Friday, August 3

..Jumat, 3 Agustus 2012 / 15 Ramadan 1433 H..

Kata orang, sedih itu jangan berlama-lama... Kata orang, semua yang terjadi itu pasti ada hikmahnya... Kata orang, kita harus mengikhlaskan segala kehilangan... Pagi ini, gue kehilangan bu Warso untuk selama-lamanya.

Malam Jumat, selepas tarawih dan saat gue melewati gang rumahnya, sudah tercium semilir bau melati. Tetapi gue tidak mau menganggap itu sebagai pertanda. Sesampai di rumah, kicau burung kematian yang saling bersahutan sangat ramai di samping rumah, juga masih tidak mau gue anggap sebagai pertanda. Bertukar berita dengan mbak Desy nun jauh di sana, dan dia bilang kalau nasi yang baru dimasak tadi pagi, tau-tau berair. Setelah tanda yang ketiga ini, gue tidak bisa tenang dan tertidur dengan air mata.

Jumat pagi ini, sesaat setelah gue bangun dan Subuh, tanpa ba bi bu, gue dan mbak Prita langsung ke rumah mak Wo yang cuma berjarak 50 meter, gag berapa lama disusul sama ibu. Waktu sampai kamarnya, bu Warso lagi dimandiin sama mas Atok dengan tisu basah. Badannya sudah sangat lemas dan nafasnya sudah sangat pendek, tinggal di kerongkongan. Segera gue mengambil kursi kecil dan gue genggam tangannya erat. Jangan tanya perasaan gue, karena setelah gue melihat warna kaki dan kupingnya yang sudah kuning pucat, lalu tangan dan badannya yang sangat dingin, dengan berat hati gue meminta pada Tuhan semoga Dia melancarkan jalan mak Wo. Berhubung gue belum mandi waktu gue pergi ke rumah mak Wo, jadi gue pamit pulang sebentar untuk mandi dan nyapu rumah. Gue pamit ke dia kalau gue hanya pergi sebentar dan akan segera kembali. Gue genggam tangannya, gue minta maaf atas segala kesalahan yang gue perbuat dan tak lupa gue ucapkan Laa Ilaha Illallah di kupingnya. Tangannya makin menggenggam gue dengan erat. Berat rasanya untuk pulang ke rumah walau sebentar. Akhirnya gue pulang ke rumah dan mbak Prita pamit mau ke kantor.

Baru 5-10 menit gue sampai rumah, ibu yang menemani 'pulangnya' mak Wo, datang ke rumah dengan membawa berita kalau mak Wo sudah meninggal. Mendadak gue gak bisa mikir. Gue gak panik, tapi pikiran gue hilang dalam beberapa saat. Segera gue berganti baju dan langsung kembali menuju rumah mak Wo.

Ibu dan Bu Warso tgl 4 Juli
And there she was.. Dibaringkan di atas kasur di ruang tamunya, terbujur kaku diselimuti kain batik coklat dan wajahnya ditutupi selendang putih tipis. I broke down... Langsung teringat semua kenangan tentang dia. Gue inget banget waktu hari Senin pagi sebelum gue ke Singapura, dengan suara yang sangat serak, ia masih tanya gue mau ngapain gue ke Singapura. Kondisinya sudah lemas sekali, dia pun sudah tidak pakai baju karena saking kepanasannya. Badannya cuma ditutupi sarung dan kain batik. Gue masih sempat mijetin kakinya, bantuin ibu makein pampers karena mak Wo mau buang air kecil. Ketika gue pamitan pun, dia masih bisa melambaikan tangannya walau lemas. Gue bilang ke dia untuk nungguin gue sampe gue pulang, dan gue janji ama dia mau beliin dia kipas tangan sebagai oleh-oleh dari Singapura, supaya kalo dia kepanasan, dia bisa pake kipas gue. Tadi pagi pun, waktu gue ke rumahnya, kipas yang gue belikan ada di sebelahnya.

Mak Wo dikubur setelah shalat Jumat di TPU Tanah Kusir, satu liang sama pak Warso yang sudah pulang duluan tahun 1994. Alhamdulillah jalanan lancar, jadi tidak perlu sampai ambil jalur orang lain dan menzalimi pengguna jalan lainnya. Cuaca terik sekali, tetapi setelah jasadnya masuk liang kubur, cuaca langsung sejuk dan langit pun berubah warna menjadi abu-abu. Ini mungkin pertanda bahwa kepulangan mak Wo memang sudah dinanti oleh alam kubur dengan suka cita. Sampai dia dikubur di Tanah Kusir saja, gue, ibu dan mbak Prita belum bisa percaya kalau mak Wo sudah tiada. Terutama ibu, yang seumur-umur, baru kali itu gue lihat dia menangis seperti itu. Ibu dan mak Wo sudah seperti kakak dan adik. Setiap hari mereka selalu di rumah, bertukar cerita, berjanji untuk saling merawat dan saling ingin meninggal duluan supaya yang ditinggalkan bisa merawat yang sudah pulang. Seharian ini, beberapa kali gue dapati tatapan ibu yang kosong. Seperti mimpi bagi kami.

Sesaat sebelum tahlilan tadi, kami bertiga baru tahu bahwa mak Wo sudah membuat 50 buku Yasin awal Juni kemarin. Dia sudah punya firasat kalau akan meninggalkan dunia ini, dan dia tidak mau menyusahkan orang lain. Jadi tadi waktu tahlilan, buku yasin yang dipakai ya buku yasin ini.

Semua hari adalah hari baik. Tetapi konon kata, orang yang meninggal hari Jumat adalah orang-orang pilihan. Dan orang yang meninggal hari Jumat di bulan Ramadhan, akan langsung masuk surga. Insya Allah, mak Wo diterima di sisi-Nya dan mendapatkan tempat terbaik di sana.

Amin ya rabbal alamin. Salam untuk bapakku di sana ya, mak. Maafin aku sekali lagi kalau aku suka gangguin mak Wo karena aku sudah menganggap mak Wo bagian dari keluarga ini, seperti ibuku sendiri. Kami semua ikhlas karena memang ini yang terbaik yang diberikan Allah untuk mak Wo. Kami gak akan pernah melupakan mak Wo. Gak akan pernah...

*mengingat jasa baikmu, mengingat segala kenangan tentangmu dan mengingat genggaman erat terakhirmu*



Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment