Wednesday, July 25

..pintar atau rajin?..

Gue adalah anak ke-3, dari 3 bersaudara. Kakak gue yang pertama pinter banget, yang kedua rajin banget. Waktu SMA dan ada pembagian jurusan, gue memilih jurusan dengan cara simpel. Kakak gue yang 1 kan masuk A1 (Fisika), yang kedua masuk A2 (Biologi) ya gue karena anak ke-3, jadi masuk A3 (Sosial). Lagipula, walau gue keterima di A2 dan gue suka sekali dengan kimia, gue gak mau buang-buang waktu gue untuk ngapalin nama latin flora & fauna di dunia ini. 

Sejak SMP, gue sudah tahu gue mau kuliah di mana, Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (d/h NHI). Gue mau kerja di industri pariwisata, jadi pemandu wisata. Alasannya sederhana, karena gue ingin menjelajahi Indonesia. Waktu kelas 3 SMA, semua teman sibuk ikut bimbingan belajar sana sini, ada yang bahkan sampai ngambil 2 kursus bimbel demi diterima di universitas negeri. Gue? 1-2 minggu pertama rajin, abis itu males ikut kelasnya dan bulan ke-2 bilang ke ibu gue untuk berenti daripada buang-buang uang karena gue sama sekali gak minat masuk universitas negeri dan mendapatkan gelar sarjana. Pas lulus SMA, gue disuruh bokap ikut UMPTN, tapi gue berusaha sebisa mungkin untuk tidak ikut karena gue udah tahu, bahwa universitas negeri & menjadi sarjana itu bukan gue banget. Mendingan uang UMPTN dikasih ke gue untuk beli sesuatu yang lebih bermanfaat. Tapi bokap memaksa, dan alhasil, selama 2 hari UMPTN, gue mengerjakan semua ujian dalam waktu 30 menit lalu selebihnya gue tidur di kelas sembari menanti bel ujian tiba. Guru pengawasnya hanya bisa geleng-geleng liat gue. Mungkin dia pikir, ini anak gila, secara yang lain berebut masuk ke universitas, tapi gue sama sekali gak tertarik.

Singkat cerita, gue lulus kuliah dari STP Bandung tapi gak kerja di industri pariwisata karena ketika lulus, Indonesia lagi kena angin reformasi dan dunia sedang dilanda krisis global. Jadi industri pariwisata & perhotelan anjlok total. Maka gue dan banyak teman gue yang lulus tahun itu harus memutar otak dan pindah haluan kerja.

Gue sempet kerja di US Embassy, Nokia Networks & Ericsson Indonesia sebelum gue memutuskan untuk jadi penerjemah. Yang lucu, semua posisi pekerjaan gue itu memiliki persyaratan, bahwa orang itu harus lulusan S-1. Yang gawat malah untuk posisi gue di Ericsson. Orang yang menempati posisi itu harus lulusan S2 dan memiliki background teknis, dan gue gak punya dua persyaratan itu. Terutama untuk dua perusahaan terakhir, saat gue mau mengundurkan diri, gue selalu ditahan sama mereka karena mereka gak bisa menemukan orang lain. Mereka udah ketergantungan ama gue, seorang anak jurusan sosial di SMA, lulusan D4 perhotelan tapi kerja di telekomunikasi yang posisinya itu mensyaratkan seseorang dengan lulusan S2. Ahahahaaayyyy.... Lucu banget kan?

Gue sering banget dilecehin sama orang-orang karena gue ngambil jurusan A3 di SMA. Setiap kali gue jawab gue anak Sosial (A3), jawaban mereka sama, "Pantes!" atau, "Gue dong anak A1" dengan nada agak melecehkan dan membanggakan diri sendi. Reaksi gue ke orang-orang itu selalu sama, "Terus emang kenapa kalo gue anak Sosial?" Mereka diam, gak bisa jawab selain, "Ya udah ketauan aja.." Huh? Aneh!

Mungkin gue aneh, karena gue gak pernah mau sekolah tinggi-tinggi, punya gelar ampe lebih panjang dari nama sendiri. Buat gue, hidup itu sederhana aja. Sekolah yang wajib ampe SMA, terus kembangin cita-cita sesuai dengan jalur pendidikannya, setelah itu cari uang yang banyak dan menikmati hidup dengan liburan sepuas-punsnya. Gak perlu capek-capek bergelar sarjana karena titel sarjana gak membuat gue berpenghasilan tinggi. Negeri ini udah terlalu banyak sarjana, lulusan mulai dari universitas terkenal sampe sekolah ecek-ecek. Saking banyaknya itu sarjana sementara lowongan pekerjaan rendah, mereka nerusin sekolah lagi ke S2. Ujung-ujungnya, mereka lulus dari kuliah dan pas masuk ke dunia perkantoran, mereka bingung, gak bisa adaptasi dan lebih pintar lulusan SMA dari mereka. Jadi untuk apa punya gelar sarjana?

Ibu gue suka bingung dengan pikiran-pikiran gue yang menurut dia suka nyleneh. Di keluarga, mungkin gue satu-satunya yang gak peduli dengan gelar. Kakak gue yang pertama memang lulusan D3, tapi dia sempat masuk FISIP UI (walo cuma 1 semester) dan sekarang agak menyesal kenapa dia lebih memilih LPK Tar-Q daripada UI-nya saat itu. Kakak gue yang kedua S1 Perbanas, bapak gue S1 dari STAN, ibu gue Apoteker lulusan UGM. Jadi menurut gue, sudah cukup 1 anak saja yang memiliki gelar, gak perlu semuanya. Di keluarga ini juga, gue satu-satunya yang mutusin untuk gak jadi pekerja kantoran (walo ibu gue sempat khawatir karena dalam darah turunannya, gak pernah ada yang bukan pekerja kantoran). Tapi gue yakinkan ke ibu, bahwa untuk mendapatkan penghasilan itu gak melulu dari kantor, dan ia menyerahkan semuanya ke gue

Gue pernah iseng, nanya ke ibu gue, sebenernya gue masuk kategori mana, pintar atau rajin? Ibu gue pun gak bisa menjawab selain, "Kamu itu emang beda sendiri.." dan kita berdua ketawa-ketawa tanpa ingin menggali lebih dalam. Free Userbars

Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment