Pak Ustadz, bu Ratih, ketiga anaknya sangat menikmati hidangan yang dimasak bu Ratih. Jujur, itu adalah pertama kali dalam hidup gue makan oncom dan leunca. Setiap kali ibu gue masak, gue pasti gak pernah mau karena gue selalu teringat bentuk asli oncom yang berwarna jingga seperti kebanyakan jamur. Tapi kali ini, untuk menghormati tuan rumah yang sudah membuatnya, mau tidak mau gue pun harus memakannya. Ternyata enak! Lain waktu kalau ibu gue masak, gue pasti akan makan! Hehehee...

Kelar makan, lagi asik-asiknya ngobrol ama pak Ustadz, eh kelima cewek tadi dateng ke rumah dan ngajakin gue tarawih. Lucu banget deh mereka, sangat bersemangat untuk shalat ama gue. Tapi berhubung masih kepagian, secara pak ustadz yang bakal jadi imam shalat aja masih di rumah, gue bilang ama mereka untuk jemput gue lagi kalo sudah mau mulai. Ada-ada aja.... 

Ada satu cerita dari bu Ratih dan pak Ustadz yang membuat gue mau nangis. Jadi dalam 2 bulan ini, panen teh tidak begitu bagus karena teh sedang terkena hama. Bulan Juni lalu, bu Ratih yang bekerja sebagai pemetih teh hanya membawa pulang gajinya sebesar Rp 21.000,- Iya, dua puluh satu ribu rupiah saja, saudara-saudara! Pak Ustadznya sendiri digaji sebesar 400ribu/bulan oleh pabrik teh. Dia tidak bekerja sebagai buruh pemetik teh, tapi sebagai penjaga lingkungan pedesaan. Namun demikian, mereka tetap bersyukur. Mereka bersyukur karena mereka masih bisa makan, punya rumah sebagai tempat berlindung, masih punya pekerjaan. Pak Ustadz bilang, kalau kita selalu melihat ke atas, kita sebagai manusia tidak akan pernah ada puasnya. Kita harus sering-sering lihat ke bawah supaya kita bisa bersyukur betapa nikmatnya hidup yang kita miliki saat ini. *jleb*

Sebelum Isya, gue sempatkan untuk mampir di rumah pak Oji, sekalian nengok bayi bu Oji yang berusia 6 bulan. Senang banget bisa bertemu mereka lagi. Ngobrol-ngobrol sebentar lalu gue pun kembali ke rumah pak ustadz untuk siap-siap pergi ke mushola untuk shalat Isya dan tarawih 23 rakaat di musholla. Yang mengesankan, pas bubaran shalat, selesai salam-salaman, ada cemilan yang dibagi-bagikan ke jamaah. Malam itu, ada bakwan, pisgor dan bolu kukus. Ada 1 anak perempuan yang dateng ke gue terus langsung nawarin bolu kukusnya. *terharu* Menurut bu Ratih, setiap malam, setelah selesai shalat tarawih, selalu ada cemilan yang dibagikan ke para jamaah. Kalau di mesjid-mesjid pada umumnya kan cemilan diberikan pada saat berbuka, nah kalau di Citalahab ini, diberikannya pas habis tarawih. Kelar tarawih, langsung pulang ke rumah dan ngobrol-ngobrol sama bu Ratih sebelum tidur, sementara pak ustadz itikaf di mushola. 

Sri udah tidur duluan
 Ada yang lucu lagi nih. Pas habis shalat, ada 1 anak yang ngikut mau tidur ama gue, si Sri, anaknya pak Oji. Asli buat gue terharu (lagi!). Sebelum tidur, gue sempatkan untuk ke luar rumah dan melihat langit. Wooowww, bintangnya banyak! Sesuatu yang sulit sekali didapatkan di langit Jakarta.

Keesokannya, kami sahur pukul 4 pagi dengan menu yang sama seperti waktu berbuka. Ada tambahan 1 menu, mi goreng. Selesai sahur, istirahat lagi sampai jam 6. Sebenarnya malaaaas sekali mau mandi, karena airnya dingiiiinn. Tapi berhubung kemarin sore sudah tidak mandi, jadi mau tidak mau memaksakan diri untuk mandi. Tidak mau membuang waktu, selesai mandi, langsung keluar dan berkeliling desa. Ternyata, jam 6.30 sudah ramai! Para orangtua yang bekerja sebagai pemetik teh sudah bersiap untuk pergi ke kebun, anak-anak laki sudah bermain bola di lapangan dan tempat penitipan anak sudah ramai dengan anak-anak kecil. Gak berapa lama ada Elsa, Sri dan Mia yang mengajak gue main ke lapangan. Mereka ngajak gue main bekel, tapi karena gue udah lama banget gak maen bekel, jadinya gue hanya sebagai penonton yang baik. Kelar maen bekel, mereka lari-larian dan diakhiri dengan maen gunungan. 

Bukunya tak tersusun rapi tanda dibaca :)

Rumah Ilmu Lebah Rimba Halimun
Pelajaran yang diberikan pak ustad

Selamat pagi!
Lapangan desa serbaguna
Ibu-ibu di tempat penitipan anak
Berhubung sudah mau jam 8, gue pun siap-siap untuk pulang. Gue sempatkan foto bersama adik-adik dulu di depan Rumah Ilmu, lalu pamit kepada pak Ustadz dan bu Ratih yang sudah mau gue repotin dan berbaik hati menampung gue. Gue juga pamitan ke ibu-ibu di tempat penitipan anak dan mereka minta gue untuk datang lagi secepatnya. Kelar berpamitan, gue pulang diantar Ipul naik motor ke kantor TNGHS dan kembali ke Jakarta.

Sungguh sebenarnya kurang sekali waktu yang gue habiskan di Citalahab, tapi walau singkat, sungguh bermakna. Banyak sekali pelajaran tentang kehidupan yang gue dapat dari kesederhanaan warga Citalahab. Mereka pastinya tidak tahu kalau kemarin itu gue berulang tahun, tapi berada di sana, di antara mereka, benar-benar suatu hadiah yang sungguh luar biasa. 

Bersama Mia, Sri dan Elsa :)

Mereka masih pakai kaos CTB


Share/Bookmark

Thursday, July 25

...awal mula..


Banyak sekali yang bertanya sama gue, gimana caranya untuk jadi penerjemah karena tampaknya meng
asyikkan sekali jadi seperti gue ini. Menurut mereka, pekerjaan ini bisa membuat gue bebas, liburan kapan saja, banyak uang, dan hal bagus lainnya. Karena alasan-alasan itulah, makanya gue menulis artikel ini supaya kalo ada yang nanya-nanya, lebih baik gue kasih tautan ini supaya bisa dibaca dengan cermat (dan berulang kali!).

Awal mula gue tertarik untuk menjadi penerjemah itu tahun 2005, ketika gue membaca satu artikel di Kompas hari Minggu tentang seorang ibu beranak 2 yang harus beralih profesi menjadi penerjemah karena ia terkena PHK dari kantornya saat badai krismon 1997 melanda. Gue sangat tertarik dan terinspirasi sama ibu itu karena dia bisa kerja di rumah. Gue memang gak pernah berambisi untuk jadi wanita karir. Buat gue, kerja itu yang penting dapet gaji, bisa nabung dan senang-senang. Dan sejak dulu, gue selalu bermimpi untuk  kerja dari rumah, bisa mengatur waktu sendiri. Makanya, setelah selesai membaca artikel itu, gue langsung b bertekad dan pasang target, kalo suatu saat nanti, gue harus jadi penerjemah seperti dia supaya bisa kerja di rumah.

Sejak saat itu, gue sibuk cari-cari informasi untuk kursus penerjemah. Kakak gue bilang kalo temannya ada yang kursus penerjemah hukum di gedung WTC. Gue pun dikasih nomor telepon dan pas gue hubungi untuk tanya-tanya harga, jeng jeeeenggg, harganya ampe jutaan! Wah, mana mampu gue! Saat itu gaji gue masih di bawah 10 juta dengan kebutuhan yang segabrek. Jadi, lupakanlah tempat kursus itu. Sayangnya saat itu gue belum dengar ada yang namanya LIB Atmajaya atau LIB UI, jadi gue gak tahu kalo mereka juga ngadain kursus penerjemahan. Akhirnya gue browsing dan nemu ada tempat kursus di PPFIB UI Salemba. Saat itu, gue langsung cari informasi kapan kursusnya dimulai. Gue kirim surel ke mereka, dan sekitar 1-2 minggu (iya, mereka emang lambat banget bales emailnya), mereka kasih informasi mengenai kelas penerjemahan yang tersedia. Singkat cerita, di paruh akhir tahun 2006 gue ikut kelas penerjemahan Indonesia - Inggris dengan jadwal 2x seminggu, sekelas sama orang-orang yang memang sudah berkutat di bidang penerjemahan cukup lama (dan beberapa masih komunikasi walo via fb), sementara gue gak tahu apa-apa, NOL! Iya sih, gue beberapa kali nerjemahin dokumen kabel diplomatik, jadi juru bahasa pelatihan karyawan, hal-hal yang bisa dijadikan modal (dan dimasukkan ke CV), tapi kalau dibandingkan teman-teman sekelas gue itu, ya belum ada apa-apanya lah.

Di akhir kelas, salah satu guru memberitahu bahwa ada mailing list khusus penerjemah, namanya Bahtera. Ibu guru tersebut memberitahu alamat milisnya, dan gerak cepat, gue langsung ngirim imel kosong untuk berlangganan milis ini di keesokan harinya. Moderator milis ini sangat sigap. Gue langsung dikirim imel balasan untuk ngisi data diri dan gak sampe sehari, gue sudah jadi anggota milis Bahtera. Saat itu, lalu lintas milis Bahtera belum seramai sekarang, anggotanya pun masih tidak begitu banyak walau sudah menembus angka 1,000. Milis ini benar-benar sangat berguna untuk mereka yang ingin atau sudah berkecimpung di industri penerjemahan. Kenapa? Karena banyak sekali ilmu yang didapat di sini (selain banyak iklan lowongan kerjanya). Ilmu mulai dari padanan kata baik bahasa Inggris ataupun Indonesia, CAT tools (ini bukan mesin penerjemah, tapi aplikasi/software yang dirancang khusus untuk memfasilitasi proses penerjemahan), tarif penerjemah (ini penting banget!), dan segala macam ilmu lainnya yang benar-benar berguna.

Pada masa itu, Bahtera aktif sekali mengadakan pertemuan, jadi setiap kali ada pertemuan, gue usahakan untuk datang dan bertatap muka dengan para anggota Bahtera lainnya. Gue bisa dibilang beruntung karena gue bisa langsung berkenalan dan akrab dengan para penerjemah yang menurut gue senior, bukan karena mereka lebih berumur dari gue, tapi karena pengalaman mereka yang jauh lebih banyak dari gue yang baru mulai mencoba masuk. Dari pertemuan-pertemuan informal itulah, gue mendapat ilmu yang tidak dibahas dalam forum diskusi milis. Pertemuan ini juga menjadi unsur penting, karena sebagai penerjemah, membangun jaringan antar penerjemah itu merupakan salah satu faktor yang mutlak harus ada (setidaknya mutlak untuk ukuran gue).

Dari milis ini jugalah gue mendapatkan pekerjaan pertama gue, yaitu menerjemahkan buku motivasi dalam berbisnis. Gue diberi tenggat waktu 3 bulan untuk mengerjakan buku setebal 300 halaman itu. Alhamdulillah, bisa gue kerjakan selama 2 bulan. Sewaktu menyerahkan hasilnya, gue sudah membayangkan akan melihat nama gue terpampang di buku terjemahan itu. Tapi tunggu punya tunggu, hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun, hingga saat ini, buku itu tidak pernah terlihat di satu toko buku pun, jadi hilanglah kesempatan untuk melihat nama gue di buku terjemahan. Tapi apakah gue kecewa? Gak juga sih, karena toh gue sudah dibayar, hehehee....

Setelah pekerjaan pertama itu, gue sangat disibukkan dengan pekerjaan kantoran gue, jadi praktis gue tidak melakukan apa-apa untuk profesi yang gue impikan ini, bahkan aktif di milis pun tidak. Hingga sampailah gue di awal 2010, ketika gue sudah mulai jenuh dengan pekerjaan dan keinginan untuk mewujudkan impian gue ini timbul kembali. Gue harus sudah mulai memikirkan langkah yang harus gue ambil dari sekarang, karena target gue adalah secepatnya keluar dari pekerjaan kantoran.

Dari teman-teman di Bahtera, gue mendapat info kalau untuk memasarkan diri terutama ke pasar luar negeri, gue harus "menjual diri" di portal penerjemah, salah duanya adalah Proz dan Translators Cafe .Gue ikuti saran mereka, tapi gue masih menjadi anggota yang tidak berbayar karena gue khawatir, kalo gue udah bayar keanggotaan, ternyata gue gak dapet klien dari sana. Gue bergabung di Proz dan Translator Cafe sambil lihat-lihat profil penerjemah lainnya juga informasi tentang agensi. Gue juga bertanya sama teman-teman penerjemah yang sudah lama bergabung di Proz mengenai seberapa besar kemungkinan mendapat pekerjaan kalau jadi anggota berbayar. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, gue pun memutuskan untuk jadi anggota berbayar. Dan Alhamdulillah, cukup banyak pekerjaan yang gue dapat dari Proz, bahkan ada beberapa yang menjadi klien tetap :)

Banyak keuntungan yang gue dapat dengan menjadi anggota berbayar. Keuntungan yang utama, gue bisa mengajukan penawaran lebih dulu dan gue bisa melihat direktori agensi. Jadi, tanpa berlama-lama, gue langsung kirim CV ke agensi-agensi yang gue lihat mempunyai bahasa Indonesia sebagai layanan mereka. Entah berapa CV yang sudah gue kirim, sampai sekarang pun gue juga masih suka ngirim CV. Ada yang langsung kasih jawaban, minta gue mengerjakan tes, minta data ina inu, setelah keterima ternyata gak ada proyek dari mereka ampe sekarang. Ada juga yang gue gagal di tesnya, ada yang cuma ngejawab pake auto-office reply dan bilang makasih sudah kirim CV. Tapi ada juga yang gak kasih jawaban sama sekali. Itu hal yang sudah sangat biasa gue alami. Pesan gue sih satu, namanya pelamar kerja, mau bidangnya apa pasti sama. Jadi, boleh saja berharap, tapi jangan terlalu besar harapannya, jadi pas ngalamin ditolak atau gak dapat jawaban sama sekali, jadinya gak misuh-misuh, hihihiiiii.... Oh ya, selama 3 tahun gue jadi anggota Proz, sudah cukup banyak pekerjaan yang gue dapat, dan ada beberapa klien yang sampai sekarang jadi klien tetap gue. Jadi, Alhamdu....lilah *ala ustadz Maulana*


Pake nama asli :)
Selain memasarkan diri ke luar negeri, gue juga memasarkan diri di dalam negeri. Waktu awal-awal, gue kan pengen banget jadi penerjemah buku. Kepengen banget rasanya ngeliat nama sendiri terpampang di salah satu buku yang dijual di toko buku ternama (mungkin ini obsesi karena buku pertama gak naik cetak). Jadilah gue berkeliaran di Gramedia, catat semua alamat surel dan alamat surat penerbit yang tertera di buku keluaran mereka lalu mengirim CV ke mereka. Selain ke penerbit, gue juga ngirim CV ke production house, film company, pembuat DVD, konsultan, TV juga majalah. Dari mana gue dapet ide untuk ngirim ke tempat-tempat itu? Ya dari pemikiran gue sendiri aja. Gue cuma mikir gini, kira-kira bidang atau industri apa sih yang memerlukan jasa terjemahan. Ya tempat-tempat itulah yang muncul di kepala gue. Waktu kirim CV melalui pos, cukup banyak CV yang mental dan balik ke rumah karena alamatnya tidak dikenal. Hahahaa, mungkin itu alamat abal-abal atau mereka sudah pindah ke tempat yang lebih baik atau mungkin perusahaan/agensinya sudah gulung tikar. Dari sekian puluh CV yang gue kirim di pasar domestik, ada 1 penerbit yang nelpon dan mau make jasa gue. Bukunya menarik, mengenai sejarah rempah, tapi selesai menerjemahkan buku itu, selesai pula keinginan gue menerjemahkan buku. Kenapa? Karena menerjemahkan buku benar-benar menguras waktu dan tenaga. Selain itu, dibandingkan dengan dokumen, tarifnya kecil. Jadi, walau buku itu naik cetak dan akhirnya gue bisa lihat nama gue terpampang di sana, tapi buku itu juga menjadi buku terakhir yang gue terjemahkan. Hahahaa, kapok bo!

Dari rekan-rekan penerjemah pulalah gue tahu, bahwa sebagai seorang penerjemah, apalagi di era teknologi seperti sekarang ini, keberadaan CAT Tool sangat diperlukan. Pilihan gue jatuh ke Trados karena dari berbagai perbincangan dengan mereka yang sudah lama berkecimpung di dunia ini, Trados banyak sekali digunakan oleh agensi. Untungnya pada saat itu ada penawaran membeli Trados secara berkelompok, sehingga harga Trados yang cukup menguras tabungan itu bisa agak lebih ringan (walo tetap aja mahal). Tapi, jangan ditanya seberapa besar fungsi CAT Tools ini buat pekerjaan gue. Pasti ada yang nanya, emangnya gak bisa dengan MS Office aja? Bisa aja, tapi bandingan kasarnya gini deh. Kalau pake MS Office, kapasitas gue menerjemahkan mungkin hanya maksimal 3.000 kata per hari, tapi dengan CAT Tools, kapasitas gue bisa dua kali lipat. Benar-benar memudahkan hidup gue banget!


Sebagian kamus andalan :)
Lalu, apakah dengan begitu, gue bisa dikatakan penerjemah andal? Tentunya tidak. Hingga saat ini, gue masih terus belajar untuk menjadi penerjemah. Gue bersyukur bahwa gue mengenal banyak orang yang membantu gue untuk meningkatkan dan mengembangkan diri sebagai penerjemah. Ada banyak hal yang gue petik dari perbincangan santai dengan para penerjemah senior bin andal. Tapi tiga hal inilah yang menurut gue paling penting. Pertama, seorang penerjemah itu harus suka membaca dan tahu perkembangan baik skala lokal, regional, nasional maupun dunia. Lebih baik lagi kalo buku bacaannya tentang seluk beluk penerjemahan, jadi bisa memperkaya dan mengembangkan diri sebagai penerjemah. Kedua, seorang penerjemah itu tidak boleh malas. Dalam artian begini, teknologi kan sudah canggih banget, jadi kalau ada kata yang seyogyanya memusingkan, bisa cari di Internet. Kalau emang udah mentok, ya bertanyalah. Kalau malas bertanya, akibatnya, hasil terjemahan akan jelek/tidak sesuai. Tapi bukan berarti jadi keseringan nanya, karena itu judulnya dikasih hati minta jantung. Ketiga, punya kamus! Memang sekarang banyak sekali kamus daring (dalam jaringan alias online) bertebaran di Internet, tapi kita kan gak bisa selamanya mengandalkan Internet, apalagi dengan Indonesia yang listriknya byar-pet. Bayangkan, dirimu lagi ada pekerjaan, terus kamus andalannya adalah kamus daring, tiba-tiba mati listrik. Apa mau nunggu sampe listriknya nyala dulu baru kerja supaya bisa dapat padanan katanya? Kalo gue sih jelas gak mau. Maka dari itu, tumpukan kamus gue cukup banyak. Ada yang saking tebelnya bisa dijadiin ganjelan pintu!


Selain hal-hal di atas, ada satu hal pokok yang harus dimiliki, restu Tuhan. Gue akui, gue bukan orang yang taat beragama, tapi gue yakin banget, kalau Tuhan itu sudah mengatur semuanya. Jadi, walau elo ngoyo banget pengen jadi penerjemah tapi itu bukan jalan elo, ya terimalah. Bukannya gak mau kasih semangat, tapi gue mengajarkan supaya bisa menerima kenyataan hidup. Gue sih seneng banget kalo ada temen-temen gue yang mau menjadi penerjemah karena sudah bukan masanya lagi diperbudak sama kantor dan jalanan yang makin menggila kemacetannya, tapi ya cukup pintar-pintarlah membaca pertanda dari Tuhan. Kalau memang sudah jalannya, semuanya akan berjalan lancar kok.

Semangat!

*kembali berkutat dengan dokumen*







Share/Bookmark

Thursday, May 9

..dunia khayal..

Kau datang
Menjemputku
Membawaku pergi

Di negeri khayal
Istana beruntai mega
Nyata tapi maya

Kita berdua
Tua bersama
Tanpa aral

Lalu aku terjaga
Tersadar
Menyisakan tangis


Share/Bookmark

Monday, April 29

..mati..

Rasa bisa mati
Bagai bunga mekar
Namun tak disiram
Layu

Kupu-kupu itu hilang
Tak lagi hinggap
Bermesraan dengan bunga
Mati

Cinta datang
Tumbuh
Berkembang
Lalu tiada


Share/Bookmark

Monday, April 15

..purnama..

Gulita
Merindukan cahaya
Kala bayang berkelebat
Laksana kilat

Menyeruak
Menusuk kalbu
Tanpa sosok
Tanpa jejak

Purnama
Satu berlalu
Tiga menunggu
Kelabu


Share/Bookmark

Sunday, April 14

..musik bisu..

Perlahan
Alunan musik mengencang
Dan  suara-suara itu hilang

Keramaian nan sunyi
Percakapan tanpa bunyi
Mereka semua makna

Mencoba
Dan terus mencoba
Lalu henti
Lenyap


Share/Bookmark