Sunday, January 1

..selamat jalan, kakak..

Tahun 2011 ini, 1N3B mengadakan kegiatan tahunannya yaitu Bagi Buku, Bagi Ilmu, Bagi Anak Negeri di desa Sungai Lisai, Bengkulu.

Kegiatan yang hampir saja tidak jadi dilaksanakan mengingat persiapan yang sangat singkat dengan target buku yang cukup fantastis, yaitu 1000 buku dalam waktu 1 bulan. Belum lagi menentukan lokasi yang sempat terkatung-katung, antara Bojonegoro dan Bengkulu. Tetapi syukur Alhamdulillah, dalam waktu sekitar 1 bulan itu, semua target bisa dicapai dan 1N3B bisa memberikan 1004 buku ke Sungai Lisai.

Desa yang kami tuju termasuk dalam wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat dan membutuhkan perjuangan yang cukup berarti. Kami (Gue, Ferry, ibu Sita, Abah, Gethuk, Handy & Undix) berangkat dari Jakarta hari Jumat, 25 November dengan pesawat paling pagi. Sesampainya di sana, kami dijemput bang CT & Susan yang sudah sampai di Bengkulu dari tanggal 23 Nov. Setelah sarapan, kami langsung ke gudang penyimpanan sementara barang-barang yang harus dibawa ke Lisai. Sekitar jam 12 siang, 1 mobil logistik berpenumpang Handy & Undix pergi duluan ke Lisai, sementara 2 mobil lainnya masih menunggu bapak pemilik mobil yang ingin ikut kita. Akhirnya sekitar 12.30, kami jalan ke Lisai.

Tidak banyak yang bisa diceritakan selama di perjalanan selain jalanan yang berliku-liku dan pantat panas sementara perut lapar karena sudah lewat jam makan siang. Sekitar jam 3, sampai di Unit 4 untuk makan siang dan istirahat sebentar. Sekitar 30 menit, kami melanjutkan perjalanan. Kurang lebih jam 6 sore, kami mampir di rumah pak Camat Seblat untuk silaturahmi singkat (well, 1 jam sih) lalu melanjutkan perjalanan ke Seblat Ulu supaya tidak kemalaman di jalan.

Awalnya, perjalanan menuju Seblat Ulu ini tidak menemui masalah berarti, apalagi malam itu banyak sekali bintang bertaburan di langit. Tetapi setelah 1 jam dan jalanan beraspal sudah habis, struktur jalanan pun berganti menjadi bebatuan. Berhubung kami, para perempuan + bang CT naik Avanza yang bukan mobil dengan dobel gardan, naik turunnya jalanan membuat para penumpang di dalam juga ikutan naik turun (baca: sport jantung!). Kalau bukan mas Asep yang nyetir, sudah dipastikan kami akan terguling. Well, itu aja hampir 2x mobilnya keplintir.

Berhubung jalanan makin rusak, dan pak Kades Seblat Ulu juga sudah menjemput kami di suatu desa terakhir, akhirnya kami pun berhenti dan berganti mobil. Dengan penuh kekhawatiran, kami melepas mas Asep pulang (dan jam sudah menunjukkan pukul 10 malam). Perjalanan kami ke Seblat Ulu pun dilanjutkan. Menurut para penjemput, kampungnya sudah dekat. Well, bisa bernafas lega sedikitlah. Tapi apa daya, baru saja mendudukkan pantat di mobil, ternyata kami harus turun lagi karena mobilnya slip! Hahahaaa, cakep banget emang tuh jalanan.. Sekitar 10 menit menunggu, akhirnya mobil bisa juga keluar dari tanah liat.

Sampai di Seblat Ulu, kami disediakan tempat bermalam di rumah pak Kades. Unload personal stuffs, buat makan malam (bu Sita, minta teman2x untuk bayar facialnya yaaaaa) trus last briefing untuk besok, then sekitar jam 12 malam, we were off to bed.

Jam 6 pagi di keesokan hari, kami mulai beberes untuk berangkat. Setelah sarapan, serah terima buku-buku ke SDN Seblat Ulu ke Kepsek dan pamitan ke pak Kades, kami berangkat pukul 8 pagi. Dari 9 orang, hanya Undix yang tidak jalan pagi itu, karena ia harus menunggu porter-porter dari Lisai datang menjemput sisa barang-barang, sementara sebagian barang-barang lainnya sudah dibawa oleh porter dari Seblat.

Berbekal informasi mengenai medan yang akan kami tempuh, kami sudah membekali diri dengan sepatu khusus, yaitu sepatu pak tani buatan Taiyoko. Bahannya dari karet ban, sangat lentur dan sangat cocok untuk medan berlumpur & berawa. Tapi karena kebesaran, akhirnya sepatu itu gue ikat dengan tali rafia.

Udara sangat cerah, dan memang itu yang kami harapkan. Baru 5 menit berjalan, ternyata kami sudah dihadapkan dengan 1 sungai yang cukup lebar. Gue pikir gue bisa jalan sendiri, ternyata arusnya cukup kencang dan membuat gue terjatuh dan terantuk batu cukup besar. Untung ada pak Doni, porter muda yang dengan sigapnya meraih lengan gue dan menggandeng gue sampai ke seberang. Sepertinya, sungai besar itu cukup membuat gue kaget. Perjalanan langsung dilanjutkan tanpa henti, well paling2x untuk minum sebentar dan mengatur nafas lalu jalan terus sampai akhirnya menemui sungai besar kedua. Naaaaaah, kelebaran sungai ini sebenarnya masih lebih sempit dibanding yang pertama. Tapi dalamnya? Oh jangan tanya, lebih dalam dari yang 1 dan arusnya lebih kencang. Untungnya gue didampingi dan digandeng sama pak Doni, jadi gue bisa sampai ke seberang dengan selamat.

Perjalanan dimulai


Sungai kedua
Sekitar 10 menit istirahat, Uwak, porter paling tua dengan cacat tapi masih fit banget itu menyuruh kami untuk segera bergerak karena menurutnya, hujan biasanya turun pukul 2 siang dan kami semua harus bergegas agar tidak kehujanan di jalan. Medan selama perjalanan juga tidak ada bedanya, naik turun, jalanan berawa, lumpur, sawah, benar-benar melelahkan sekali.

30 menit terakhir, gue sebenarnya sudah hampir tidak kuat lagi, karena urat di lutut kanan gue sepertinya ketarik dan gue udah mau memutuskan untuk berhenti aja. Tapi akhirnya, tampak juga desa Sungai Lisai yang berada di bawah kaki gunung dan perasaan gue langsung adeeeeeemm banget! Gila! Gue seperti menemukan satu peradaban yang sangat berbeda. Perasaan yang gak bisa diungkapkan kata-kata. Unbelievable!

Desa Sungai Lisai

Setelah naro tas, gue dan Ferry langsung ngabur ke sungai untuk merendam kaki yang perlu disegarkan kembali dan air sungai yang dingin itu memang sangat menyegarkan. Kita diberi tempat beristirahat di rumah Bp. Herman, Sekretaris Desa Sungai Lisai. Setelah selesai merendam kaki, gue kembali ke rumah pak Sekdes dan istirahat sebentar sembari menunggu nyawa kembali menyatu ke badan.

Sore sekitar jam 5, gue dan Susan mandi di sungai and tell you the truth, that was my first experience mandi di sungai. Seriously! Gue seperti orang yang kampungan gitu. Gak pengen cepet-cepet selesai mandi, pengennya berendam aja terus di situ, hihihiiiiiii...

Ketika malam tiba, kami belum bisa beristirahat karena kami harus melakukan briefing singkat untuk pelaksanaan kegiatan esok hari serta mempersiapkan goodie bag untuk dibagikan ke 70 anak. Ternyata masih banyak isi goodie bag yang belum datang dan diprediksikan akan sampai di Lisai siang hari. Because of that, we were planning for plan B yang intinya, jangan sampai mengecewakan anak-anak itu.

Tanggal 27 November 2011. This is it! This is the day! Setelah makan pagi, kami langsung menuju SDN 06 Pinang Belapis, pusat kegiatan hari itu yang tempatnya hanya berjarak 5 menit jalan kaki dari rumah pak Sekdes. Di sana, anak-anak sudah ramai bermain di lapangan sekolah. Permainan sederhana yang rasa-rasanya sudah hampir tidak pernah dimainkan oleh anak-anak SD di Jakarta.

Pukul 8.30 pagi, kegiatan dimulai dan dibuka dengan serentetan sambutan dan doa. Setelah itu, dilakukan pembagian kaos lalu ibu Sita dengan sigapnya memandu ice breaking games melalui berbagai permainan yang tampaknya sederhana tapi membawa sebongkah keceriaan dan kegembiraan yang semuanya tergambar di raut wajah mereka.

Menyanyikan lagu Indonesia Raya


Ice Breaking Game

Setelah ice breaking, anak-anak diberi waktu untuk rehat sejenak dan dibagikan sebungkus snack pagi berisi biskuit dan minuman kemasan. Setelah itu, anak-anak kelas 1 & 2 SD dibawa ke satu kelas untuk lomba mewarnai, sementara kelas 3 - 6 mengikuti science edugames. Ada 5 permainan, air mancur (dipandu gue), baterai kentang (dipandu mas Undix), simulasi gempa bumi (dipandu mas Gethuk), telepon kaleng (dipandu Susan) dan kamera obscura (dipandu Ferry). Selain itu, ada juga permainan roket air dan satu permainan yang gue lupa namanya :)

Permainan Baterai Kentang dan Air Mancur

Tanpa banyak jeda, jam 11 siang, anak-anak dibawa ke depan Rumba dan ibu Sita kembali memandu mereka dengan permainan harta karun. Permainan ini juga semacam pengenalan ke mereka akan Rumba, karena jawaban dari permainan itu ada semua di buku yang terdapat di Rumba. Guru & murid bersinergi, adu cepat dengan kelompok lain untuk mencari jawaban. Permainan ini cukup menguras otak, dan melihat betapa semangatnya mereka untuk memecahkan misteri harta karun itu merupakan sesuatu hal yang sangat menarik.

Sinergi guru dan murid di permainan harta karun

Kurang lebih 1 jam permainan ini berlangsung, dan dilanjut dengan pembagian makan siang untuk seluruh anak-anak. Setelah itu, sebelum mengumumkan pemenang harta karun, masih ada 1 permainan lagi yang diberikan, yaitu membuat yel-yel. Sekitar 15 menit mereka mencari inspirasi untuk memberikan yel-yel yang terbaik untuk kelompoknya.

Mari makaaann...


Perlombaan yel-yel

Tepat sebelum pengumuman pemenang harta karun dan yel-yel, pak Kades datang. Setelah pak Kades, baru dilakukan acara serah terima buku secara simbolis dari ketua Rumba yang diwakili oleh Susan ke pak Kades. Lalu diumumkan pemenang harta karun, yel-yel, pemberian tas sekolah secara simbolis dari 1N3B yang diwakili Ferry ke dua murid SD Lisai. Acara terakhir sebelum penutupan adalah peresmian pembukaan Rumah Baca Lisai.

Penyerahan tas sekolah secara simbolis


Penyerahan buku ke pak Kades secara simbolis

Peresmian Rumba Sungai Lisai

Tetapi acara tidak selesai di siang itu. Berhubung masih ada tas yang belum sampai ke Lisai, dan dijadwalkan datang pukul 3 sore, maka plan B kami adalah membagikan tas di sore hari, ketika ibu Sita memandu pelajaran bahasa Inggris singkat ke anak-anak.Dari jam 1, kami semua berdoa supaya tas segera sampai dan tidak lebih dari jam 3, karena kami sudah menjanjikan untuk memberikan pada anak-anak di sore hari.


Jam 4 sore, kami semua kembali ke lapangan, tapi kali ini bukan lapangan SD melainkan lapangan voli yang biasa dipakai ibu-ibu di sana untuk bermain voli. Selain mengajari bahasa Inggris secara singkat, kami juga meluncurkan permainan roket air yang sangat menarik minat bukan hanya anak-anak, tetapi seluruh warga di sana. Berhubung hari sudah semakin gelap dan masih ada kegiatan menonton film bersama, kami memutuskan untuk menyudahi rangkaian kegiatan di sore hari dan berfoto bersama di lapangan SD. Saat itu sudah menunjukkan pukul 17.30.
Permainan dalam bahasa Inggris
 
Percobaan roket air
Pukul 7 malam, kami bersiap melakukan kegiatan terakhir yang sudah berlangsung sejak pagi, yaitu menonton film bersama. Film yang kami putar malam itu adalah Laskar Pelangi. Acara ini hampir saja tidak dilaksanakan mengingat tidak ada yang bisa mengusahakan proyektor hingga hari keberangkatan kami. Tetapi untungnya, pak Sekdes punya TV yang cukup besar dan DVD player, sehingga TV dan DVD itulah yang kami bawa ke Balai Desa untuk menonton film. Ternyata animo warga cukup besar, karena yang menonton bukan hanya anak-anak, melainkan sebagian besar warga. Sungguh luar biasa! Sebelum memulai acara menonton, ibu Sita kembali memandu anak-anak dengan permainan singkat dan lalu dilanjut dengan pembagian tas ke seluruh anak-anak.

Menonton film bareng

Gue tidak mengikuti kegiatan sampai habis, karena masih harus packing untuk kembali ke Seblat Ulu besok pagi. Dan oh ya, malam itu hujan. Gue sepertinya malaaaaaaas banget membayangkan betapa beceknya jalanan besok. Asli! Mau doa agar hujannya berenti aja kayaknya sia-sia, karena hujan sudah turun dari jam 8 malam dan menurut prediksi warga sana, hujannya bisa sampai pagi. Hadeuuuh... Bener-bener gak mau mikirin gimana jalan kakinya, udah capek duluan. Jadi mendingan packing terus langsung tidur.

The next morning, it's our last day in Lisai! Udara cukup mendung, tapi kami semua berharap bahwa udara akan berangsur cerah selama kami dalam perjalanan. Setelah beres-beres, kami diajak ke rumah pak Kades untuk makan pagi. Sekitar pukul 8.30, kami kembali ke rumah pak Sekdes untuk last check dan ready to leave. Kami mampir dulu ke Rumba untuk foto-foto terakhir dan memberi saran dimana sebaiknya memasang papan nama Rumba.

Setelah itu, kami baru jalan pulang daaaan, diluar dugaan kami semua, anak-anak SD Lisai sudah siap berbaris dan memberikan ucapan perpisahan pada kami semua. Kami semua berbaris di depan, mendengarkan mereka bernyanyi dan membaca puisi yang sungguh membuat kami terhenyak dan menangis. Sungguh membuat gue berpikir, bahwa yang gue lakukan itu belum ada apa-apanya. Gue amat sangat ingin membantu mereka lebih dari yang gue lakukan sekarang ini. Tetapi di satu sisi, membuat gue menjadi yakin bahwa kepergian gue ke Lisai ini tidak sia-sia.


Dengan berat hati, kami harus pulang dan meninggalkan mereka. Perjalanan pulang kali ini lebih santai, mungkin karena sudah tahu medan yang akan dilalui. Kami sangat menikmati perjalanan ini. Menyempatkan diri untuk foto-foto dan istirahat di tiap anak sungai. Bisa memilih jalur mana yang akan dilewati (walo agak capek karena harus lompat kiri dan kanan). But I did enjoy it!

Tadinya, kami berencana untuk makan siang di dekat sungai 1, tetapi ternyata hujan turun dan kami harus bergegas melanjutkan perjalanan. Salah 1 porter memberitahu bahwa kami akan istirahat makan siang di salah satu rumah kerabatnya dan letaknya tidak jauh dari sungai. Sekitar 5-10 menit, kami sampai di rumah yang dimaksud. Rumah panggung kecil yang untungnya bisa menampung sekitar 15 tamu untuk makan siang. Segala perbekalan dikeluarkan dan nikmat sekali makan siangnya. Andaikan tidak turun hujan, mungkin kami akan berlama-lama di sana karena suasana dan pemandangannya sangat menyenangkan.

Jam 1, kami melanjutkan perjalanan dan berhubung kecepatan jalan masing-masing orang berbeda, gue dan Ferry akhirnya berpisah dengan yang lainnya. Di depan sudah tak terlihat, sementara di belakang pun masih jauh. Hampir nyasar karena jejak kaki mudah terhapus oleh air dan lumpur, tetapi untungnya Ferry masih bisa mengingat rute-rute yang dilalui waktu pergi (and I'm totally lost!).

Akhirnya kami menemukan sungai kedua, yang tandanya, jarak kami ke rumah pak Kades tinggal 5 menit lagi. Setelah menyeberang, alih-alih langsung menuju ke rumah pak Kades, semuanya memutuskan untuk berendam di sungai, membersihkan diri alias mandi tanpa sabun di bawah guyuran air hujan. Asli, enaaaaaakkk bangeeettt... Perasaan lega karena akhirnya bisa sampai juga bercampur dengan rasa dingin air sungai yang sungguh menenangkan diri.

Sampai di rumah pak Kades pukul 3 sore, ternyata kami sudah dijemput oleh pak Camat. Tetapi kami harus bergegas untuk berganti baju dan merapikan barang-barang karena kami harus segera pulang menuju Bengkulu. Sekitar jam 4, kami berpamitan dengan warga Seblat dan terutama dengan para porter yang sudah setia menemani kami. Kami pulang dengan 3 mobil, dan kali ini semuanya Hi Line. Jadi kami semua merasa aman.

Tapi ternyata oh ternyataaaa, rasa amannya cuma sekitar 15 menit dari rumah pak Kades, karena walau mobilnya sudah Hi Line yang dobel garda, tapi masih aja kena slip. Dua dari 3 mobil (salah satunya mobil yang gue naiki), slip sebanyak 2 kali dan hampir aja kami semua putus asa. Gak lucu banget, dah bisa sukses keluar dari Lisai, tapi harus bermalam di tengah sawah. Akhirnya, setelah 1.5 jam, kami semua bisa keluar dan terbebas dari jalur tanah liat itu. Fiyuuuuhhh...!!!

Kami hanya mampir satu kali untuk makan malam di Muaro Aman, lalu melanjutkan perjalanan dan sampai di Bengkulu jam 1 pagi. Sepanjang perjalanan gue gak bisa tidur, karena gue gak merasa tenang untuk tidur. Jalurnya berkelok-kelok dan gue khawatir supirnya ngantuk, jadilah gue berusaha untuk mengajak dia ngobrol terus. Tapi memang gak bisa dipungkiri kalau gue itu ngantuk berat, dan untungnya Susan bangun juga, jadi gue bergantian dengan dia.Sampai di Bengkulu, kami menginap di rumah teman mas Asep. Setelah nurunin barang, tanpa menunggu lama-lama, gue langsung tidur pulas di atas kasur! Sorry sleeping bag, you are no longer needed :)

Seperti moto 1N3B yaitu travelunteering, hari terakhir di Bengkulu ini dipakai untuk berwisata keliling kota. Setelah makan siang yang super enak itu, kami ke Benteng Inggris Marlborough lalu ke Rumah Pengasingan Bung Karno. Terakhir yang kami sambangi sebelum ke bandara adalah Pantai Pasir Panjang, dimana pasir putihnya adalah hasil kerukan. Sunset tiba, kami pun langsung pergi menuju bandara dan berpisah dengan mas Asep dan mas Anto.

Pukul 10 malam, kami meninggalkan Bengkulu tetapi hati kami sebenarnya tidak benar-benar meninggalkan tempat itu, khususnya Lisai. Begitu banyak kesan dan pelajaran yang kami dapat dari perjalanan kali ini. Begitu banyak keinginan untuk membantu lebih banyak lagi anak-anak di tempat-tempat terisolir, tempat yang tidak bisa disentuh atau mungkin sebenarnya tidak diperhatikan oleh pemerintah Republik ini.

Pendidikan seharusnya bebas sekat. Anak-anak seharusnya bisa mendapatkan hak dasar untuk mengenyam pendidikan. Bila pemerintah tidak bisa melakukannya, semoga saja 1N3B bisa mewujudkannya walau dalam bentuk, yang mungkin saja dalam penilaian beberapa orang, tidaklah besar. Tapi kami akan berusaha dan berusaha dan terus berusaha, supaya anak-anak negeri ini bisa terus mendapatkan pendidikan yang memang sudah seharusnya mereka dapatkan. AMIN!

------------------------------------------------------------------------------------------

Dan inilah puisi yang dipersembahkan oleh anak-anak SDN 06 Pinang Belapis, Sungai Lisai, Bengkulu

Selamat Jalan (oleh Indiarti)

Selamat jalan kakak
Selamat jalan kakak
Kakak-kakak telah memberikan asa dan pengetahuan yang belum pernah kami tahu

Selamat jalan kakak
Demi generasi penerus bangsa
Kakak rela berjalan kaki di hutan rimba

Selamat jalan kakak
Besar harapan kami
Semoga kita bisa berjumpa kembali

Selamat jalan kakak
Bukan segudang emas yang kami berikan
Bukan pula sebutir berlian yang kami ulurkan

Melainkan ucapan terima kasih yang kami persembahkan

Seperti motto 1N3B yaitu travelunteering, maka hari terakhir dipakai untuk berkeliling Bengkulu. Kami me




Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment