Friday, July 4

..ketika harus memilih..

Sejak Pemilu Presiden tahun 2009, gue sudah memutuskan untuk tidak mau lagi ikutan yang namanya Pemilu Presiden. Apalagi terbukti bahwa dalam 5 tahun ini, pemerintah Indonesia bukannya membawa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik, malah menuju kemunduran. Banyak sekali insiden-insiden yang sempat membuat gue berpikir, karena di saat yang hampir bersamaan banyak sekali iklan Prabowo membawa bendera HTI muncul di TV, bahwa negeri ini seharusnya dipimpin oleh militer yang keras, jadi kalau ada yang membangkang, langsung saja dikeluarkan perintah penculikan atau yah, mentok-mentok diadakan lagi yang namanya Petrus alias penembak misterius. Jadi kalo macem-macem, tinggal terima nasib untuk siap ditembak :)

Mulai awal tahun 2013, pencarian sosok calon Presiden yang bisa memimpin Indonesia pun dimulai. Sejauh ini, tidak ada sosok lain yang bisa memimpin Indonesia selain Prabowo. Habis siapa lagi? Nama-nama yang muncul ke permukaan itu nama-nama yang sudah terlalu usang. Waktu terus berjalan hingga akhirnya pada 14 Maret 2014, ketika gue sedang maen di rumah temen gue dan menonton tayangan di TV bahwa Jokowi mencalonkan diri jadi Presiden. Mau tahu reaksi gue? Kecewa. Gini, gue bukannya tidak tahu siapa Jokowi. Gue tahu Jokowi dan sepak terjangnya sejak dia jadi Walikota Solo periode pertama, sejak dia dimuat di majalah Tempo 2008 dan masuk sebagai 10 walikota muda terbaik se-Indonesia. Gue baca berita dia di Kompas tentang revitalisasi pasar dan relokasi PKL. Sedikit banyak, gue yang gak tahu politik ini baca berita tentang dia dari dulu, bukan baru 1-2 tahun saja. Waktu dia maju jadi Pilgub DK1 aja gue kurang bisa terima. Bukan apa-apa sih. Tapi warga Jakarta, yang menurut gue adalah gambaran mayoritas rakyat Indonesia, mulutnya itu sangat silet. Warga Jakarta itu warga yang sangat arogan dan merasa paling benar di seluruh nusantara ini. Gue hanya takut, kalau Jokowi menang dan menduduki jabatan Gubernur Jakarta, ketika ada kebijakan atau tindakan yang tidak sreg dengan diri warga Jakarta, itu menghinanya bisa sehina-hinanya hina. Walau akhirnya gue tetap memilih Jokowi sbg Gubernur, tapi apa yang gue bayangkan terjadi. Terbukti dengan banjir 2013, baru menjabat 3 bulan, tapi Jokowi sudah ditanya kenapa masih banjir juga. Daaaan, yang menghina Jokowi itu bukan hanya warga Jakarta, tapi orang-orang yang tidak tinggal di Jakarta, kayak warga Depok, Tangerang, Bekasi yang notabene "numpang" cari nafkah di Jakarta, tapi berasa yang punya Jakarta.

Kembali ke pendeklarasian Jokowi bulan Maret itu, gue kecewa karena gue pengen dia membereskan Jakarta dulu. Nantilah, tunjukkan dulu kemampuannya sebagai DK1 di 5 tahun ini bersama Ahok, baru kalau sudah teruji, dia bisa maju sbg Capres di Pemilu 2019 bersama Ahok sebagai Cawapresnya. Gue apatis, semakin yakin bahwa pilihan golput adalah yang terbaik, tapi bukan berarti gue tidak mengikuti perkembangan berita di Indonesia.

Suasana hangat saat pencarian cawapres untuk kedua capres juga gue ikuti. Ketika akhirnya Prabowo memilih Hatta dan Jokowi memilih JK, gue hanya mikir, ini kok cawapresnya gak ada yang beres. Maksudnya gini, Hatta itu asli buruk banget kinerjanya, bahkan menurut gue dia gak kerja apa-apa selama menjabat sebagai menteri. Ada berapa posisi menteri yang udah dia jabat? Empat. Apa prestasinya? Hmmm, selain banyak kecelakaan transportasi waktu dia menjabat jadi Menhub dan berhasil membuat anaknya mendapat hukuman yang sangat sedikit, gak ada prestasinya sama sekali. JK? Well, walo sama-sama berdarah Bugis, tapi bukan berarti gue suka ama bapak ini. Waktu dia menjadi Wapres, berapa kali dia bersitegang dengan SBY karena dia ambil keputusan tanpa kompromi terlebih dulu. Dia juga yang menyarankan adanya UN yang membuat para siswa stres dan tak jarang bunuh diri. Dia hanya bagus setelah menjabat sebagai Ketua PMI, terutama geraknya yang cepat sekali membantu para korban bencana.

Menurut gue, hal bagus dari adanya dua kandidat ini yaitu Indonesia bisa menghemat banyak uang! Dan menghematnya itu bisa trilyunan, walo gue gak tahu berapa jumlah pastinya. Hal bagus lainnya? Mmmm... Gue sama sekali gak peduli dengan Pilpres, bahkan belum masuk masa kampanye, sudah banyak sekali isu dan fitnah yang beredar, daaaaaan teman-teman gue di FB ini banyak sekali yang kemakan berita itu dengan menyebarkanluaskannya di akun mereka. Hasilnya? Mereka gue unfollow (oh my gosh, I'm so thankful with this button!) supaya gak muncul di newsfeed FB gue. Asli capek bacanyah, dan yang gue gak habis pikir, yang ngelakuin tuh teman-teman yang menurut gue pendidikan formal & agamanya tinggi! Duoooh, kalo udah ngehina orang, itu asli lebih rendah dari taik babi. Elo tau kan betapa haramnya babi di agama gue? Nah, ini taiknya! Asli rendah banget dan berasa paling benar sebumi dan akhirat. Plus, hasutan dan teori konspirasi yang mereka buat itu canggihnya minta ampun. Gue suka berkomentar di status mereka, bukan untuk memancing emosi, tapi sekadar ingin tahu, sebenarnya mereka tahu nggak sih apa yang mereka omongin. Tapi hampir 95% dari mereka itu tidak tahu, dan kalau sudah diberitahu itu yang ada defensif. Debat kusir! Mendingan gue cari kusir dokar beneran trus keliling kota. Unbelievable!

Sampai akhirnya gue terlibat satu perbincangan dengan teman SMA gue yang tinggal di Australia, yang membuat gue akhirnya mencari visi dan misi kedua kandidat mengenai pariwisata dan kebudayaan di Indonesia. Visi-misi dari Jokowi-JK sebanyak 42 halaman dan visi-misi dari Prabowo-Hatta sebanyak 9 halaman itupun gue baca. OK, visi dan misi memang buatan orang (lah ya iya, masak buatan binatang?), jadi kata teman gue yang lain, bisa saja nanti pada praktiknya tidak dilakukan. Tapi setidaknya, visi-misi jadi pembuka mata gue mengenai apa yang akan dilakukan kedua kandidat ini bila terpilih menjabat posisi RI-1 dan RI-2.

Inilah ulasan singkat gue mengenai perbandingan visi-misi Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK:
1. Dari jumlah halaman, sudah jelas menggambarkan seberapa seriusnya kedua kandidat ini mengurus negara. Memang, 1.000 halaman pun tidak akan cukup, tapi 42 banding 9 sudah cukup memberi poin.
2. Di lima halaman pertama, Jokowi-JK menguraikan kronologis dan analisis SWOT. Jadi pembaca awam yang membaca visi-misi ini mengerti, ke arah mana Indonesia ini akan dibawa dan apa alasannya.
3. Prabowo-Hatta hanya mempunyai 3 misi yang general dan global, Jokowi-JK memiliki 7 misi yang menyentuh semua aspek dalam kerangka besar
4. Prabowo-Hatta memiliki 8 agenda yang terdiri dari program-program yang menurut gue terlalu makro dan di awang-awang. Jokowi-JK memiliki 9 agenda prioritas (bahkan mereka punya nama untuk agenda ini, sebutannya Nawa Cita) yang diuraikan secara mendetail.

Karena kepedulian gue adalah di bidang pendidikan, pariwisata dan pluralisme (Bhinneka Tunggal Ika), maka dengan antusias gue membaca poin-poin ini dari kedua kandidat. Hasilnya?
1. Prabowo-Hatta masih memasukkan UN, sementara Jokowi-JK akan menghapusnya
2. Kedua kandidat akan memasukkan pendidikan budi pekerti dan kebangsaan.
3. Prabowo-Hatta tidak terlalu mendalam ketika membahas Bhinneka Tunggal Ika, sementara Jokowi-JK , selain memberi penekanan terhadap Bhinneka Tunggal Ika dengan 5 prioritas utama, cukup banyak membahas isu ini di dalam visi-misinya
4. Prabowo-Hatta hanya menyebutkan "melestarikan warisan seni budaya sebagai kekuatan dan pemersatau bangsa" di bidang pariwisata, sementara Jokowi-JK memiliki suatu komitmen pembangunan karakter dan pembangunan pariwisata yang terdiri dari 3 poin.

Ok, tampaknya kandidat capres no. 2 (oh ya, Prabowo-Hatta adalah pasangan dengan nomor urut 1, sementara Jokowi-JK nomor urut 2) memenangkan hati gue untuk visi-misinya terutama pada poin yang jadi kepedulian gue. Sejak membaca visi-misi ini, gue mulai mengikuti perkembangan dan mencari tahu tentang kedua kandidat ini dengan lebih mendetail. Tak jarang, gue posting berita tentang pilpres ini hanya untuk melihat reaksi dari teman-teman gue yg menjadi pendukung kedua capres. Surprisingly (atau memang as expected), pendukung capres yang no. 1 memang lebih "keras" dan cenderung debat kusir.

Akhirnya pada satu titik, sekitar pertengahan Juni, ketika gue mendapat tautan video Anies Baswedan, orang yang memang gue ketahui sangat pintar dalam menyampaikan pesan melalui pidatonya tanpa berapi-api, menggugah rasa kebangsaan gue dan membuat gue menitikkan air mata. Video itu membuat gue berpikir ulang akan pilihan gue untuk tetap tidak memilih, seperti yang gue ucapkan selama ini. Video ini membuat gue memikirkan tentang masa depan Indonesia.

Gue gak mau negeri yang sangat gue cintai ini mengalami kemunduran. Gue gak mau, tulisan Bhinneka Tunggal Ika di lambang negara, Garuda Pancasila, hanyalah sebatas hiasan tanpa makna. Gue harus turun tangan untuk membawa Indonesia ke perubahan yang lebih baik. Hanya ada dua pilihan kandidat, capres no. urut 1, Prabowo-Hatta atau no. urut 2, Jokowi-JK, dan pilihan golput tidak ada di sana.

Ada beberapa pertimbangan gue untuk menentukan pilihan dan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo bukan salah satunya, karena secara logika, kalau memang dia bermasalah, kenapa bisa dijadikan Cawapres untuk Megawati tahun 2009. Gue juga tidak melihat penampilan para kandidat. Kalau melihat penampilan, gue pasti orang pertama yang akan malu punya Presiden seperti Gus Dur yang gak bisa melihat. Tapi gue suka Gus Dur, dan menikmati semua pidatonya. Memang, tahun 1999 itu belum ada Pilpres langsung, tapi sekali lagi, penampilan bukan jadi bahan pertimbangan. Kalo memang jadi pertimbangan, gue akan pilih Wiranto tahun 2009 lalu.

Gue melihat pendukung di kedua kandidat. Gue melihat ada Aburizal Bakrie yang tidak bertanggung jawab dengan nasib para korban Lapindo, gue melihat ada PKS di sana, partai Islam yang seharusnya menjadi panutan tetapi malah mencetak koruptor kelas kakap (iya, menurut sebagian orang yang partisan PKS, LHI dijebak). Gue juga melihat ada FPI di belakang Prabowo, ormas garis keras yang "membela" Islam (padahal Islam sudah tidak perlu dibela), yang ingin menegakkan UU syariah di negeri yang umat Islamnya "hanya" mayoritas dan mengabaikan pemeluk agama lainnya, yang mengutamakan kekerasan, seenaknya memberi cap "kafir" ke orang yang berseberangan paham dengan mereka dan aparat kepolisian pun tunduk dengan mereka. Gue melihat ada partai yang diketuai Suryadharma Ali di sana, tersangka koruptor penyelenggaraan haji. Gue melihat banyak orang-orang yang memiliki agenda tersembunyi apabila Prabowo-Hatta terpilih. Gue melihat adanya koalisi yang tidak sehat, yang transaksional. Gue baru melihat tayangan Debat Capres saat masuk ke sesi ketiga, melihat tayangan debat-debat lainnya di TV yang melibatkan dua kubu, dan ya, tampak jelas karakter para pendukung kedua kandidat. Gue yakin, akan ada komentar bahwa pendukung Jokowi-JK itu kaum zionis, JIL, LGBT. Okelah mereka menjadi pendukung Jokowi-JK, tapi apakah mereka melakukan kejahatan meraup uang rakyat hingga bermilyar-milyar? Apakah mereka melakukan tindak kekerasan terhadap mereka yang berseberangan paham? Gue hanya melihat berdasarkan data secara sederhana. Tidak akan ada partai yang bersih, karena konon kabarnya, politik itu kotor. Namun berdasarkan temuan ICW, 9 dari 11 daftar partai terkorup berada di belakang Prabowo-Hatta.

Mungkin Prabowo jujur dan tegas, karakter yang dibanggakan pendukungnya, tetapi yang gue lihat, dia berjarak. Entah memang citra tersebut yang dibuat oleh timsesnya, atau memang itu karakter pribadi, gue sama sekali gak tahu. Yang jelas, setiap kali melihat potongan tayangan kampanye dia di daerah-daerah, gue hanya melihat bahwa ada jarak antara penguasa dan rakyat, jarak yang tidak akan bisa dihilangkan. Sementara rakyat membutuhkan pemimpin yang bisa dekat dengan mereka, yang tak berjarak.

Seperti yang sudah pernah gue tulis di status FB gue, gue tidak mau negeri ini kembali ke masa Orde Baru, ketika kebebasan berpendapat diberangus, ketika penguasa adalah raja yang harus didengar dan bila bertentangan maka akibatnya akan fatal, ketika banyak pencekalan di sana sini bahkan menyentuh bidang ekonomi kreatif (baca: seni), dan semua ini secara tersirat diucapkan oleh Prabowo sendiri dalam Dialog Budaya di TIM dan dikutip oleh banyak media.

Dari kedua pilihan, yang ternyata kalau menggunakan kata hati itu sangat mudah, pilihan gue jatuh ke Jokowi-JK. Ya, gue pilih Jokowi-JK lengkap dengan segala konsekuensi yang ada. Kenapa? Karena gue ingin Indonesia berubah ke arah kemajuan, bukan kemunduran. Gue sangat tahu, mereka berdua hanya manusia biasa yang kodratnya adalah melakukan kesalahan. Kalau Rasulullah Muhammad SAW saja pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya, masak gue, yang manusia biasa sama kayak Jokowi-JK mengharapkan mereka berdua sempurna? Segala sesuatu memerlukan proses, namun gue yakin, proses yang berjalan paling tidak akan sama seperti ia menjabat sebagai Walikota atau Gubernur, yaitu proses yang melibatkan semua warga, proses menuju perubahan yang lebih baik.

Gue memilih Jokowi bukan karena gue berdarah Jawa, bukan karena dia mendapatkan banyak fitnah lalu gue jatuh simpati, bukan karena mukanya ndeso, bukan karena banyak artis yang milih dia, tapi gue melihat bahwa rekam jejaknya lebih bersih dari Prabowo, sudah teruji di Solo dan kerja kerasnya (yang menurut sebagian besar orang yang tidak mendukungnya adalah pencitraan) sudah menelurkan hasil, tidak ada jarak antara dia dan rakyat yang dipimpinnya kelak, dan foto tanggal 24 Juni 2014 di Monas lalu menjadi bukti betapa dia tidak memiliki jarak dengan rakyatnya, it's the people's power!

Gue memilih dengan logika, tidak terhasut dengan segala macam fitnah, isu agama apalagi menelan mentah-mentah fatwa haram yang dikeluarkan oleh badan agama. Namun yang jelas, gue melihat, mana yang bisa membawa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik. Gue ingin negeri ini tetap utuh, melaksanakan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Ya, semua orang Indonesia menginginkan pemimpin yang tegas, yang bukan hanya prihatin ketika ada masalah. Tetapi tegas tidak harus berlatar belakang militer. Tegas itu merupakan suatu sikap. Dari ketegasan, akan muncul keseganan, bukan ketakutan.

Tulisan ini gue buat bukan untuk memengaruhi siapapun, bukan pula untuk menimbulkan perdebatan, karena memilih adalah hak setiap orang, bahkan memilih untuk tidak memilih pun merupakan hak setiap warga. Gue hanya ingin mengutip apa yang diucapkan Boni Hargens beberapa waktu lalu, "Anda tahu kalau mau kembali ke masa lalu pilih siapa. Anda tahu kalau mau melangkah ke depan pilih siapa. Ruh demokrasi inilah yang penting. Ini bukan hanya persoalan pencoblosan 9 Juli. Pilihlah figur yang terbaik, yang bisa membuat negara Indonesia ini aman." Dan untuk yang memilih golput, jadilah golput yang benar, coblos secara adil dan merata, tapi ingatlah, "BAD politicians are elected by GOOD people who do not vote."

- untuk Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika -
Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment