Saturday, June 21

..senyap..

Semilir angin pagi
Menyapa Jakarta nan dingin
Sedingin hati membatu

Beku
Ketiadaan rasa
Juga asa

Menanti siang
Menyambut petang
Memeluk malam

Dan hanya pekat malam
Pengisi sekat hampa
Tiada yang lain

Berhenti menatap
Matikan harap
Tumbuhkan gelap

Senyap...
Share/Bookmark

Thursday, June 19

..sendirian?..

"Sendirian aja, mbak?"
"Temennya mana?"
"Wow, sendirian dari Jakarta?"

"Kok gak ngajak temennya?"
"Emangnya gak capek & gak bosen nyetir sendirian gitu?"

Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk pertanyaan yang gue dapati dari setiap orang yang gue temui setiap harinya, mulai dari hari pertama hingga hari terakhir gue sampai di Jakarta. Negeri ini memang masih belum jamak menemui perempuan yang jalan sendirian, apalagi yang nyetir keliling Jawa sendirian. Sebagian besar orang menganggap, bahwa perempuan yang jalan sendirian itu kalo gak perempuan nekat, perempuan yang gak punya teman atau perempuan aneh, hahahaaaaa... Gue pribadi sih tidak pernah bosan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari mereka, tapi kalau gue lagi malas menjawab, mungkin gue hanya membalas dengan senyuman. Kalau lagi bersemangat, gue akan menjelaskan ke mereka dengan panjang lebar kenapa gue jalan sendiri dan tidak sama teman-teman.

Entah kenapa, gue sangat menikmati perjalanan gue ini walau sendirian. Gue tidak pernah merasakan adanya rasa sepi atau bosan. Lelah menyetir mungkin iya, karena wajar, gue seharian menyetir tanpa ada yang bisa menggantikan, tapi selebihnya, gue sangat menikmati waktu yang berjalan. Menyetel musik, menonton dvd, menikmati pemandangan alam di jalanan yang gue lewati, merokok sambil menyetir, memacu adrenalin dengan menyalip mulai dari motor, mobil ukuran biasa sampai truk peti kemas 20 kaki. Gue juga orang yang suka melakukan self-talking, dalam hal ini, kadang gue bicara sama Dumbo karena dia duduk di kursi depan atau ngobrol dengan Sang Pencipta layaknya Ia di hadapan gue. Apalagi, kalau gue pasang status atau mengunggah foto di akun facebook, pasti ada saja teman-teman yang mengirimkan komentarnya, dan di situlah gue berkomunikasi, mengobrol walau secara virtual. Gue merasa mereka menemani gue selama perjalanan ini. Gue juga mengobrol dengan ibu dan teman-teman dekat gue melalui whatsapp messenger, bercerita tentang kejadian yang gue alami di hari itu.

Ketika gue mengunjungi satu kota yang tidak ada teman seorang pun, gue masih bisa bertemu dengan banyak orang, mulai dari tukang becak, karyawan hotel, penjaga warung makan hingga pemandu wisata yang bisa gue ajak ngobrol. Tak jarang, gue malah jadi tempat curhat mereka walau cuma sesaat. Jadi jujur, ketika ditanya mengenai kesendirian, gue sama sekali tidak merasa kalau gue sendiri karena gue dikelilingi dan berinteraksi dengan banyak orang. Tidak ada satu hari pun gue yang bisu, tidak berbicara dengan satu orang sama sekali .

Kalau dipikir-pikir lagi, seandainya gue tidak melakukan negosiasi dengan ibu gue, bahwa gue hanya boleh pergi kalau ada teman yang bisa menemani, mungkin gue gak akan pernah pergi dan melakukan perjalanan ini. Ada sih yang ngasih saran, kenapa nggak ngajak teman walau temannya hanya bisa seminggu, jadi paling nggak punya teman selama di perjalanan untuk beberapa saat. Hmmm, memang itu sebenarnya bisa saja dilakukan, tapi selain gue gak kepikiran, ya perjalanan ini memang ingin gue lakukan sendirian, karena ini adalah perjalanan impian gue. Lagipula, belum tentu juga teman yang gue ajak itu sepaham dengan gue. Dalam artian begini, walau sudah berteman lama, tapi ketika liburan bersama, kadang akan keluar pribadi yang asli, bukan berarti selama ini pribadi yang ditampilkan itu pribadi palsu loh. Tapi kan, gue akan menghabiskan waktu 24 jam dalam sehari dengan teman gue, jadi setidaknya sepaham dengan jalan pikiran gue. Gue kadang bisa sangat cuek orangnya, tapi kadang kesabaran gue juga suka habis stoknya. Nah daripada timbul efek yang tidak diinginkan setelah jalan, gue lebih baik menghindari untuk mengajak sembarang teman. Gak gampang menemukan teman yang sepaham dalam konteks liburan.

Jadi kembali ke tema tulisan, gue sama sekali tidak merasa sendirian walau gue pergi sendiri. Mungkin ini yang dikatakan, alone but not lonely and I really enjoy it. Dan gue yakin, bahwa gue akan diingat oleh setiap orang yang bercakap-cakap dengan gue sebagai "perempuan Jakarta yang berkeliling Jawa sendirian".

Perbekalan selama di mobil :)





Share/Bookmark

..surganya sate sapi..

Jawa Tengah di pesisir Utara itu adalah surga bagi gue, karena daerah itu adalah surganya sate sapi! Iya, gue memang doyan banget makan sate sapi. Kenapa? Karena sejak gue kecil, bapak gue itu selalu mengajak gue untuk makan sate sapi. Dia gak pernah ngajak gue untuk jajan sate ayam, apalagi sate kambing. Trus, kalo di rumah buat sate, itupun sate sapi, bukan sate ayam. Jadiiii, buat teman-teman yang belum tahu gue, pasti bertanya-tanya, kenapa gue sangat suka sate sapi dan gak bosen makan sate sapi (mungkin yang bosen malah yang ngeliat postingan foto-foto sate sapi gue). Ya karena menurut gue, sate itu ya hanya sate sapi.

Makanya, karena seminggu pertama gue tahu akan gue habiskan di Jawa Tengah, sebisa mungkin gue mencari informasi mengenai warung yang jual sate sapi di kota-kota yang akan gue singgahi. Ada enam tempat yang gue sambangi untuk makan sate sapi, yaitu Pemalang (2 tempat), Pegandon (1 tempat), Ungaran (1 tempat), Blora (1 tempat) dan Surabaya (1 tempat). Di bawah ini adalah ulasan gue mengenai sate sapi yang gue makan, dengan nomor 1 sebagai sate yang kurang enak.

 1. Sate Klopo Ondomohen Ibu Asih, Surabaya
Entah kenapa sate ini sangat terkenal di Surabaya dan konon kabarnya kudu dicicipi kalau sudah sampai di Surabaya. Menuruti anjuran beberapa teman yang tahu gue suka sate sapi, gue datang ke rumah makan Ibu Asih bersama Lina, teman gue yang sedang menuntut ilmu di kota ini. Dari tampilan menurut gue sudah mengecewakan. Dagingnya tipis, bumbunya lebih banyak minyak daripada kacang sampai gue harus minta bumbu tambahan, lalu ketika digigit, rasanya aneh. Kalau dilihat dari pembuatannya, sate ini dibakar setengah matang, lalu dibalurin kelapa parut, kemudian dibakar hingga matang, makanya parutan kelapa itu menempel di daging. Berhubung udah memesan satu porsi dan sayang untuk dibuang, jadi mau tidak mau harus dihabiskan.

Skala 1-10, sate ini gue beri nilai 5. *maaf jahat*

2.  Sate Kelapa H. Warso
Sebenarnya, spesialisasi makanan dari rumah makan H. Warso ini nasi grombyang. Tapi setiap kali pengunjung memesan nasi grombyang, selalu disodori sepiring sate klopo ini. Pengunjung, dalam hal ini gue, tidak perlu menghabiskan sepuluh tusuk sate yang disuguhkan dalam 1 piring, karena yang dihitung adalah berapa banyak tusuk sate yang dimakan. Gue cuma makan satu tusuk dan rasanya masih jauh lebih mendingan daripada sate klopo Surabaya. Sate ini sangat kaya bumbu kelapa, jadi ketika digigit, itu parutan kelapa seperti memenuhi langit-langit mulut. Dagingnya empuk, tapi gue kurang suka rasa kelapa parutnya.

Skala 1-10, sate ini dapat nilai 6 :)

3. Sate Sapi Pak Kempleng 2, Ungaran
Sate ini terkenal sekali di Ungaran, saking ngetopnya, sampe buka cabang walo tetap berlokasi di Ungaran. Sebenarnya banyak warung makan yang jual sate sapi di daerah ini, tapi menurut rekomendasi teman yang suka mudik dan bapaknya penggemar sate sapi juga, tempat ini perlu dicoba. Berhubung dapurnya di belakang, jadi gue hanya menebak bahwa sepertinya ketika dibakar, sate ini sudah dibaluri kecap dan bumbu rempah terlebih dahulu. Dagingnya lembut, dan bumbu kacangnya kental, mungkin pakai kacang mete. Kalau tidak mau makan dengan bumbu kacangnya, makan satenya langsung juga sudah enak karena rasa sate ini sudah manis. Gue yang lidah Jawa suka sekali dengan rasa manisnya sate ini.

Skala 1-10, sate ini dapat nilai 8.


4. Sate Sapi Semeru, Blora
Dulu, setiap gue ke Blora, gue selalu diajak makan sate sapi Gajah yang letaknya di dekat alun-alun. Namun berhubung penjual sate sapi Gajah pertama sudah meninggal dan mewariskan ke anaknya, rasa pun berubah drastis. Oleh karena itulah, gue beralih ke sate sapi Semeru dan setiap gue ke Blora, gue pasti datang ke tempat ini. Dagingnya memang kecil-kecil, bumbu kacangnya pun standar, tapi yang membuat enak itu adalah teman wajib makan satenya, yaitu nasi berikut toge rebus, bawang goreng dan irisan daun bawang yang disajikan di daun jati yang wangi. Plus, minumnya pakai Kawista yang sudah sangat jarang ditemukan di kota Jakarta.

Skala 1-10, nilai sate ini 8.

5. Sate Bumbon Pak Azis, Pegandon
Sebenarnya, tujuan pertama gue ke Pegandon bukan ke sate bumbon pak Azis ini, tapi pak Rahman. Berbekal informasi dari internet, gue ke kecamatan Pegandon, mengikuti papan jalan menuju Pegandon, tapi setelah 30 km yang ditempuh dengan waktu hampir 1,5 jam karena jalanan yang sangat bergelombang di tengah sawah dan pemukiman penduduk yang tak kunjung berakhir, udah nanya orang tapi tetep gak ada yang tahu warung sate pak Rahman, puter balik pakai acara nyasar pula, dan tetep gak ketemu juga setelah melewati 3 kecamatan, akhirnya gue putuskan untuk langsung ke Semarang saja. Tapi entah gue agak kurang rela kalau perjalanan ini berakhir sia-sia, jadi gue nanya ke satu orang lagi, ada yang tahu warung sate bumbon apa nggak. Gue ditunjukin ke sate bumbon pak azis ini, katanya di pojokan jalan. Tapi berhubung udah laper banget dan lagi kesel ama Ganjar Pranowo, jadi gue gak nemu warung sate bumbon dan malah parkir di rumah makan sate kambing. Untung aja gue pake acara nanya dulu, apakah mereka jual sate bumbon, dan ternyata mereka menunjukkan warung kecil warna kuning muda di pojokan jalan. Pas gue nemu tempatnya, fiyuh, berasa lega dan langsung lapar. Emang gak sia-sia pencarian gue akan sate bumbon ini, karena sate sapi ini emang enak luar biasa. Pake bumbu kecap dan tomat merah, sate sapi ini harus dimakan dengan sayur kuah santan cair yang berisikan toge, lemak sapi dan tomat. Waktu dituangkan nasi ke piring, gue liat mereka nuanginnya banyak banget, jadilah gue minta untuk dikurangi setengah. Eh ternyata oh ternyata, nasi setengah itu habis dalam waktu hitungan 10 menit! Mau nambah lagi gue malu dong, jadilah gue cukup puas dengan semua yang dihidangkan tanpa sisa.

Sate ini gue berikan nilai 9 dari skala 1-10.

6. Sate Loso Pak No Putri di Jl. Urip Sumoharjo, Pemalang.

Gue datang ke tempat ini di hari kedua perjalanan gue. Gue sampai di Pemalang sekitar jam 12. Berhubung sudah masuk dzuhur, gue shalat dulu di Mesjid Agung yang ada di alun-alun. Setelah shalat, gue bertanya ke juru parkir mengenai warung sate ini. Ternyata warung sate ini ngetop dan terletak tidak jauh dari alun-alun, mungkin sekitar 200 meter saja. Warungnya terletak di pinggir jalan, tidak begitu besar, dan walau jam sudah menunjukkan waktu makan siang, tidak banyak orang yang datang makan di sini. Gue sudah lapar banget, tapi berhubung gue berencana untuk makan nasi setelah makan sate sapi ini, jadi ketika ditanyakan apakah gue mau makan pake nasi, ya gue jawab aja nggak. Gue pesan 1 porsi sate, dan gue kira isinya ada 10 tusuk, ternyata setelah keluar, isinya cuma 5 tusuk. Mungkin ada yang pernah baca postingan gue di fb, bahwa seumur-umur, gue gak pernah merasakan namanya food orgasm dan selalu menganggap orang-orang yang bisa sampe food orgasm itu sangat berlebihan. Tapi ya, ketika menggigit daging sate ini untuk pertama kalinya, astagaaaaaaaaa, untuk pertama kalinya dalam hidup, gue merasakan apa yang namanya food orgasm! Kelembutan dagingnya sangat pas, bumbu kacangnya yang tidak ditumbuk halus itu benar-benar membuat gue lupa diri dan menyesal, kenapa gue hanya memesan satu porsi dan kenapa gue mesan nasi! Tapi untuk minta sepiring nasi ke penjual sate agak-agak malu, karena gue udah bilang di awal bahwa gue masih mau makan nasi di tempat lain. Setusuk demi setusuk, gue sangat menikmati kelembutan daging berbalut saus kacang ini dengan muka sumringah dan geleng-geleng kepala, kok bisa ada yang buat sate seenak ini.

Buat gue, ini adalah sate sapi terenak yang pernah gue makan seumur hidup dan karena yang terenak, makanya nilai yang gue berikan adalah 10!

Siapapun yang punya rekomendasi tempat makan sate sapi yang enak, boleh dibagikan ke gue yaaa, dengan senang hati gue akan mencobanya :)

Share/Bookmark

..semesta berbunga..

Bahagia,
Ketika akhirnya sampai di titik ini
Tertawa ceria bersamamu
Lebih ringan, tanpa beban

Tak ada lagi air mata
Tak ada lagi sakit hati
Hanya bisa bernafas lega
Saat satu babak hidup telah usai

Terbanglah
Raih yang kamu inginkan
Yang kamu tak pernah dapatkan
Yang membuatmu bak di nirwana

Sampaikan salam untuk cinta
Untuk semesta yang berbunga
Katakan bahwa aku akan segera tiba
Menyusulmu bersamanya
Share/Bookmark

Friday, June 6

..keliling Jawa..


Peta sebagai pemandu jalan & Dumbo sebagai teman jalan
Pada tanggal 28 April 2014 lalu, gue memulai perjalanan keliling Jawa yang dimulai dari Pantura hingga Banyuwangi, berlanjut ke Blambangan kemudian menyusuri jalur selatan hingga kembali ke Jakarta. Perjalanan ini adalah salah satu hal yang gue impikan untuk lakukan sedari dulu. Berawal ketika bapak gue masih hidup dan yangyut putri gue masih hidup, setiap Lebaran, kami sekeluarga selalu mudik ke Blora dengan naik mobil. Gue lupa tahun berapa, tapi gue ingat, dulu ketika mobil bapak Suzuki Carry, bagian tengah mobil diangkat joknya, lalu kami menggelar tikar dan tidur-tiduran di bawah. Mudik ke Blora berakhir ketika yangyut putri gue diboyong ke Jakarta akhir 80an, tapi ingatan akan mudik dan keinginan untuk suatu saat bisa menyetir hingga ke Blora tidak pernah surut. Gue pengen banget bisa nyetirin bokap seperti kakak gue, Mbak Desy, lakukan waktu itu. Waktu berjalan, bokap meninggal, dan keinginan untuk nyetir ke Jawa pun sedikit meredup.

Sekitar tahun 2008, ketika film 3 hari untuk selamanya yang dibintangi Nicholas Saputra tayang di bioskop, gue dan pacar gue saat itu pun berencana untuk melakukan road trip hingga ke Malang. Nampaknya seru, tapi gue menanggapi biasa saja, karena saat itu gue masih bekerja kantoran dan kemungkinan untuk cuti panjang sepertinya tidak bisa. Ya memang, pacaran kandas, begitu pula dengan road trip. Pertengahan tahun 2011, ketika gue sudah mau mengundurkan diri dari pekerjaan kantoran, terjadi perbincangan via FB sama salah satu teman lelaki gue. Kami berdua berencana untuk road trip di akhir tahun 2011. Jadwal perjalanan selama 2 minggu sudah tersusun rapi, mobil sudah dimasukkan ke bengkel, dan tinggal 7 hari lagi berangkat, lalu dia menelepon kalau kemungkinan besar dia tidak bisa pergi karena harus ke Pontianak. Kesal dan kecewa sekali mendengarnya, karena gue sudah sangat tidak sabar untuk melakukan perjalanan ini. Tapi ya gue juga tidak bisa memaksa teman gue untuk mengubah jadwalnya. Di pertengahan 2012, teman gue ini akhirnya jadi pacar (hahahaaaaa...) dan sekali lagi, kami merencanakan untuk road trip di awal Desember. Cuma karena dia sendiri kurang serius untuk rencana road trip ini, dan gue sibuk mengurus persiapan untuk program pendidikan yang gue pegang di Lebah, jadi sekali lagi, road trip gagal diwujudkan. Tahun 2013, sewaktu gue berlibur di Amerika, gue berniat untuk mewujudkan perjalanan keliling Jawa ini sendirian. Tadinya, gue pengen jalan pas puasa, tapi kayaknya gak seru banget, masak perjalanan pas puasa, kurang bisa maksimal wisata kulinernya. Lalu gue mundurkan ke November, tapi pikir-pikir, bulan itu sudah masuk musim hujan. Gue paling malas nyetir saat hujan, selain jalannya lebih lambat, gue kesal liat wiper yang bekerja membersihkan kaca depan, ganggu titik fokus. Awal tahun 2014, gue masih mencari bulan yang baik untuk road trip dan akhirnya gue putuskan untuk pergi di bulan Mei karena di bulan itu gue nggak ada jadwal liburan sama sekali, kemungkinan besar sudah nggak ada hujan dan gue berasumsi bahwa jalanan masih lebih baik strukturnya daripada setelah lebaran. Bulan April, gue pun bilang ke ibu, tapi ibu membalas bahwa gue harus cari teman untuk menemani selama perjalanan. Negosiasi yang cukup alot dengan ibu, namun pada akhirnya beliau mengiyakan gue pergi sendirian karena gue bilang ke ibu, bahwa tidak akan ada orang yang bisa pergi menemani selama 5 minggu penuh (ibu tahu bahwa hubungan gue sudah kandas dengan pacar), sementara keinginan gue untuk melakukan perjalanan ini sudah tak bisa terbendung lagi.

Persiapan untuk road trip ini gue lakukan praktis hanya seminggu sebelum berangkat, karena jujur, di bulan April itu, gue masih ada jadwal liburan ke sana kemari. Jadi sekembalinya dari Flores, gue langsung memanfaatkan hari yang ada untuk ke bengkel, beli buku dan cemilan untuk dibagikan ke anak-anak kecil yang gue temui sepanjang perjalanan (gue anti memberikan uang ke anak usia sekolah dasar, jadi gue menggantinya dengan memberikan buku dan cemilan), beli kotak pendingin, makanan, minuman, segala macam yang menurut gue akan diperlukan selama perjalanan nanti. Packing baju saja baru dilakukan dua hari sebelum berangkat karena gue masih ada proyek terjemahan. Gue berencana untuk pergi selama 35 hari, tapi gue sama sekali nggak punya waktu untuk merencanakan tempat yang akan gue tuju. Gue hanya punya gambaran tempat yang akan gue tuju di 4 hari pertama, hari-hari berikutnya ya urusan nanti.

Tanggal 28 April itu pun tiba. Perasaan gue campur aduk. This is the moment that I've been waiting for and it's finally here! Selama hampir 5 minggu, gue berkendara keliling Jawa, dari satu kota ke kota lain. Menyetir dari pagi hingga sore (terkadang malam hari), menikmati pemandangan yang tidak akan bisa didapatkan di Jabodetabek (apalagi Jakarta!), mengamati orang-orang yang melintas, mencari warung yang menjual makanan khas kota yang sedang gue singgahi, menjalin pembicaraan dengan orang-orang yang gue temui, mengunjungi tempat-tempat wisata, menikmati jalannya waktu tanpa terbersit rasa kebosanan sedikit pun.

Gue sangat berterima kasih karena cukup banyak teman yang merekomendasikan tempat yang patut dikunjungi baik melalui whatsapp atau facebook. Cukup banyak teman yang mau gue repoti dan menampung gue sewaktu gue singgah di kota mereka. Gue bersyukur memiliki banyak teman yang perhatian sama gue, yang mendoakan agar gue selamat selama di perjalanan.

Ketika perjalanan harus berakhir lebih cepat 2 hari karena Timun, kelinci gue yang sudah sekarat, ada kesedihan karena harus meninggalkan aktivitas rutin yang sudah dijalani selama 33 hari ini. Sedih karena untuk sementara waktu harus menyudahi perasaan excitement yang timbul setiap mau mendatangi tempat baru, struktur jalanan seperti apa yang akan dilalui, pemandangan seperti apa yang akan ditemui, dan berada di balik kemudi mobil lalu menyalip-nyalip kendaraan di depan. Tapi di satu sisi, gue amat puas karena akhirnya bisa mewujudkan keinginan yang sudah cukup lama bertengger di pikiran dan hati. Perjalanan spiritual ini benar-benar sesuai dengan apa yang gue harapkan. Gue merasa diri gue menjadi semakin kaya, pengalaman hidup menjadi semakin bertambah, dan Sang Pencipta semakin enak untuk diajak bercakap-cakap.

Suatu hari nanti, gue akan melakukan perjalanan ini kembali. Menelusuri jejak yang tertinggal, menemui mereka yang pernah singgah, menghidupkan kembali apa yang pernah mati. Perjalanan ini akan terus diingat sepanjang hayat.

Keadaan mobil selama 33 hari :)

Share/Bookmark