Wednesday, April 28

..kenangan tentang parahyangan..


Mengingat tahun 2009 merugi hingga 36M, PT. KAI memutuskan untuk memberhentikan jalur KA Parahyangan jurusan Jakarta – Bandung – Jakarta pada tanggal 27 April 2010 yang sudah beroperasi selama 39 tahun.

Simpati gue berikan kepada para masinis yang sudah bekerja menjalankan KA ini lebih dari 30 tahun. Bahkan menurut tweet yang gue baca di twitter, ada masinis yang menangis di stasiun Gambir hari Senin kemarin. Hiks…


KA Parahyangan, mau tidak mau membawa gue kembali ke masa kuliah di Bandung. KA ini merupakan transportasi andalan gue dan teman-teman satu kampus yang tidak memiliki mobil selama di Bandung dan juga enggan menggunakan travel car karena waktu yang ditempuh notabene lebih lama. Oh ya, jaman dahulu belum ada travel car seperti sekarang, adanya hanya 4848 dan armadanya sudah tua banget, jadi bisa terbayangkan betapa lambat jalannya mobil itu.


Banyak sekali kenangan yang mulai dari yang bersifat ketololan dan mengundang tawa, sampai ada juga yang menjengkelkan. Kalau mau ditulis satu per satu disini jelas tidak mungkin, jadi gue akan tulis sedikit dari beberapa yang gak akan bisa terlupakan.


1. Gue and my inner circle friends naek kelas bisnis tujuan Jakarta karena kita mau nonton JakJazz. Kita duduk di bagian tengah gerbong, kursi di balik supaya kita bisa duduk berhadapan dan bertukar cerita dengan mudah. Suatu saat, KA berhenti di suatu stasiun. Pasti tahu kan, kalau KA berhenti, suara orang-orang pasti akan terdengar lebih jelas. Maka dari itu, suara kita pun dikecilkan volumenya supaya tidak mengganggu orang lain. Namun ada beberapa perempuan yang lebih berumur dari kita yang duduk di dekat pintu gerbong yang tidak bisa memelankan suaranya sama sekali. Jadi, dari tempat duduk kita yang berjarak cukup jauh, suara mereka terdengar sangat nyaring dan memang cukup mengganggu. Bermula dari ide iseng yang terlontar untuk mendatangi mereka supaya mengecilkan volume suaranya, tak tahunya Chika benar-benar berdiri, mendatangi mereka dan dengan suaranya yang tegas, ia meminta mereka supaya memelankan suaranya karena sudah mengganggu ketenangan orang lain. You know what the rest of us did ? Kita menurunkan kepala, mengecilkan suara dan definitely, we were also shock of what she did. Nobody knew it was coming. Pfiuuuuuufh, untung aja dia gak disantap balik and kembali ke tempat duduk dengan utuh.


2. Jumat sore selepas kuliah, gue and teman-teman buru-buru ke stasiun untuk mengejar KA yang pergi jam 6 sore. Dari sekian banyak teman, hanya Sania yang duduk di kelas eksekutif. Tak lama setelah KA berjalan, salah satu teman kami, Beka pun berjalan-jalan ke kelas eksekutif. Niat awalnya untuk menyambangi Sania, tapi ternyata ada beberapa kursi kosong disana dan dia pun memutuskan untuk duduk sebentar sekadar mendinginkan badan. Mungkin karena keenakan, dia jadi ketiduran dan dibangunkan oleh petugas tiket KA. Dia lalu dikasih pilihan, mau membayar biaya tambahan atau kembali ke kelas bisnisnya. Dan hasilnya ? Dia kembali ke kelas bisnis ! Dengan muka merah padam karena malu, dia bercerita tentang kejadiannya. We all had a big laugh that nite :)


3. Gue, Iting, Beruang and gue lupa siapa 1 lagi personilnya, duduk berhadapan dari Jakarta menuju Bandung. Lagi asik-asiknya cerita di tengah perjalanan, mendadak dari jalur yang berlawanan, ada satu KA melintas kencang sekali. Tanpa diduga sama sekali, Beruang yang badannya besar dan duduknya tepat di sebelah jendela, melompat ke lorong gerbong dan kita semua hanya bisa bengong ngeliatin dia. Ternyata, dia pikir KA tadi mau menabrak KA kita. Huahahahahaaaaaa, imajinasinya terlalu tinggi :)


Yah, itulah sekelumit cerita dari atas KA Parahyangan. Walaupun sekarang sudah tidak beroperasi dan menjadi bagian sejarah PT KAI, namun kenangan-kenangan gue ataupun teman-teman lainnya pasti akan terus hidup.


Photo from tiket.com




Share/Bookmark

Thursday, April 22

..selamat ulang tahun, ibu..


Tidak ada pesta hingar bingar, hanya sepotong tiramisu cake dan tiupan pada korek api sebagai penanda ibu yang tengah berulang tahun ke-70 di pagi ini, sembari gue menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuknya. Ibu hanya bisa diam terpaku lalu meneteskan air mata, dan gue pun memeluknya erat.

Ibu, sosok dimana dulu waktu SMP & SMA sangat tidak gue sukai karena menurut gue waktu itu, dia sangat cerewet, penuh penghematan dan terlalu banyak aturan yang susah gue terima. Ketika gue kuliah di Bandung, gue benar-benar merasa merdeka, karena tidak ada lagi sosok ibu yang ingin tahu segalanya. Ketika gue lulus kuliah dan kembali ke Jakarta, gue masih belum bisa mendekatkan diri dengan ibu, tapi gue tertolong dengan kehadiran bapak. Terutama kalau sudah beradu mulut, bapaklah yang menjadi penengah kami berdua.


Ketika bapak harus meninggalkan kami untuk selama-lamanya dan gue harus hidup berdua sama ibu, mungkin itulah saat terberat bagi gue. Gue benar-benar harus membiasakan diri untuk hidup berdua dengannya tanpa ada bapak lagi yang jadi penengah. Sangat banyak adaptasi yang harus gue lakukan (dan mungkin ibu juga lakukan) hingga akhirnya gue mencapai titik dimana gue sudah merasa sangat sesak dan gue memutuskan untuk keluar rumah / kos (dengan baik-baik tapinya) supaya keadaan kembali tenang. Tapi itu bukan berarti gue memutuskan tali silaturahmi dengan ibu, karena sewaktu gue kos, gue masih pergi umroh bersamanya.


Dengan adanya keterpisahan jarak, gue memiliki banyak waktu untuk berusaha menyelami karakter dan sifat ibu, cara pandang beliau, keinginan yang dia miliki atas gue, segala ajarannya yang telah diberikan ke gue. Butuh waktu yang tidak sebentar, namun sedikit demi sedikit, gue mulai bisa memahami jalan pikirannya. Gue mulai bisa bertoleransi, meredam amarah dan mencoba sedikit bersabar ketika harus berhadapan dengannya. Memang semuanya membutuhkan proses yang cukup panjang, tapi gue bersyukur bahwa masa-masa "berat" itu telah terlewati dan sekarang, keinginan gue hanya satu, membahagiakan ibu selagi beliau masih ada.


Dulu sekali gue pernah bilang sama dia, kalau umurnya hanya sampai 72 tahun. Entah dengan alasan apa, gue bisa menyebut angka itu dan hingga saat ini, angka itulah yang gue percayai. Memang umur semuanya di tangan Tuhan, tapi kalau memang hanya sampai 72 tahun, berarti masih ada 2 tahun tersisa yang bisa gue lewatkan bersamanya. Maka dari itu, apapun yang gue lakukan selama ini, semuanya hanya untuk ibu. Sehingga bila waktunya tiba, gue sudah puas telah membahagiakan beliau.


Ibu, selamat ulang tahun ya... Semoga ibu selalu sehat, bahagia dan bangga atas aku. Maafin kalo aku sudah membuat ibu jengkel, sakit hati dan kecewa. Semoga ibu tahu, bahwa aku bangga punya seorang ibu kayak ibu. Mungkin ada kalanya ibu tidak menjadi ibu yang terbaik sedunia, tapi semua itu tidak ada artinya dibandingkan apa yang telah ibu lakukan selama ini buat aku.


Aku sayang sekali sama ibu...*peluk cium penuh haru*





Share/Bookmark

Saturday, April 17

..just me and my mom..

Setiap tahun, gue selalu berusaha meluangkan waktu untuk jalan-jalan berdua bersama ibu. Minimal satu kali dalam setahun gue berlibur bersamanya. Kegiatan ini sudah gue lakukan dari 7 tahun yang lalu, dan perjalanan pertama gue adalah umrah bersamanya. Dia sendiri sudah menunaikan ibadah haji dan 2x umrah, jadi waktu umrah sama gue itu, dia menjadi penuntun ibadah gue.


Setelah itu, mulailah gue berjalan-jalan menjelajah tempat-tempat wisata bersamanya. Setiap tempat yang kita datangi, pasti ada saja yang kesan yang tak terlupakan. Seperti waktu di Semarang, ketika kita mau pulang ke Jakarta naik kereta, seharian itu hujan walau gerimis. Nah, imbasnya, pas malam kita mau ke stasiun, jalanan itu banjir sampai selutut. Kita yang dah di jalan dengan mobil hotel terjebak kemacetan, dan mau gak mau mencari akal gimana caranya biar bisa nyampe stasiun, karena pak supir gak berani untuk maju terus menerjang banjir. Akhirnya, daripada telat gak bisa pulang ke Jakarta sama sekali, kita putusin untuk naek becak, karena itu adalah satu-satunya transportasi yang bisa jalan saat banjir. Jadi lagi hujan2x gitu, kita harus turun dari mobil, payungan bawa tas sambil ribet nyari becak. Untung aja ada 2 becak yang lewat, jadi langsung kita stop utk terus nganterin ke stasiun. Ada lagi waktu perjalanan dari Makassar ke Toraja naek pesawat. Pesawatnya itu kayak angkot, jadi mesti nunggu penuh dulu baru berangkat, sementara jadwal berangkanya sendiri jam 10 pagi. Akhirnya, setelah jam 10:30an dan yang kekumpul cuma 5 orang, "terpaksa"lah sang pilot menerbangkan pesawatnya. Lain lagi waktu kita ke Bromo, itu kita nyasarnya jauh banget. Thanks to pak supir yang sok tau, harusnya ke Bromo lewat Probolinggo, eh dia malah ambil Pasuruan. Jadi seharusnya kita udah leha-leha di hotel dari jam 5, baru jam 9 malem kita nyampe and langsung tewas.


Gue selalu excited untuk pergi bersama dia. Mulai dari cari kota yang akan dikunjungi, persiapan tiket pesawat, cari hotel, sewa mobil, sampe ke obyek wisata & kuliner yang harus dicoba. Namun diluar itu semua, gue excited untuk berlibur berdua dengan dia karena gue bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk dia yang kadang terlewati ketika di rumah, gue bisa bermanja-manja sama ibu tanpa khawatir diganggu oleh para keponakan yang ingin nempel sama neneknya, gue bisa bertukar cerita dan pengalaman hidup sama ibu, mulai dari kehidupan ibu semasa muda hingga pernikahannya dan gue yang akan bercerita tentang kerjaan, kegiatan gue, dan printilan-printilan lainnya.


Jalan-jalan berdua ibu adalah masa dimana gue bisa memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi sama ibu seiring berjalannya waktu. Mulai dari jumlah keriput, rambut yang sudah memutih, cara jalan yang melambat, cara makan hingga hal-hal kecil yang luput terpikirkan oleh gue ketika di Jakarta. Apalagi ketika menatap wajah ibu yang sudah terlelap lebih dulu, tanpa disengaja, pasti air mata menetes di pipi. 


Karena alasan-alasan itulah, gue selalu tidak sabar untuk berlibur berdua saja sama dia. Liburan terakhir yang gue lakukan adalah 2 minggu lalu, ketika gue mengajak ibu ke Solo & Dieng. Entah kenapa, gue merasa bahwa liburan kemarin adalah liburan yang terakhir gue lakukan sama ibu. Gue gak ngerti kenapa feeling gue kencang sekali mengatakan hal tersebut. Maka dari itu, liburan kemaren itu bener-bener gue nikmati 110%. Gue gak mau riya, tapi ini adalah liburan dimana ibu gak keluar uang sepeser pun, karena gue menganggap bahwa ini liburan yang terakhir kali berdua dengannya and gue pengen banget membuat dia bangga telah membesarkan gue. Walau gue tahu, uang tidak bisa menjadi tolak ukur kebahagiaan apalagi tolak ukur kasih sayang orang tua ke anak, tapi that's the least I could do.


Semoga saja feeling gue ini salah. Semoga aja, terakhir berdua itu artinya gue masih tetap akan bepergian lagi sama dia, tapi dalam keadaan lebih rame personil yang pergi. Gue gak mau mikir yang aneh-aneh, karena gue gak mau sedih. Semoga saja itu yang terjadi. Amin...





Share/Bookmark

Wednesday, April 14

..uang, uang dan uang..

UANG. Sesuatu yang semua orang ingin miliki, karena dengan uang "bisa" membeli segalanya. Uang bisa membuat orang gila, namun bisa juga membuat orang menderita. Dengan uang, tak sedikit yang merasa bahwa mereka bisa semena-mena dan menganggap orang lain lebih rendah. Apalagi mereka yang tadinya mulai dari bawah, lalu memiliki uang yang banyak dan bergelimangan harta dan menjadi orang kaya baru. Terkadang tingkah laku mereka benar-benar membuat kita harus mengurut dada.

Namun sebaliknya, ketiadaan uang juga mampu membuat orang berlaku seenaknya sendiri. Atas nama keterbatasan uang, mereka lebih baik meminta belas kasihan dan menengadahkan tangan karena itu jalan yang paling mudah mendapatkan uang.

Tentunya, banyak kejadian yang dekat dengan kita, yang semuanya bersumber dari uang. Salah satu contoh, antar teman berselisih dan bahkan bisa tidak berkomunikasi selamanya karena masalah uang (teman meminjam uang tapi ketika yang memberikan pinjaman menagih uangnya, si peminjam selalu menghindar dan memiliki seribu alasan untuk tidak mengembalikannya). Contoh lain, ada tetangga yang tadinya "biasa-biasa saja" menurut ukuran warga lainnya, lalu ketika anak-anaknya bekerja dan memperoleh penghasilan yang besar, si tetangga berubah perangai menjadi sombong, berbicara setinggi langit, merasa yang paling benar dan senang menghina, sementara warga lainnya tahu persis bagaimana keadaan dia dan keluarganya dahulu. Atau bagi mereka yang bekerja di perusahaan cukup besar, tak jarang menemui karyawan yang saling pamer barang "berkelas" hanya supaya mereka dianggap keren, kaya dan terpandang. Dan mungkin yang terparah, ada saudara kandung yang rela membunuh demi mendapatkan uang warisan. GILA !! Namun ada juga mereka yang sebenarnya punya uang, tapi selalu mengeluh tidak punya uang, entah karena alasan apa.

Kita memang harus memiliki uang, kalau bisa sedikit berlebih, supaya kita bisa menyisihkan sebagian dari uang tersebut untuk beramal. Dan yang terpenting, berapa pun yang kita miliki, harus kita syukuri. Sebuah contoh yang sederhana yaitu ketika kita menerima gaji. Reaksi umum sebagian besar orang adalah menganggap bahwa itu memang sudah sebuah kewajaran dari jerih payah yang telah kita keluarkan dalam bekerja, namun berapa banyak yang mensyukuri gaji atau uang yang kita peroleh tersebut ?

Ada pepatah jawa yang selalu diajarkan oleh ibu saya, yaitu banyak kurang, sedikit cukup. Kalau dijabarkan, semakin banyak uang yang kita miliki, semakin kita merasa kekurangan uang. Namun dengan sedikit uang yang kita miliki, kita akan merasa berkecukupan. Sebuah pepatah yang jika diucapkan dan diresapi artinya akan terasa kebenarannya.

Tidak seperti cerita yang memiliki banyak sisi, uang hanya memiliki dua sisi, yaitu jahat dan baik. Semuanya tergantung kita, bagaimana cara kita ingin mendapatkan uang, cara kita ketika telah mendapatkan uang dan cara kita menggunakan uang yang telah kita peroleh. Memang tidak ada orang lain yang bisa mengatur cara kita menjalani hidup, namun alangkah baiknya jika kita selalu mengingat bahwa uang bukanlah sesuatu yang membedakan manusia satu dengan lainnya, dan janganlah kita terlena karenanya.


Share/Bookmark

Thursday, April 8

..sisi lain melayat..

Setiap kali gue pergi melayat, baik itu saudara dekat atau jauh, tetangga, orang tua teman, atau bahkan teman sendiri, ada satu hal yang selalu gue lakukan selain membaca Yasin tepat di samping jasad, yaitu membuka kain yang menutupi muka almarhum/ah dan menatap wajahnya untuk yang terakhir kali.

Untuk sebagian orang, mereka tidak ingin melakukannya karena mungkin tidak tega atau bahkan takut. Tapi buat gue, itu menjadi suatu keharusan agar gue selalu ingat, bahwa akan tiba masanya buat gue mengalami hal yang sama.

Dengan menatap wajah mereka, selain sebagai penghormatan terakhir, juga membuka kembali kenangan-kenangan yang pernah terjadi antara gue dan almarhum/ah. Mungkin terlihat aneh, tapi gue menikmati saat-saat menatap mereka, karena gue bisa memperhatikan apakah mereka seperti tertidur pulas, meninggalkan dunia ini dengan tenang, terlihat lebih kurus, dan membandingkan keadaan mereka semasa hidup.

Entah sudah berapa banyak wajah yang gue tatap, dan sebagian besar memang seperti tertidur pulas, bahkan ada yang seperti tersenyum dalam tidur.

Setelah melakukan ritual itu, gue juga paling suka memperhatikan keadaan sekitar, melihat reaksi mereka yang ditinggalkan. Sebagian memang bereaksi selayaknya orang yang ditinggalkan, yaitu berada di samping jenazah, membaca Yasin dan menerima tamu yang datang. Tapi tak sedikit gue menemukan yang cukup diluar dari normal (menurut standar normal gue). Ada yang cuek, dalam artian ada jenazah di tengah ruangan, tapi tidak ada satupun yang membaca yasin, dan asik bergosip ria. Ada perdamaian keluarga, karena selama si anak hidup, orang tua almarhum bertengkar dan tidak berkomunikasi lisan. Ada yang meraung-raung histeris karena almarhum meninggal mendadak. Ada yang pakai diskusi antar keluarga besar menentukan adat apa yang mau dipakai waktu pemakaman.

Mungkin terdengar aneh, tapi gue suka pergi melayat. Dan mungkin yang lebih aneh lagi, gue lebih suka pergi melayat dibandingkan pergi ke hajatan yang penuh keriaan. Karena setiap gue kembali dari melayat, selalu ada pelajaran yang cukup berarti buat gue. Mulai dari keinginan tentang cara gue nanti akan meninggalkan dunia ini, tentang reaksi mereka yang gue tinggalkan, hingga yang terpenting, yaitu bagaimana kita menjalani hidup ini sebaik-baiknya hingga habis waktu kita di dunia.

Share/Bookmark